Share

BAB 5 : Belanja

Author Pov

Hari ini, di tanggal merah. Raveena telah menyusun semua daftar pekerjaanya. Dari mulai membawa Nayara ke Dokter anak untuk check up medis. Seraya meminta saran merawat bayi yang baik untuk seorang pemula. 

Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan belanja semua kebutuhan Nayara. Membeli perlengkapan penting Nayara yang telah ia susun di secarik kertas putih. 

Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan mencetak semua gambar Nayara yang sempat ia potret menjadi polaroid yang akan ia pasang di dinding kamarnya. 

Hari ini, Raveena akan melakukan semuanya, bersama Rasen. 

Raveena berdiri memandangi dirinya dipantulan cermin, kembali mengamati pakaian yang ia pakai hari ini. Setelah semuanya terasa tidak perlu ada yang dikoreksi, gadis itu tersenyum. “Mantul, cocok banget dah gue!” serunya mengedipkan sebelah matanya. 

“Good morning cantik,” sapa Raveena beralih pada Nayara, duduk di sisi ranjang lalu menggendong bayi kecil itu hati-hati. “Siapa yang siap yang jalan-jalan hari ini?” tanya mnya sambil tersenyum. Nayara hanya menatap dengan bola matanya yang terbuka lebar. 

“Eh, aku mau cerita dong sedikit. Jadi gini, aku udah ngasih tau Bi Maudy tentang kamu. Terus kamu tau nggak gimana respons-nya? Bi Maudy bahagia banget tau! Sampe-sampe telinga aku perih ngedengerin teriakan dia.” Raveena mengajak bercerita Nayara sambil terkekeh pelan. Bayi itu ikut tertawa kecil. Begitu menggemaskan.

“Tapi masalahnya belum bisa pulang. Soalnya katanya liburannya nanggung. Mubazir juga,” jelas Raveena. Ntah ada apa yang lucu dengan perkataanya, Nayara kembali tertawa kecil. Sepertinya ia menyukai suara Raveena yang terdengar lembut.

Raveena meraih jari jemari Nayara, begitu lembut dan hangat. Tangan kecil itu menggengam jari telunjuk Raveena. Seperti tidak ingin dilepaskan. Raveena menatap sendu, sampai tak terasa matanya berkaca-kaca. “Kamu lucu, aku jadi inget Mama,” lirih Raveena pelan. Detik selanjutnya air mata itu berhasil menetes. 

Raveena kembali menangis setelah bertahun-tahun ia tahan. Rasa rindu Mama-Papanya tidak dapat terbendung. 

“Gimana mau belanja kalau lo malah nangis.” Suara itu berhasil mengagetkan Raveena. 

“Rasen?” buru-buru Raveena mengelap air mata yang luruh diatas pipinya. Tapi percuma, Rasen juga sempat melihat Raveena hampir rapuh tadi. 

“Yah, malah mellow.” Cowok itu sudah berdiri dengan menggunakan jeans hitam, kaos polos dan jaket kulit berwarna senada. Begitu terlihat sederhana. 

“Salam dulu kek, main masuk-masuk aja,”cibir Raveena.

“Udah salam tadi dalem hati,” lanjutnya lagi dengan wajah tanpa dosa menghampiri lalu berjongkok menghadap Nayara yang sedang Raveena gendong.

“Enggak boleh nangis,” ujar Rasen. 

“Enggak nangis!” elak Raveena sambil menggeleng. 

Rasen tersenyum tipis, sangat tipis. “Iya percaya.” 

Matanya beralih pada Nayara. “Pagi! Cantik banget putrinya Papa hari ini. Pasti gedenya mirip Raisa nih, ntar Papa cari jodoh cowok yang mirip Hamish.”

Raveena yang semula dalam keadaan sedih, malah berusaha untuk tidak tertawa mendengar ucapan Rasen tadi. “Astaga, tolol nya mulai,” lirih Raveena yang masih bisa didengar Rasen. 

