Share

BAB 3 : Baby?

Author Pov

"Bi, hari ini jadi ke Singapore?" tanya Raveena di sela-sela sarapannya. 

"Ya lah jadi. Kapan lagi coba liburan ke luar negri gratis?" jawab Maudy—Bibi dari Raveena itu sibuk mengoleskan selai di beberapa lembar roti. "Kamu serius nggak mau ikut? Nggak berubah pikiran?"

"Nggak Bi. Itukan acara kantor Bibi, mana mau aku gabung main sama orang-orang dewasa. Beda generasi." 

"Tapi ini gue dikasih tiket gratis lagi buat satu anggota keluarga. Ya, kalau lo nggak mau ikut sih nggak apa-apa. Gue bisa ajak anak Mang Sueb."  

"Ajak aja, nggak iri kok."

"Halah, awas ntar nyesel. Mampos!" cibir Maudy terus-terusan.

"Buset, nggak akan lah. Ya ampun." 

"Bisa jadikan ntar lo nelpon gue pas gue udah di sana, terus nangis-nangis pengen di jemput," ujar Maudy melahap rotinya. 

"Ih! Sama ponakan jangan pakek lo-gue. Udah dikasih tau juga!" 

"Kenapa sih? Nggak akan mati juga kalau ngomong pakek lo-gue." Maudy sewot. 

"Iya-iya serah Bibi aja," ucap Raveena menyudahi. "Berapa lama disana, Bi?" 

Maudy menerawang ke atas langit-langit ruangan, seperti sedang mengingat. "Semingguan lah, nggak akan lama. Kamu nggak takutkan ditinggal sendiri di rumah?" tanyanya. Pakai aku-kamu lagi. Soalnya udah ditegur Raveena tadi. 

"Nggak bakalan. Udah sering kali aku ditinggal sendiri di rumah. Udah gede, bukan anak TK," jawabnya tandas.

Sesudah itu tidak ada lagi pembahasan, lalu keduanya melanjutkan sarapan. Maudy adalah adik dari mendiang Ayah Raveena. Dia seorang janda yang masih terbilang muda. Maudy diceraikan oleh suaminya 3 tahun silam karena tidak bisa memiliki seorang keturunan. Maka dari itu, Maudy sangat menyayangi Raveena.

"Bibi berangkat siang. Awas, tabung gas jangan sampe ilang." 

---o0o----

"Ganteng gila sih ni cowok. Suka gue, idung nya yaampun! Pengen gigit Dedeq Bang!"

"Ototnya wagelaseh, edan! Edan! Edan!"

"Mantep inimah. Ini actor Negara mana sih? Kok mukanya seakan-akan pengen banget gue ajak nikah." 

"Turunan dari surga kayaknya ni orang." 

Raveena yang baru saja tiba di kelas langsung mengarahkan langkahnya ke arah dua gadis yang sedang heboh menatap layar ponselnya. Berjalan lebih dekat.

"Woy, Upin! Ipin!" panggil Raveena. 

Dua gadis itu lantas menoleh. Beberapa saat kemudian mereka nyengir, memamerkan deret giginya yang rapih dan bersih. "Eh, Tante.. gimana kabarnya? Sehat? Udah lama nih nggak temu kangen," ujar salah satu dari mereka, so manis.

"Nggak usah lebay kayak gitu, Mer. Merinding disko gue dengernya," balas Raveena. 

"Lo juga Lista! Bukannya bantuin gue nagihin uang kas kemarin. Malah baru masuk. Lo berdua kemarin kenapa nggak sekolah? Bisa samaan gitu lagi, janjian ya lo pada?" tuduh Raveena kepada kedua temannya spontan. Merin dan Lista hanya cengengesan. 

"Lagi?" tebak Raveena saat mengerti apa yang telah terjadi. 

"Salahin si Merin, Vee. Dia yang ngajak duluan nonton drakor sampe jam 4 subuh," ujar Lista tidak mau disalahkan.

"Gue mana tahu kalau ceritanya bakal seseru itu, Vee. Nanggung banget kalau nggak ditamatin. Lagian si Lista juga nggak nolak. Dia mau-mau aja diajak gadang," ucap Merin membela diri. 

"Ya tapi mikir-mikir dulu dong. Lo pada gadang pas malam senin? Seriusan kalian udah kayak nggak niat sekolah gitu." 

"Emang," jawab keduanya serempak.

"Vee...." 

Merasa terpanggil, Raveena menoleh ke arah sumber suara-diikuti Lista dan Merin. Ternyata itu Rasen. cowok itu tiba-tiba menghampiri. Hari ini tampilan nya begitu buruk; rambutnya acak-acakan, seragam yang tidak terlihat rapih. Wajahnya juga sedikit pucat dengan kantung mata yang terlihat jelas. Seperti habis begadang.

