"Mulai sekarang, ini semua adalah rahasia," kata Dova menatapku.
Aku mengangguk. "Benar. Jangan sampai ada siapa pun yang tahu identitas kita, termasuk seisi rumah ini."
Dova lagi-lagi berujar, seolah tak yakin padaku. "Jangan katakan pada siapapun kalau kita adalah mata-mata."
Aku mengangguk untuk yang kesekian kalinya. Percakapan itu mungkin salah satu hal yang paling aku rindukan dari sahabatku, Dova. Semenjak sibuk dengan urusan sekolah, ia dan aku jadi jarang berbicara atau pun sekedar bertegur sapa seperti dulu. Dova berubah menjadi lebih dingin padaku.
Sampai suatu hari, saat hari terakhir liburan sekolah tiba, aku mendapat kabar mengejutkan. Dan perlahan-lahan entah mengapa, Dova mulai kembali akrab denganku.
"Nona Suri, ada yang ingin bertemu denganmu besok," kata Pak Tomi di sela sarapan pagi.
Di meja besar melingkar ini hanya ada aku, Fia, dan juga Dova. Mereka berdua adalah teman yang ikut tinggal di sini bersamaku. Walaupun Ayah dan ibuku sudah meninggal, aku tidak merasa kesepian karena kehadiran mereka berdua.
"Bertemu denganku? Tumben," tanyaku pada Pak Tomi yang baru saja sampai di ruang makan. "Biasanya kalau urusan bisnis selalu ditangani oleh Pak Tomi dulu."
Pak Tomi ini orang kepercayaan mendiang ayahku sejak dulu. "Maaf, Nona. Ini bukan urusan bisnis biasa,"
Aku menatap pria itu lebih serius. "Jadi, urusan apa?"
"Ini calon suamimu," jawab Pak Tomi.
"APA?!"
Semua yang duduk di mengelilingi meja makan mendadak tersedak dan memasang telinga setelah mendengar kabar dadakan itu.
Fia tertawa. "Ini serius, Pak? Bercanda, ya?"
"Tapi kan aku baru saja masuk SMA," protesku.
Dova ikut tertawa dan hanya menggelengkan kepalanya.
"Ini serius." kata Pak Tomi. "Kemunculan Nona Suri di media masa saat kejadian percobaan pembunuhan waktu itu, mengundang rasa penasaran banyak rekan bisnis yang dulunya merupakan sobat karib mendiang ayahmu."
"Mereka penasaran padaku?" heranku.
"Kebanyakan dari mereka bilang bahwa kau sangat pintar untuk ukuran anak seusiamu," kata Pak Tomi. "Dan para pebisnis itu ingin menjadikanmu menantu untuk anak mereka."
"Tunggu sebentar," aku memegangi kepalaku yang mendadak pusing. "Jadi calonnya tidak hanya satu?"
Pak Tomi mengangguk. "Banyak yang ingin meminang Nona Suri, jadi silakan pilih sendiri."
Aku mencuri pandang ke arah Dova yang berada persis di depanku. Walaupun cowok itu seusia denganku, ia bisa lebih bijaksana daripada aku. Aku dan Dova memiliki suatu rahasia yang mungkin hanya kami berdua dan Tuhan yang tahu. Mungkin aku akan meminta saran darinya nanti.
"Bagaimana jika aku tidak mau memilih salah satu dari mereka?"
Pak Tomi tersenyum tipis. "Kita tentu tidak mau hubungan bisnis yang terjalin cukup lama menjadi batal. Akibatnya bisa fatal."
Aku menghela napas. Ini benar-benar gawat. Aku tidak boleh sembarangan mengambil keputusan.
****
Pada malam harinya, aku pergi ke perpustakaan pribadi keluarga dengan cara mengendap-endap keluar kamarku. Kamar Fia bersebelahan persis dengan kamarku, jadi aku harus melangkah setenang mungkin agar ia tidak tahu.
Di dalam perpustakaan, kulihat Dova sedang duduk termenung membaca sebuah buku. Saat melihatku datang, ia segera menutup bukunya dan bangkit berdiri. Aku menyadari kini tingginya bertambah lumayan daripada aku.
"Aku tidak peduli kau akan menikah atau tidak." Dova membuang muka. "Tapi besok aku akan tetap pergi ke EMA."