“Gue denger,” 

“Baguslah,”

Rasen berdecak kemudian bangkit berdiri. “Yuk, berangkat. Gue udah beli stroller bayi.”

“HAH?”

“Kenapa? Tuh udah gue bawa, gue simpen di mobil. Tinggal dipake nanti di Mall.”

“HAAHH?!” Raveena terpekik kaget langsung berdiri. “Lo—lo kapan belinya?” 

“Semalem, hehehe. Lagian masa lo ngegendong terus pas jalan, ya gue beli lah. Biar enak nanti,” jawab Rasen berjalan pergi begitu saja. Raveena tertohok sambil berusaha menelan air liurnya. 

“Kaya yang beli lotre anjir." 

--o0o—

“IHH RASEN KAN UDAH DIBILANG NGGAK USAH BELI YANG ITU!!” 

“Tanggung, udah gue pesenin juga.” 

“BALIKIN LAGI AJA KE TOKO NYA!!”

“Nggak bisa, udah dibayar, Vee.” 

“SIAPA SURUH?!” 

Raveena berbicara setengah beteriak pada Rasen. Saking kesalnya Raveena tidak sadar banyak pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Mengingat bahwa tadi Rasen membeli box bayi dengan harga yang bukan main-main berhasil membuat Raveena meringis di sepanjang jalan. Raveena sudah menolak dengan keras, tapi Rasen kekeuh dengan niatnya. 

“Kenapa sih, Vee? Santai aja kali,” 

“Lo kok enak banget sih ngomong kayak gitu. Harganya mahal tau nggak?” bisik Raveena, geram.

“Cuma dua juta setengah, murah kok.” 

“Cuma?” tanya Raveena tak habis pikir. “Cuma lo bilang? Oy, itu kalau dibeli perlengkapan yang lain udah dapet 2 trolley!”

“Kita pulang aja, deh, Sen.” Raveena menghentikan langkahnya. “Jangan belanja disini, mahal. Mending ke toko biasa aja.”

“Lho? Tapi gue betah di sini Vee, ada AC nya.”

“Yaudah lo di sini aja sendiri, gue sama Nayara mau pulang.”

“Nggak bisa gitu dong! Kan gue kepala keluarganya. Lo sebagai Ibu rumah tangga tinggal nurut aja,” ucap Rasen. 

“Tapi gue nggak mau belanja disini. Gue mau pulang aja.” 

Saat Raveena hendak berjalan seraya mendorong stroller, tiba-tiba Rasen menarik rambutnya hingga tubuhnya hampir kejengkang ke belakang. Tolil emang.

“ADUH BISA NGGAK SIH GAK JAMBAK-JAMBAK GUEEEE?!” kesal Raveena. “NTAR KALAU BOTAK GIMANA?!”

“Nggak usah toa. Gue juga denger.”

"Karena lo jambak gue!"

"Gue narik dikit elah, lebay amat lo. Langsung kejengkang gitu." 

“Tau ah, gue mau pulang aja!” 

“Eits! No, no, no! Enggak!” Rasen menarik lengan Raveena. “Pantang pulang sebelum kita belanja!” Rasen langsung berdiri di depan stroller. 

“Lo pikir ntar Nayara bakal gimana kalau kita nggak belanja? Di sabunin sama sanlet? Makan sama nasi goreng? Terus kalau haus dikasih minum kopi gitu?” tanya Rasen. 

“Ya--ya enggak lah!” tukas Raveena. 

“Nah, kan, udah sekarang tinggal nurut aja.” Rasen mengambil alih stroller Nayara. 

“Tapi sen--”

“Jangan banyak ngomong, malu diliatin sama satpam! Supermarket nya di sebelah mana, Vee?" 

“Sebelah sana.” Raveena menujuk sekilas. Wajahnya masih tak bersahabat. Bukan karena apa-apa, tapi Raveena merasa terlalu membebankan Rasen dari segi biaya. Dia jadi malu sendiri.

--o0o—

“Popoknya udah dimasukin?” tanya Raveena. 

