Share

BAB 4 : Sepakat

Author Pov

Raveena menghela napasnya gusar. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kuat. Gadis itu berdiri kembali setelah meletakan keranjang berisi bayi mungil itu di atas kasur miliknya. Tangannya masih terus bergetar hebat. Apalagi saat ia tadi memutuskan membawa masuk sang bayi ke dalam rumah. Jujur, Raveena parno setengah mati.

“Gue harus ngapain?! Ini gimana? Ya ampun anak siapa sih ini,” gumamnya sambil terus berfikir keras. 

“Tega bener dah, mana nyimpen nya didepan rumah gue lagi. Dikira rumah gue bandar baby sitter kali yak.” Raveena bolak balik berjalan pelan sambil mengigiti kuku jari tangannya.

“Telpon siapa ya? Hm ... bibi Maudy? Eh jangan! Pasti lagi di pesawat nih,” ucap Raveena bingung setengah mati. “Merin? Oke sip, gue dapet pencerahaan dari yang Maha Kuasa.” 

Raveena langsung menekan panggilan ke nomor Merin. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah-- 

“Lailah, nggak aktif. Pasti lagi nonton drakor nih sama si Lista,” ujar Raveena greget sendiri. Sudah tau kebiasaan Merin dan Lista. Jika nomor secara mendadak tidak aktif, itu tandanya mereka sedang menjalankan rutinitas.

“Kenapa harus ada drakor sih?!” Raveena malah menyalahkan.

“Oeekk! Oeeekk!” Suara tangis bayi kecil itu kembali terdengar. Memenuhi setiap sudut kamar Raveena. 

“Eh, jangan nangis.” Raveena menghampiri dengan kakinya sudah kelewat lemas. Dengan hati-hati Raveena menggendong bayi kecil itu ke dalam pelukannya. 

“Sshtt, udah sayang udah. Jangan nangis, kalau nangis ntar hujan!” ujarnya mengajak berkomunikasi bayi cantik itu. Walau ngelantur. Raveena sempat melihat jenis kelamin bayi itu saat di luar tadi yang ternyata adalah perempuan. 

“Dingin, ya? Udah sayang jangan nangis, dipeluk dulu sini.” Suaranya melembut lalu ikut duduk di bibir ranjang miliknya. Tangisan bayi itu sedikit mereda, membuat Raveena merasa lega. 

“Oke, oke. Vee, tenang, jangan panik. Jangan panik. Please dong jangan gemetaran kayak gini elah,” gerutunya. “Ini bayi cantik. Bukan bayi setan, nggak usah takut.” 

Raveena kembali membuka ponselnya. Tangannya bergulir mencari kontak Johan, tapi pergerakan itu terhenti seketika. Mengingat bagaimana sikap Johan yang sangat cuek dan lebih mementingkan dunianya sendiri. Raveena mengurungkan niatnya, jika pada pacarnya saja cowok itu sangat tidak peduli apalagi pada bayi ini?

Di waktu yang bersamaan fikiran Raveena jatuh pada seseorang. Awalnya ragu, tapi akhirnya Raveena memutuskan untuk menelponnya setelah memantapkan hatinya. 

“Hallo, Vee?” tanya seseorang diseberang sana setelah panggilan terhubung. 

“Hallo, Sen? Lo—lo dimana? Lagi dimana sekarang? Bisa ke sini nggak? Gue butuh bantuan please,” ucap Raveena masih dalam keadaan panik. Ya, Raveena menelpon Rasen. Tidak ada pilihan lain. 

“Kenapa? Kangen ya? Jangan ah, lo udah punya cowok. Nggak baik kangen sama cowok cerdas—”

“Nggak usah banyak ngomong, bisa? Gue serius! Cepetan kesini bantuin gue!” 

“Bantuin apaan? Merangkai masa depan kita?”

“Gue punya bayi—”

“APA?! PUNYA BAYI?? KAPAN BUNTING NYA LO?!” pekik Rasen kaget. Raveena langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. 

“Lah, nggak kayak gitu ma—maksud gu ... itu ...” 

“Apaan? Lo kapan ngelahirin sih? OHH—JANGAN-JANGAN LO DIHAMILIN SETAN YA?!

“GUE NEMU BAYI BANGSUL! BUKAN DIHAMILIN SETAN!” teriak Raveena spontan saking emosinya. 

“What the?”

“Oekkk… oeekkk....” Raveena menggigit bawah bibirnya sendiri. Sadar akan kesalahannya. Bayi itu kembali menangis pasti karena kaget akan teriakan yang ia lontarkan pada Rasen tadi. Salah si Rasen sih, idiot ditanam mulu. 

“Tuhkan, nangis. Gara-gara lo sih!”