Orang pada umumnya beranggapan bahwa Elite Mastermind Academy atau EMA adalah sebuah sekolah elit, mahal, dan tak sembarangan orang bisa masuk karena tesnya cukup sulit. Tapi aku juga tidak pernah mengikuti tesnya, sih. Kami berdua bisa bersekolah di situ tanpa tes. Tiba-tiba saja ada email masuk dari kepala sekolah karena nama kami berdua mendadak terkenal karena berhasil mengungkap sebuah kasus kriminal di masa lalu. Sebenarnya, itu adalah sekolah untuk menjadi mata-mata.
"Aku juga sudah betah sekolah di sana. Siapa sih yang mau homeschooling lagi? Membosankan," balasku sedikit panik. "Aku sudah bilang pada Pak Tomi untuk menundanya."
"Menundanya? Kau pasti tidak berani menolaknya, Suri," ucap Dova memandang keluar jendela. Ada kekecewaan di raut wajahnya.
"Untuk itulah aku di sini, bisakah aku meminta saran darimu? Kau kan temanku."
Dova terdiam cukup lama. "Terserah. Tunda saja selama mungkin," katanya. "Maaf aku tidak bisa membantumu lebih banyak," lanjutnya sambil menguap, lalu ia pergi begitu saja.
Aku masih berdiri mematung, kebingungan dengan masalahku sendiri.
****
Pagi ini, aku dan Dova duduk di mobil, sedangkan Pak Tomi menyetir di depan. Kami berdua melambaikan tangan pada Fia yang bersandar pada pintu pagar.
"Tunggu aku lulus SMP, ya!" serunya dengan wajah cemberut. Fia sangat ingin masuk EMA, tapi usianya belum sampai.
Aku masih melambaikan tangan, sementara Dova mengalihkan pandangannya padaku. Kadang aku merasa risih kalau tiba-tiba Dova seperti sedang memperhatikanku.
"Mengapa kau mengikat rambutmu?" tanya Dova, ia tahu kalau aku merasa diperhatikan olehnya.
Aku mengangkat bahu. "Biar lebih rapi."
Dova menggeleng. "Menurutku lebih bagus yang biasanya."
Aku heran sejak kapan seorang Dova, si cowok dingin bagaikan kulkas ini sangat peduli dengan penampilanku. Aku sampai bingung harus bicara apa. "Hey," ucapku. " … apa kau … sedang sakit?"
****
Aku dan Dova memisahkan diri begitu sampai di depan lift. Ia masuk ke lift kiri menuju asrama putra, sementara aku mengangkat dua koperku ke lift kanan menuju asrama putri."Suri! Selamat pagi," sapa seorang gadis berkemeja kuning di depanku. Ia Freya, sangat pintar. Jago lima bahasa sampai ke bahasa kasar, halus, dan aksen-aksennya juga. Sebelum masuk ke akademi ini, ia adalah pemandu wisata yang sering keliling dunia."Pagi, Freya! Kelihatannya aku terlambat," keluhku sambil berusaha menenteng koper."Iya, cepat simpan kopermu di kamar, beres-beresnya nanti saja. Kita harus tepat waktu," perintah Freya sambil buru-buru keluar dari lift menuju lapangan sekolah.Saat pintu lift tertutup, aku segera menekan tombol ke
Aku membuka laptopku sambil duduk di atas kasur. "Kalian ingat siapa nama samarannya? Mr. Lion?""Benar, Mr. Lion," jawab Manda."Aku sedang coba membobol data dari reservasi konser itu," ucapku pelan. Aku mengotak-atik laptopku sambil mencoba kode-kode yang telah kupelajari selama satu semester kemarin."Aku tidak sabar," seru Freya dengan mata berbinar-binar. "Jika kita berhasil menjalankan misi ini, poin kita akan naik pesat. Nama kita akan diumumkan pada kelulusan.""Maaf aku tidak kompeten soal coding, Suri," sesal Manda saat duduk di sebelahku."Tidak apa-apa, Manda. Aku yakin Suri juga tidak jago membaca gerak bibir. Iya kan, Suri?" sahut
Malam ini, kami bertiga memutuskan untuk menyamar dengan gaya penonton konser heavy metal pada umumnya. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kami berencana naik mobil ke sana."Kita sudah mirip fans Broadersonic belum?" tanyaku sambil bercermin, lalu tertawa sendiri melihat penampilanku. "Aku begadang semalam, demi pakai kutek hitam ini.""Yeah!" seru Manda memperhatikan jari-jariku, membentuk lambang metal di jarinya. "Jangan lupa jaket hitam.""Aku sudah daftarkan kita bertiga ke konser itu," kata Freya saat memegang stir mobil. "Ayo berangkat!"Mobil pun melaju kencang melawan angin.****
"Aku .... hmmm sebenarnya ... aku yakin ini bahasa spanyol," gumam Manda. "Namun, aku tidak terlalu lancar bahasa spanyol. Hanya familiar saja."Gawat."Aku sangat lancar bahasa spanyol," kata Freya. "Aku dibesarkan di sana, kebetulan sekali.""Tapi, Freya," ucapku meragukan. "Kau pasti tidak bisa membaca gerak bibir.""Tidak, tapi aku bisa bahasa spanyol," kata Freya meyakinkan.Manda mengangguk. "Iya, tapi aku tidak bisa bahasa spanyol. Bagaimana caranya aku memindahkan informasi dari apa yang aku lihat kepadamu?" Manda geregetan."Oh, iya juga sih." Freya terkekeh.