“Udah,” jawab Rasen. 

“handuk kecilnya?”

“Kanebo garing?" Rasen balik nanya. 

“KANEBO PALELU!” balas Raveena ngegas. Matanya kemudian mengamati barang belanjaan di dalam trolley. 

“Komestika bayi nya..., Baby bath, baby shampoo, baby oil, baby lotion....,” gumaman Raveena terhenti lalu meraih satu bungkus detergen. Gadis itu menatap Rasen. "Risho buat apaan, Sen?" 

“Mandiin Nayara." 

Raveena berdecak saat melihat raut wajah Rasen sangat santai. Tanpa rasa beban dan dosa cowok itu malah nyengir. Raveena tidak menyangka kalau tingkat ketololan Rasen sudah kronis. 

Raveena kembali mendorong stroller bayinya, meninggalkan area Non Food dan berjalan menuju divisi Food. Rasen mengikuti dari belakang sambil mendorong barang belanjaan yang sudah terkumpul satu trolley penuh. 

“Yang? Liat deh pasutri yang lagi dorong bayi itu, lucu banget ya!” ucap seorang perempuan yang sedang menghadap rak shelving berisi snack. Rasen dan Raveena menoleh secara bersamaan. 

“Kamu kapan lamar aku? Nikahin aku?” rengek perempuan itu. Rasen dan Raveena pura-pura melanjutkan aktivitasnya.

“Liat ih mereka. Mereka pasti nikah muda, makanya udah punya baby. Awhh so cute. Serasi, cocok!” ujarnya terus-terusan. 

“Ntar kita nikah, kalau kerjaan kamu udah nggak rebahan, rebahan, rebahan mulu,” jawab lelaki di sisinya. “Pantang aku nikahin kalau hobby kamu masih suka baca wattpad sampe subuh.” 

Raveena tersenyum menahan tawa, segera Rasen menggiring Raveena menjauh. Agar tawa gadis itu tidak pecah didepan orang yang membicarakan mereka tadi. Saat Rasen membawa Raveena ke area permen, tiba-tiba langkah mereka berdua berhenti mendapati seseorang yang ada di depan mereka. Keduanya sontak kaget bersamaan. 

“Anjir, Bu Hilda!” umpat Rasen membeku ditempat. Bu Hilda adalah walis kelas 12 IPA 2—tepatnya wali kelas mereka berdua. Wanita separuh baya itu menatap heran, lalu berjalan menghampiri membuat Raveena menggeser dua langkah dari Rasen. 

Raveena membalikan badannya. Pura-pura sibuk memilih camilan, padahal hatinya ketar-ketir, yang dilakukan Raveena cukup masuk akal. Tapi, apa yang dilakukan Rasen membuat Raveena ingin menyentil ginjalnya saat itu juga. Cowok itu malah sibuk mengelap Rak shelving menggunakan tangannya. 

“Raveena? Rasen?” panggil Bu Hilda tersenyum manis. 

“Eh, Bu. Ketemu disini ternyata,” Rasen lebih dulu menyalami tangan Bu Hilda, dilanjutkan oleh Raveena. 

“Kalian lagi jalan-jalan, ya?” 

Tak ada yang menjawab. Raveena dan Rasen saling diam sambil tersenyum kikuk.

“Hey, bayi siapa ini?” tanya Bu Hilda beralih pada Nayara yang sedari tadi tidak tidur. “Hmm—kalian belanja perlengkapan bayi?” Bu Hilda gagal fokus pada isi trolley di depan Rasen.

Masih sama, keduanya diam. Hanya saling pandang. Raveena melotot pada Rasen memberi kode untuk menjawab. Tapi Rasen malah melakukan hal yang sama pada Raveena. Jadilah mereka saling melotot satu sama lain. 

“Ehehe. Ini nih Bu, bantuin Bibi beli perlengkapan.” Akhinya Raveena yang membuka suara. “Iyakan, Sen?”