"Materi tugas kemarin masih ada? Sini gue mau ngerjain," ujar nya sambil mengusap-ngusap wajahnya kasar. 

Alih-alih menjawab, Raveena malah tertegun beberapa saat. Menghiraukan ucapan Rasen tadi. Karena penampilan Rasen hari ini membuat Raveena terdiam cukup lama. 

"Vee.." panggil Rasen lagi menyadarkan lamunan Raveena. Suaranya terdengar lemas. 

"Ah, iya. Lo nggak usah ngerjain deh Sen. Udah gue beresin semalem," jawab Raveena.

"Katanya nggak mau dikerjain sendiri, tapi lo juga yang beresin."

"Gue gabut semalem." 

"Sen? Are you okey?" tanya Lista yang merasa aneh melihat Rasen hari ini. cowok itu tidak semenyebalkan hari-hari biasanya. Cenderung kalem dan tak mengeluarkan mahabacotan-nya.

"Its ok," jawab Rasen sedikit menguap.

"Lo pasti juga gadang kan?" tanya Merin. "Pasti tidurnya subuh ni gara-gara maen games. Biasanya sih cowok kayak gitu, atau kalau nggak pasti nonton bola. Oke lah, sebelas duabelas sama gue sama Lista."

"Tau aja lo," balas Rasen tersenyum kecil. Raveena tahu jawaban Rasen adalah kebohongan. Rasen seperti ini pasti karena pekerjannya, itu pasti.

"Vee, gue mau bayar uang kas dong." Pernyataan Rasen berhasil membuat ketiganya mematung di tempat. 

Apa mereka tidak salah dengar? Seorang Rasen bayar uang kas? Beneran? Raveena membelalakan matanya tak percaya. 

"Ulangi lagi coba," pintanya. 

"Gue mau bayar uang kas," ucap Rasen mengulangi kalimat. 

"ALHAMDULILLAH!!!" seru semuanya serempak. Lista dan Merin mengadahkan kedua telapak tangannya bahagia. Seakan-akan tindakan Rasen ini adalah hal paling mulia yang pernah ada. Suatu keajaiban yang ntah dari mana datangnya.

"Rasen tobat." 

"Anjir terhura aing," ucap Rasen melihat reaksi ketiganya. "Gue mau bayar uang kas aja, muka kalian sampai sebahagia itu. Bener-bener mulia banget sikap gue hari ini." 

"Gue ... gue bangga sama lo, Sen." Lista tak bisa berkata-kata. 

"Hm, gue tau Lis. Gue emang membanggakan. Udah nggak usah muji lagi. Kalian nggak perlu repot-repot," ucap Rasen enteng. 

"Ngh ... nyesel gue ngomong," gumam Lista. 

"Gue tunggu lo di bangku sana Vee," ucap Rasen menujuk bangku dekat ambang pintu. 

"Ck! Disini aja elah, Sen." Decak Raveena seraya mengernyitkan dahinya. "Cuma bayar juga."

"Nggak mau, pokoknya di bangku sana. Atau kalau lo nggak mau ya udah, Rasen si cerdas dan ganteng ini nggak jadi--" 

"Eh-iya, iya. Nggak usah dilanjutin. Kita kebangku sana," kata Raveena menyela ucapan Rasen. Buru-buru gadis itu melangkah lebih maju. Atau kalau tidak Rasen akan berubah pikiran. 

---o0o--- 

"Mau bayar semuanya? Bentaran, gue ngitung dulu." Raveena sibuk mengeluarkan buku catatan nya, moodnya tiba-tiba bagus hari ini. "Lo nggak bayar 4 bulan ya, Sen. Berarti kalau 4 bulan? Jadi—" 

"Semanget banget sih lo. Mau aja dikibulin, bohongan juga," ucap Rasen enteng. 

Raveena tertohok saat itu juga. Apa katanya tadi? 

Bohongan?

BOHONGAN?!

B.O.H.O.N.G.A.N????

Persetan untuk muka ganteng si Rasen yang ntah kapan jeleknya. Raveena ingin sekali mencokel mata Rasen lalu dijadikan pajangan di dalam lemari kacanya. Bisa-bisanya Raveena percaya saja kalau Rasen akan bayar uang kas? Ha! Raveena merutuki kebodohannya. 

"Bangsul kau mamank!" umpat Raveena mendelik sinis. "Terus lo nyuruh gue kesini mau apa? Dengerin bacotan lo yang indah itu? Eohh." Raveena berbicara tanpa melihat kearah Rasen.

"Hehe. Jangan pundung elah. Jadi gue ngajak lo ke sini karena gue cuma mau minta materi–" 

"Kan gue udah bilang tugas nya udah gue kerjain! Jadi lo nggak usah minta lagi materi! UDAH BERES! UDAH KOMPLIT!" ucap Raveena nyolot begitu saja. Lalu saat Raveena hendak melangkah, tiba-tiba Rasen menarik rambut panjangnya hingga tubuh gadis itu hampir kejengkang.