“Eh, eh, eh. Iya anjir suara orok itu....” 

“Pokoknya gue tunggu lo di rumah. Lo harus ke sini, ntar gue ceritain semuanya. Udah dulu ya.” 

Sebelum mendengar jawaban Rasen, Raveena langsung mematikan sambungannya. Melempar ponselnya ke sembarang arah. Gadis itu bangkit berdiri, membenarkan posisi bayi yang sedang ia gendong itu. Sedikit mengayun-ngayun gendongannya agar bisa kembali tenang. Menatap tulus wajah polos bayi yang sedang memejamkan matanya itu.

“Enaknya orang yang udah ngelantarin kamu kayak gini, diapain ya? Rekomended yang sadis,” ujarnya tersenyum miring.

---o0o--- 

Tanpa menekan bel, tanpa mengucapkan salam dan tanpa malu. Rasen langsung memasuki rumah Raveena dan bergegas berjalan kearah kamar gadis itu. Rasen masih menggunakan kemeja kantornya, karena saat Raveena menelepon tadi Rasen baru selesai meeting. Cowok itu mendapati Raveena yang duduk di sisi ranjang sambil mengamati bayi kecil yang tertidur di atas kasur. 

“VEE, ITU BAYI SIAPA? NEMU DI—”

“Sstt! Diem!” Raveena melotot membuat Rasen bungkam. “Jangan teriak-teriak, baby-nya baru aja tidur.”

“Ups, sorry. Hehehe.” Rasen cengegesan.

“Baru pulang dari kantor?” 

“Hooh, gila capek banget gue. Lari-lari dari teras rumah lo sampe kesini,” ujar Rasen. Padahal rumah Raveena tidak bertingkat, tidak juga terlalu besar. Rasen lebay-nya kambuh.

“Wish, ucul banget nih bayi," ujar Rasen seraya melemparkan suit hitam-nya tepat pada wajah Raveena, lalu nyelonong masuk begitu saja menghampiri objek yang ia tatap sedari tadi.

“Vee, ganteng banget nih anak sama kek gue.” Rasen mengamati setiap inci wajah bayi itu. 

“Bayi nya cewek, Sulaiman. bukan cowok.” Raveena ikut menghampiri dengan satu tangan memegang sas.

“Oh, ya? Coba liat dong!”

“Heh! Jangan dipegang-pegang anak gue!" larang Raveena pada Rasen

"Kenapa, sih? Lagian nggak akan kena virus kalau gue pegang juga," sungut Rasen.

"Lo belum cuci tangan! Kotor tau!" 

"Gue udah cuci tangan, kok, di mobil."

"Cuci tangan di mobil gimana? Nggak ada air juga," ujar Raveena. 

"Ada! Di mobil gue tuh ada pancuran. Malahan di bagasinya ada air terjun. Makanya main dong ke mobil gue, diem-diem bae," ungkap Rasen membuat Raveena mendengkus. 

Rasen diam sejenak, kembali mengamati Bayi itu. “Lo nemu bayi ini dimana? Ceritain dong unsur kronologisnya, sehingga gue bisa mengamati dan mencerna baik-baik apa yang telah terjadi pada nasib lo hari ini. lalu—”

“Mau ngedengerin atau ngebacot?” sela Raveena.

“Dengerin dong. Silahkan berbicara Natasha Wilona!”

Raveena menarik napasnya secara perlahan. “Jadi gue nemu ni bayi di teras rumah gue. Deket pot bunga. Awalnya gue ngedenger suara nangis bayi, gue kira dari rumah tetangga. Eh pas gue mau buka pintu, ternyata bayinya malah ada di depan gue. Gue saking parno dan kaget nya. Langsung aja bawa kedalam rumah, tangan gue udah gemeter abis. Takut gue.”

“Dan lo memutuskan untuk nelpon gue? Waw! Sebegitu pentingnya musuh lo ini sampe lo minta gue yang datang ke sini?” Rasen tersenyum jahil.

“Nggak usah kepedean. Tadinya gue mau nelpon Lista sama Merin, tapi no nya nggak aktif. Gue ngehubungin lo karena lo orang terakhir dalam list pikiran gue.” 

“Yah, Babang Rasen dibuat pelarian semata,” balasnya pura-pura so sedih. “Terus-terus, rencana lo selanjutnya gimana, Vee?” 

Raveena terdiam cukup lama. Arah pandangannya kosong, mungkin gadis itu juga bingung apa yang harus ia lakukan kedepannya pada bayi cantik itu. “Gue—hm—gue—ck! Menurut lo gue harus gimana?” tanya balik Raveena kesusahan mengambil kosa kata. 