“Ah, iya Bu. Biasa ponakan baru.”

“Lucu sekali. Keponakan siapa memangnya?” 

Raveena dengan cepat menujuk Rasen, begitu pula Rasen dengan cepat menujuk Raveena. Bu Hilda bingung di tempat. Keduanya sempat saling menoleh, merasa ada yang salah Raveena dan Rasen langsung sama-sama menujuk dirinya sendiri. Bu Hilda lebih bingung. 

“Jadi, ponakan siapa yang sebenarnya?” 

“Nemu.”

“Nemu gimana Rasen?” tanya Bu Hilda aneh. Raveena menahan geram. 

Rasen keceplosan! Rasen bego! Rasen somplak! Rasen bangsul! Rasen..... Gak tau lagi dah. 

“Itu—hmm, jadi—itu—” Rasen kesulitan berbicara. “Hmm—EH BU! SUAMI IBU NYARIIN!” pekik Rasen tiba-tiba. 

“Oh, ya?” Hilda menengok kearah belakang. Dan benar, seorang lelaki melambaikan tangannya seperti sebuah isyarat mengajak nya pergi. Raveena kira itu hanya pembodohan semata, tapi ternyata apa yang Rasen katakan benar.

“Kalau gitu Ibu pergi dulu ya, suami ini udah nyariin. Inget, besok sekolah.”

“Ashiap Bu!” 

“Yaudah, duluan yah Vee, Sen. Salam buat Bibi nya,” pamitnya lalu pergi meninggalkan sejuta kelegaan yang menyerang Raveena dan Rasen secara bersamaan.

Kali ini mereka selamat. Raveena menghela napasnya bebas dan Rasen mengusap wajahnya kasar. Benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan wali kelasnya seperti ini. 

“Gila, gue kaget banget Sen,” gumam Raveena. 

“Lo kira gue santuy gitu? Sama lah, gue juga,” ucap Rasen. “Tapi masih mending kita kepergok sama Bu Hilda sih.”

“Kenapa?”

“Gimana kalau tadi tuh Johan, bukan Bu Hilda? Auto ditonjokin sampe bonyok,” ucap Rasen berhasil membuat Raveena tertegun. 

Benar juga apa yang dikatakan oleh Rasen. apa yang akan terjadi kalau sampai Johan tahu jika dirinya bersama Rasen sekarang? Raveena terdiam cukup lama. 

“Kita ke kasir sekarang, Vee.” Rasen lebih dulu pergi, dan Raveena masih tenggelam dalam pikirannya. 

“Salah nggak sih, gue belanja sama Rasen seharian?” lirih Raveena merasa bersalah. “Johan, Maaf.” 

--o0o—

“Itung dulu coba, udah pas belum.” Raveena memberikan dompetnya yang—berisi uang kas itu pada Lista. Lista ini juga sebenarnya Bendahara, Tapi sama sekali tidak ada kerjaan. Paling ngerepotin Raveena baru paling jago. 

“Kok kurang, Vee?” tanya Lista setelah selesai mengitung. Raveena menautkan kedua alisnya, melihat sebentar kecatatan lalu kembali mengarah pada Lista. 

“Oh, ya? Kok bisa? Itung lagi coba,” pintanya. Raveena lekas kembali mengecek buku catatannya. “Kurang berapa emang nya?”

“Dua ribu, Vee.” 

“Yaiya lah kurang, lo sendiri belum bayar,” ucap Raveena mendengkus. 

Lista mengigit lidahnya sendiri, malu. Satu hal kebiasaan Lista, meski menjabat sebagai Bendahara, dia sendiri suka lupa membayar bahkan pernah sampe nunggak. Raveenanya saja yang selalu tabah dan sabar. 

“Eh, iya-ya. Lupa, duh.”

“Kebiasaan sih lo,” 

“WISHHH!! PAGI SAHABAT-SAHABAT BANGSATKUUUU” teriak Merin yang baru datang masuk kelas. Cewek itu lekas menghampiri dengan larian kecil, di akhir dengan memutar tubuhnya di depan Raveena dan Lista. 

