Aku celingak-celinguk mencari CCTV yang dimaksud. Ah, itu dia! Segera aku ambil karet superku, lalu aku tarik kuat-kuat hingga terpental ke arah lensa CCTV hingga retak.
"Tembakan yang jitu, Suri!"
"Aduh Manda, lama-lama kau terdengar seperti komentator sepak bola," celotehku. Lalu di ujung sana, kudengar Manda malah terkekeh.
Setelah memastikan situasi benar-benar aman, aku berpindah tempat mendekati pintu. Keren. Tak kusangka akan semudah ini.
"Sepertinya aku tidak bisa lagi memantau sampai ke bagian dalam rumahnya," sesal Manda.
"Iya, selanjutnya serahkan padaku." ucapku penuh keyakinan. "Aku yakin jaketnya masih digantung dekat ruang tamu. Barang buktinya pasti ada di sana," bisikku optimis. "Aku akan coba rusak kuncinya."
Aku mengoyak lubang kunci di pintu utama dengan menggunakan jepitan rambutku. "Manda, berhasil! Aku sekarang akan membuka pintunya."
"Oke, Suri. Kelihatannya misi ini akan sukses."
Aku menyelinap masuk. Kebetulan ruang tamunya sangat gelap, tapi aku masih bisa melihat dengan bantuan pancaran sinar lampu taman. Dan, ternyata dugaanku benar! Jaket yang dipakai ke konser tadi masih tergantung di dekat pintu masuk ini. Pelan-pelan kuraih jaket itu, lalu kutelusuri saku-sakunya. Aku sempat memeriksa layar ponselku, dan ternyata memang jaket inilah yang sudah kupasang alat penyadap. Titiknya berhenti sampai di sini. Aku buru-buru mengantongi sekantung plastik kecil bubuk putih. "Akhirnya misi ini selesai juga, Manda," bisikku.
"Siapa di sana?"
Aku menelan ludahku. Itu sepertinya suara cowok yang tinggal di sini. Badanku mendadak gemetar. Tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Ini berbahaya.
"Jawab! Siapa di sana!"
Tiba-tiba aku disergap dari belakang. Gawat.
"Suri, jawab aku. Suri kenapa diam saja," Lalu terdengar suara Manda yang mulai panik.
Aku tertangkap. Aku coba memberontak, tapi cowok ini sangat kuat. Bisa kurasakan otot-ototnya menghimpit kedua lenganku. Aku hendak membantingnya ke depan, tapi kakinya menyentak sendi lutut belakangku sehingga aku kehilangan keseimbangan. Aku lunglai dengan posisi berbalik menghadap lawan. Tiba-tiba tubuhku tertahan oleh tangannya. Samar-samar aku bisa melihat tangannya terkepal hendak menonjok wajahku.
Mata kami mendadak bertemu. Dia tampak keren dengan kaos abu-abu dan jeans biru dongker. Badannya tinggi tegap, atletis. Sepertinya rajin olahraga. Ya ampun kenapa aku jadi berdebar-debar di saat gawat seperti ini?! Suri sadarlah ini waktunya kau panik, bukan terpesona.
Lawanku menahan kepalan tangannya. "Wow, halo," sapanya canggung. "Ternyata kau perempuan."
Aku berangsur-angsur berdiri tegap. Aku diam mengatur napas. Bingung harus bicara apa. Jarak kami berdua sangat dekat, aku takut cowok ini bisa mendengar debar jantungku.
Manda terdengar panik. "Suri, bicaralah padaku. Suriii!"
Cowok itu menatapku agak lama. Kewaspadaannya padaku lenyap entah mengapa. "Apa yang kau lakukan malam-malam begini di rumahku?"
Aku terkekeh dengan gugup. "Sebelumnya, bisa kau lepaskan pelukanmu ini?" tanyaku.
"Oh, maaf," kata cowok itu lalu mundur.
Ingin rasanya aku berlari secepat kilat, tapi mustahil. Aku takut malah akan membangunkan anjing penjaga.
"Suri, hadapi dia, patahkan saja kakinya. Buat ia tak sadarkan diri. Lalu cepat kabur," kata Manda dari kejauhan.
Aku bergumam kesal dalam hati. Manda please, mana tega aku mematahkan kaki seorang cowok seganteng ini?
Aku berpikir, mencari alasan yang tepat. "Eh, iya maaf, aku sedang hmm... sensus penduduk."
"Hahaha!!! Bodoh!" Manda menertawaiku dari kejauhan. Sialan.
Cowok itu tersenyum sambil menaikkan alisnya. "Serius? Malam-malam begini?"