Setelah sibuk melacak titik GPS yang sudah terpasang di jaket target, akhirnya kami bertiga sampai di pertigaan yang bercabang ke sebuah rumah."Kita berhenti di sini saja, daripada ketahuan," perintahku sambil menghapus make-up dan segala aksesoris yang mengganggu pergerakanku. "Kita tunggu sampai malam.""Oke," kata Freya mematikan mesin mobil. "Sambil kita susun rencana juga, kalau bisa.""Rencananya adalah," jelas Manda. "Jangan sampai gagal. Minimal dapat informasi tambahan lah.""Iya, tapi lebih baik gagal daripada mengorbankan keselamatan," bantahku. "Misi merah tidak butuh sampai barang buktinya. Hanya informasi saja.""Aku berharap banyak pad
Aku celingak-celinguk mencari CCTV yang dimaksud. Ah, itu dia! Segera aku ambil karet superku, lalu aku tarik kuat-kuat hingga terpental ke arah lensa CCTV hingga retak. "Tembakan yang jitu, Suri!" "Aduh Manda, lama-lama kau terdengar seperti komentator sepak bola," celotehku. Lalu di ujung sana, kudengar Manda malah terkekeh. Setelah memastikan situasi benar-benar aman, aku berpindah tempat mendekati pintu. Keren. Tak kusangka akan semudah ini. "Sepertinya aku tidak bisa lagi memantau sampai ke bagian dalam rumahnya,
"Oh, memang," kataku kikuk. "Ini kan hari kerja. Kalau sensus penduduk dilakukan pada siang hari, tidak akan ada orang di rumah. Semuanya pergi bekerja.""Alibi yang bagus." sahut Manda."Oh iya, sepertinya tadi kau lupa mengunci pintu," lanjutku basa-basi.Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung karena tidak pernah absen mengambil kelas kewarganegaraan. Lalu aku menghela napas, berusaha mengatur irama napasku senormal mungkin. Tapi degup jantungku tetap tidak karuan. Entah karena tertangkap saat menjalankan misi, atau karena tatapan mata cowok ini begitu hangat. Seandainya waktu dapat berhenti sebentar saja."Memangnya apa yang sed
Keesokan harinya, kami melakukan apel pagi di stadion seperti biasanya. Semua murid dan guru di Elite Mastermind Academy berkumpul di bawah terik matahari pagi yang sehat.Apel pagi diawali dengan kemunculan Pak Catra, selaku penanggung jawab divisi misi kuning."Halo semua, selamat pagi," sapa Pak Catra melambaikan tangan ke seluruh murid yang sedang membentuk barisan rapi, baik putra maupun putri. "Langsung saja, ya. Dari tiga puluh misi kuning, ada empat misi yang akan dilelang pada hari ini."Jika ada misi rahasia yang dilelang, itu artinya misi tersebut telah gagal. Oleh karena itu, misi tersebut akan dilempar ke tim lain dengan cara dilelang. Hadiah dari sebuah misi yang akan dilelang bernilai minimal dua kali lipat poin dari misi baru, jika berhasil. Norma