“Kasihin aja ke pihak berwajib,” 

“Ish, jangan dulu. Kalau ni bayi tinggal sementara di rumah gue, gimana Sen?” Tanya Raveena dan Rasen menanggapi dengan kedua alis terangkat. “Masih kecil soalnya. Nggak tega gue.”

“Terus kalau Bibi Maudy tau, gimana? Dia nggak akan marah?” 

Raveena dengan cepat menggeleng. “Nggak akan marah. Bi Maudy itu kan suka banget sama bayi. Lo tau sendiri kan kalau Bibi gue itu nggak bisa punya keturunan. Gue sih yakin kalau Bi Maudy bakal setuju sama keinginan gue,” kata Raveena mantap. “Kedepannya gue bakal mikiran lagi bareng-bareng sama Bibi gue gimana baiknya.” 

Rasen mengangguk mengerti. “Yaudah sih, terserah lo aja.”

“Sen?”

“Euy?” Rasen memegang lembut tangan bayi kecil itu.

“Selama Bi Maudy belum pulang dari Singapore, hm—lo ma-maukan bantuin gue ngurus bayi ini, Sen?” ucap Raveena lirih. 

Masalahnya dia tidak enak bercampur malu meminta bantuan terhadap Rasen. Gadis itu memejamkan matanya rapat, mencoba menajamkan indra pendengaranya. Siap mendengarkan jawaban yang akan keluar. Tapi, sudah beberapa detik berlalu Raveena tidak mendengar kalimat apapun. Lalu Raveena membuka matanya dan menatap Rasen yang ikut menatapnya dengan pandangan aneh. 

“Sen, lo denger nggak sih gue bilang apa tadi?”

Rasen menengok kearah belakang, lalu kembali menoleh kedepan. “Lo ngomong sama siapa? Gue?” tanyanya sambil menujuk dirinya sendiri. 

“Nggak! Gue lagi ngomong sama hantu desa penari! Ya jelas sama lo lah, Rasen!” Raveena menggeram kesal, si Rasen tulul tingkat kuadrat itu cuma nyengir. 

“Lo serius minta bantuan sama gue? Nggak salah orang?” tanya Rasen bingung.

“Nggak,” 

“Otak lo bener-bener ada dikepala lo kan? Nggak ketinggalan di kantin sekolah kan?” tanya Rasen lagi. 

“Lo inget kan kalau gue Rasendriya, yang lo sering ajak adu bacot? Yang lo buru tiap hari Senin karena nggak pernah bayar uang kas?” Rasen semakin mendesak.

“Inget, Ya Allah. Jadi gimana? Mau nggak bantuin gue?” Raveena jengah.

“Owwwhhh!! Tentu Kakanda mau menerima ajakan Adinda untuk mengurus buah hati kita ini yang masih ucul-ucul menak jinggo,” ujarnya sumringah.

--o0o—

“Vee?” 

“Hm?”

“Lo nggak mau ngasih nama buat anak kita?” tanya Rasen sibuk makan.

Raveena memang sempat memesan makanan secara online tadi. Niatnya untuk berdua, tapi Rasen yang menghabiskan semuanya. Raveena terlalu sibuk memainkan ponselnya. 

“Anak kita ndasmu!” Jawabnya. 

“Yaudah kalau lo nggak mau ngasih nama, biar gue aja,” ujar Rasen. “Gue punya daftar sama yang bagus-bagus.” 

“Apaan?” Tanya Raveena penasaran.

“Hm—Neneng, Eti, Eros, Ijeum, Ummi Kulsum dan ... banyak lagi,” jawabnya mantap. Begitu indah.

“Lo bisa pake nama itu buat anak lo nanti, gue udah punya nama yang cocok buat dia,” kata Raveena tersenyum manis. “Nayara, Gimana?” ucap Raveena sambil memperlihatkan ponselnya menghadap Rasen.

“Artinya kedamaian,” lanjut Raveena lagi. Ternyata, sedari tadi Raveena membuka situs internet untuk mencari kumpulan nama yang bagus untuk seorang bayi. 

“Kenapa harus Nayara?” tanya Rasen sambil mengunyah. “Dan lo bilang apa tadi? Artinya kedamaian? Kenapa nggak sekalian aja artinya pertikaian, kan bagus tuh kalau nanti tuh anak gedenya berantem mulu.” 

Raveena memutar bola matanya malas, menarik kembali ponselnya dari hadapan Rasen. “Karena gue nggak mau ni anak gedenya troublemaker kayak lo!”

“Ey galak. Iya-iya deh, terserah Mama muda aja,” goda Rasen.

“Mama muda? What did you say?” 

“Kenapa? Lo jadi Mamanya, gue jadi Papanya. Gimana?” tawar Rasen membuat Raveena mengangkat satu alisnya. 