****
"Oh, memang," kataku kikuk. "Ini kan hari kerja. Kalau sensus penduduk dilakukan pada siang hari, tidak akan ada orang di rumah. Semuanya pergi bekerja.""Alibi yang bagus." sahut Manda."Oh iya, sepertinya tadi kau lupa mengunci pintu," lanjutku basa-basi.Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung karena tidak pernah absen mengambil kelas kewarganegaraan. Lalu aku menghela napas, berusaha mengatur irama napasku senormal mungkin. Tapi degup jantungku tetap tidak karuan. Entah karena tertangkap saat menjalankan misi, atau karena tatapan mata cowok ini begitu hangat. Seandainya waktu dapat berhenti sebentar saja."Memangnya apa yang sed
Keesokan harinya, kami melakukan apel pagi di stadion seperti biasanya. Semua murid dan guru di Elite Mastermind Academy berkumpul di bawah terik matahari pagi yang sehat.Apel pagi diawali dengan kemunculan Pak Catra, selaku penanggung jawab divisi misi kuning."Halo semua, selamat pagi," sapa Pak Catra melambaikan tangan ke seluruh murid yang sedang membentuk barisan rapi, baik putra maupun putri. "Langsung saja, ya. Dari tiga puluh misi kuning, ada empat misi yang akan dilelang pada hari ini."Jika ada misi rahasia yang dilelang, itu artinya misi tersebut telah gagal. Oleh karena itu, misi tersebut akan dilempar ke tim lain dengan cara dilelang. Hadiah dari sebuah misi yang akan dilelang bernilai minimal dua kali lipat poin dari misi baru, jika berhasil. Norma
Dova berdiri bersandar pada tembok, menatapku dengan dingin. "Kau gagal rupanya, Suri."Aku tertawa kecut. "Sebenarnya aku berhasil, kok. Hanya saja saat itu ada sesuatu terjadi."Dova mengangkat bahu. "Nyatanya tadi? Misimu dilelang.""Oke, oke," celotehku melipat kedua lengan. "Terserah mau bilang apa.""Kurasa pergerakanmu kurang cepat, sehingga kau disatukan dengan tim lain yang bisa menutup kekuranganmu," ucap Dova sambil memasukkan tangan ke dalam saku celananya. Serius deh, Dova itu kalau dilihat-lihat keren juga, asalkan ia berhenti bersikap dingin padaku. "Untuk itu, berlatihlah lebih sering, Suri.""Hey, Cordova," seru seseorang. "Jadi ini y
Setelah melalui perjalanan yang cukup lama, akhirnya kami tiba di sebuah tempat di tepi laut. Cuaca terasa sangat panas di sini. Aku, Dova, dan Roy memakai pakaian seperti wisatawan yang hendak liburan ke pantai. Kami memakai baju bercorak, kacamata hitam, dan topi untuk menghalau terik matahari. Kami bertiga memutuskan untuk meninggalkan barang di penginapan yang paling dekat dengan pantai, agar mendukung peran kami sebagai wisatawan. Kami tiba di museum terbesar di kota ini dengan menaiki taxi.Kami bertiga masuk ke dalam museum seusai membeli tiket."Sepertinya bingkai lukisannya yang itu," kataku menunjuk sebuah area yang dikelilingi garis polisi. Lalu aku menoleh ke tempat lain. "Aneh, justru area itu seharusnya paling tersorot CCTV, seharusnya kita punya petunjuk lain yang lebih jelas."
Atas saran dariku, kami bertiga sepakat untuk menunda misi kami sampai malam tiba. Awalnya Dova sempat melarangku. Katanya, kita ini tidak boleh membuang-buang waktu. Aku lalu menegaskan padanya bahwa jika ingin menangkap ikan di kolam, maka harus bisa menunggu dengan tenang, jangan membuat mangsa kabur ketakutan."Oke, kita pakai strategimu, Suri," ujar Dova mengiyakan.****Setelah kami menunggu hingga malam tiba di penginapan dekat pantai, kami kembali menaiki bus kota ke arah yang sama untuk mendatangi rumah milik Seno Joan dalam gang sempit.Tapi, kali ini kami bukan datang lewat depan.Kami bertiga diam-diam mengintai dari belakang rumahnya. Tadinya a
Suasana pelabuhan di malam hari begitu sibuk, padat, dan berisik. Rupanya ada beberapa kapal yang baru tiba, diikuti dengan proses bongkar muat barang, dan serbuan keluar dari begitu banyak penumpang. Ada banyak sekali crane dan gudang berpendingin di sekitarku, mungkin banyak hasil tangkapan dari laut disimpan di sana.Kubiarkan angin laut menerpaku. Sejenak aku fokus memandangi langit, lalu mulai mengintai diam-diam ke barisan perahu jauh di depanku. Sekilas, tak terlihat adanya sesuatu yang mencurigakan.Aku mendekat ke arah dermaga.Barisan perahu semakin terlihat jelas. Tidak terlalu banyak, hanya ada lima atau enam. Mungkin sebelumnya sudah ada banyak perahu yang berangkat membawa nelayan pergi melaut di sore hari menjelang malam. Tidak sulit bagiku untuk menemukan seb
(POV DOVA) Mendengar ancaman itu, rasanya aku ingin menghajar bandit kurang ajar yang baru saja berteriak padaku. Dia pikir aku takut? Sebelum aku sempat berlari menghampiri bandit itu, seseorang meremas pundak kananku dari belakang. "Hey, jangan mudah terpancing emosi." Aku menepis tangan di pundakku. "Sudah kubilang, aku ini punya tujuan yang berbeda dengan kalian semua," gertakku tegas. Aku memegang erat-erat gulungan lukisan di tanganku. "Aku tidak mau mengulur waktu lagi dengan kekerasan," jelasku. "Hanya bandit itu yang tahu di mana temanku. Aku akan lakukan negosiasi supaya lebih cepat." "Apa maksudmu?"
Kepalaku pusing. Aku membuka mataku pelan-pelan. Kedua mataku silau terpapar cahaya matahari pagi. Tak ada yang bisa kulakukan selain membuka mata, karena sekujur tubuhku terasa berat untuk digerakkan. Tapi di sampingku, terlihat jelas Dova dengan kemeja putihnya tanpa jas seragam sekolah, duduk menyandarkan kepalanya pada tangan kananku. Ia rupanya tertidur sangat pulas sampai tidak menyadari bahwa aku sekarang sudah bangun. Aku baru sadar ternyata aku memakai double jas seragam. Apakah yang kupakai ini milik Dova? Sepertinya memang iya. Aku lupa tentang kejadian sebelum kami berdua sampai di sini. Yang aku ingat malah tentang truk kontainer besar di pelabuhan. Dan, oh! Di mana lukisan terkutuk itu? Aku mem