“Harus bangsat banget, ya?” tanya Lista. 

“Lah, emang bener kalian bangsat 'kan. Pena gue sering ilang nggak tahu kemana perginya. Eh malah sembunyi ditas-tas lo pada,” ujar Merin.

“Perbangsatan!” Lanjutnya lagi terkekeh. Raveena hanya menggeleng kecil seraya memasukan kembali uang kedalam dompetnya itu. 

Brak!

“OH IYA! Gue punya cerita baru nih sama kalean-kalean,” ujar Merin menggebrak meja membuat keduanya terpelonjak kaget. “Dengerin dong, dengerin!” 

“Kalau cerita, ya cerita aja. Kagak usah sambil ngancurin fasilitas sekolah,” kata Raveena mencibir sebal.

“Tapi ini ceritanya sangat, sangat, SANGAT LUARR BIAZAAAA!! Gue yakin lo bakal kaget dengernya!” 

“Yaudah-iya, apaan coba?” tanya Lista penasaran.

Merin berjalan mendekat, sedikit membungkuk dengan kedua siku tangan di letakan diatas meja. Lista dan Raveena mengarahkan kepalanya agar lebih dekat. “Kemarin gue ke Mall. Terus gue liat ada pasutri mirip Rasen sama Raveena! GILA BANGET NGGAK TUH? IYAKAN EDAN BANGET?!” 

What the...?

Lista yang mendengar itu hanya menanggapi dengan eskpresi biasa saja, tapi berbeda dengan Raveena. Gadis itu membulatkan matanya kaget. Saking kagetnya, ia tidak bisa mengontrol ekspresi wajahnya yang mulai kentara cemas dan resah. Buru-buru Raveena membuka ponselnya, pura-pura membuka sosial media.

“Masa sih, Mer?” 

“Yaelah, kapan seorang Merin menjadi dusta? Seriusan gue liat. Bener-bener mirip cuy! Bahkan pas pertama gue ngiranya beneran Raveena sama Rasen masa.” 

“Nga-ngaco lo, Mer! Mana mungkin gue jalan sama Rasen.” Raveena meyanggah. Padahal jauh dalam hatinya deg-degan setengah mati. 

“Nah, iya itu! Gue nggak langsung percaya gitu lah, kan Raveena sebel banget sama si mahluk Pluto itu. Masa nggak ada angin, nggak ada hujan bisa jalan bareng lagi.”

Puji syukur kalau ternyata pemikiran Merin se-simple ini. Raveena mengatur napasnya sesaat. 

“Eits! Tapi bisa ajakan kalau itu beneran Raveena sama Rasen,” ucap Lista menatap penuh kecurigaan pada Raveena sampai gelagapan sendiri.

“Hah? Lo—lo jangan asal jiplak kalau ngomong, palingan mirip sekilas lailah.” Raveena tertawa getir. “Gue juga sering liat orang mirip Emak-emak lo pada. Mirip mantan lo pada juga pernah, udah lah nggak usah dibahas. Nggak penting ini.” 

“Ya sih, gue yakin itu bukan lo. Soalnya tuh pasutri bawa kereta bayi gitu, nggak mungkin kan lo sama Rasen bawa-bawa bayi ke Mall. Kalau iya, bayi siapa juga,” ucap Merin lekas menyimpan tasnya. 

“Hehe, iyalah Mer punya bayi darimana gue,” jawab Raveena dengan arah pandangan tak bertujuan.

Gila! Raveena pikir hanya Bu Hilda yang melihatnya bersama Rasen. Ternyata Merin juga, apa benar Merin orang terakhir yang melihatnya? Raveena langsung panas dingin. 

Aduh mati gue kalau Johan tau.

***

Tbc ❤

Comments (1)
goodnovel comment avatar
SAINUDDIN SESE DAENG SIJAYA
ceritanya bagus tapi koinnya mahal bingitzzzz............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status