“Nggak sudi! Kalau pun iya, nih anak nggak akan mau punya Bapak angkat idiot kayak lo!” cibir Raveena sambil mencoba menahan tawa. Sedangkan Rasen hanya tersenyum kecil. 

"Kalau idiot nggak akan juara umum sama ikut olimpiade tingkat kabupaten kali," gumam Rasen.

“Eh, Sen. Kita belum beli susu formula. Kasian pasti Baby Nay laper,” ucap Raveena. Baby Nay? Oke sip, tandanya nama itu sudah di tetapkan dan tidak bisa diganggu gugat. 

“Kenapa harus beli? Lo ... kan, punya dua.” Rasen mengangkat dagunya ke arah dada Raveena. 

Saat itu juga, Rasen mendapatkan hadiah tempelengan cukup keras.

“Nggak usah ambigu!” tegur Raveena kesal. 

“KAN GUE BENER, VEE! Elah!”

Raveena mengarahkan padangannya melihat Nayara yang masih teridur pulas, “Sen, patungan yuk. Beli susu formula.” Ajaknya lagi, mengingat sedari tadi Nayara belum diberikan asupan apapun. Jahat emang, malah si Rasen yang banyak makan.

“Hm.” 

“Sama beli popoknya ya, Sen.” 

“Sip.” 

“Sama perlengkapan yang lain juga, nggak pa-pa deh gue patungan gede juga. Ya Sen?” 

“Iya Mama, banyak ngomong banget,” ujar Rasen mengambil segelas air putih didekatnya, lalu meneguk nya sampai habis setengah gelas. “Pesenin online aja susu sama perlengkapan buat hari ini, nggak usah patungan juga. Gue yang bakal bayar.” 

“Serius Sen?” tanya Raveena.

“Serius Mahmud, kan gue kepala keluarganya. EAAAA!” seru Rasen heboh sendiri. 

Tanpa pikir panjang Raveena lekas membuka salah satu media belanja online. Dan memesan beberapa kebutuhan Nayara hari ini.

Rasen termangu beberapa detik. Tidak menyangka sejujurnya akan mendapati hal seperti ini bersama Raveena, kllalu pikirannya kembali ke masa lalu. Rasen ingat prinsip yang diterapkan keluarga nya. Juga apa yang pernah Papanya katakan dulu; Saling membantu, berbagi dan mengerti. Roda hidup itu berputar. Kekayaan bukan segalanya. 

“Vee? Besok tanggal merah.”

“Tau, kenapa emangnya?” 

“Kita belanja kebutuhan Nayara ke Mall.”

Raveena cengo mendengar penuturan Rasen. Mall? Uangnya pasti tidak akan cukup belanja barang-barang di tempat mewah seperti itu. Kalau ada toko biasa, kenapa harus di Mall. 

“Mall? Sen tapi gue—”

“Nggak usah mikirin uang. Gue yang tanggung semuanya. Lo tinggal belanja aja. Masalahnya kalau gue sendiri yang pergi, gue nggak terlalu ngerti masalah beginian,” ujar Rasen.

Oh, harusnya Raveena ingat siapa Rasen. sekali lagi, Rasen itu seorang pengusaha dan pewaris tunggal keluarga kaya. Bukan hanya seorang pelajar. Hidupnya hanya tinggal berdua dengan sang Ibu. Raveena menjadi tidak enak, takutnya Rasen salah paham dan menganggap kalau Raveena memanfaatkan nya.

“Sen, sorry gue nggak ada niatan manfaatin lo atau apa." 

“Selow aee Munaroh, gue yang niat kok. Kan udah gue bilang, gue mau bantuin ngurusin Nayara. Biaya keperluan Nayara gue tanggung.”

Baiklah, Raveena salah menilai seorang Rasen selama ini. Cowok itu mungkin selalu menyebalkan tingkat Dewa-Dewi. Tapi selain itu, Rasen juga orang yang peduli.

“Makasih Sen,” 

“Apa sih yang nggak buat Mama,” goda Rasen seraya melahap camilan didalam toples.

“Najis lo!” keduanya tertawa renyah.

"Yaudah cepetan Vee, susuin Nayara gih." 

"Kan belum beli," 

"Nggak beli pun lo punya." 

"HEH NGOMONG LO TUH YA!" 

Ntah kapan terakhir kali, Rasen tertawa bersama dengan Raveena seperti ini. Rasanya benar-benar bahagia. Menghilangkan sejenak ingatan bahwa keduanya adalah dua insan yang selalu terlibat pertikaian setiap waktu. Jauh berbeda dengan keadaan kemarin.

Johan Afandi: Vee, besok nggak jadi jalan ya. Lo beli novel sendiri aja. Gue mau main sama temen temen.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status