"Bentar dulu, gue belom beres ngomong Munaroh!"

"Eh onta! Jan ditarik-tarik rambut gue. Huaa! Ntar botak ih, Rasen!" 

"Makanya dengerin dulu. Maen kabur-kabur aja," cibir Rasen. Raveena langsung diam. "Gue minta materi buat rapat hari ini. bukan materi tugas," ungkap Rasen dengan nada sepelan mungkin. 

Raveena bungkam untuk beberapa menit sebelum akhirnya membuka suara setelah mengingat sesuatu. "AH IYA RAPAT–EH!"

Raveena langsung menangkup mulutnya dengan cepat. Apalagi Rasen sudah melotot lebar. Gadis itu hanya tersenyum malu dengan mata diedarkan, memastikan tidak ada yang mendengar ucapannya. 

"Schedule lo padet hari ini," bisik Raveena. 

Rasen mengangguk mengerti. "Coba sebutin."

Raveena merogoh ponselnya, menggulir layar dengan hati-hati dan fokus. Rasen menunggu seraya menengok kearah kanan dan kiri. "Jam 1 siang di café Siloka sama klien dari Surabaya. Terus jam 5 nya sama klien dari Jogja di ruang utama," ucap Raveena memberi informasi.

Jeda, "Materi lo buat meeting jam 1 udah gue siapin, tinggal ambil aja dari flashdisk gue. Soalnya Sekretaris lo lagi sakit. Terus iya, proposal yang lo kasih ke gue udah gue revisi dikit, terus udah gue kasihin ke Pak Bobby."

Rasen bukan lelaki yang gila harta untuk dipamerkan. Di sekolah, hanya Raveena, Daffa dan Romi yang tau. Mereka menutup rahasia itu rapat-rapat sesuai keinginan Rasen. Ini di sekolah. Semua orang harus mengenal Rasen sebagai siswa, bukan penerus perusahaan yang mungkin akan membuat beberapa orang tertawa bodoh karena terdengar mustahil.

Bahkan Raveena sendiri saja bingung. Ntah sejak kapan dirinya sering membantu Rasen atas semua masalah perusahaanya. Kadang Raveena merasa kalau dirinya seperti asisten pribadi tuan muda ini. ini bukanlah keinginan Raveena, tapi Rasen sendiri yang membuatnya menjadi orang terpercaya secara tidak langsung. Padahal Rasen memiliki puluhan asisten yang siap membantunya. Tapi kembali lagi, Rasen selalu meminta bantuan Raveena. Dengan dusta selalu mengatakan; Vee, bantuin gue kali ini aja. Ntar uang kas gue bayar, lunas!

Dan begonya Raveena malah nurut. Alhasil, sekarang apapun jadwal Rasen. Raveena selalu tahu.

"Siap, coba mana flashdisknya. Gue mau salin," ucap Rasen.

"Lo beneran nggak pa-pa, Sen?" tanya Raveena merasa kasian melihat wajah Rasen yang kusut.

"Nggak pa-pa, selow aee. Cuma gugup aja nanti."

"Seriously? Masa meeting sama klien Jepang minggu kemarin nggak gugup," ucap Raveena menatap kecurigaan. 

Rasen menghela nafasnya kasar. "Nggak tahu, mungkin belom liat cewek cantik kali. Makanya gugup. Ntar deh, gue cuci mata dulu liat dede emesh pas istirahat." 

"Pingsan aja lo sono." 

---o0o----

"Jo, nggak mau mampir dulu?" tawar Raveena, setelah motor Johan terhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya. Ya, Johan mengantar Raveena pulang hari ini.

"Nggak ah, Vee. Gue harus pulang cepet, mau mabar sama anak-anak," jawabnya.

"Katanya mau nganter ke Gramedia, kok?" 

"Kapan-kapan aja deh, ntar kalau ada waktu luang gue ngabarin lo."

Raveena hanya tersenyum tipis. Sudah terbiasa mendengar penuturan dari Johan seperti ini. 4 bulan berpacaran, tapi Raveena selalu merasa tidak memiliki seorang pacar. Johan terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Mungkin sepertinya Johan lupa kalau Raveena adalah wanita ia nyatakan perasaannya di tengah lapangan dengan sebuket bunga dan juga boneka yang sangat besar. Itu pertama dan terakhir kalinya Raveena melihat sikap romantis Johan. Dan tidak lagi. 

Raveena hanya dekat dengan namanya, bukan orangnya. 

"Yaudah iya, hati-hati ya pulangnya. Nanti sebelum mabar makan dulu. Kamu suka bablas sampe malem," ujarnya. 

Johan menanggapi dengan anggukan kecil. "Gue pulang dulu, Bi Maudy jadi ke Singapore kan? Kalau nggak ada temen, chatt aja Lista atau Merin," usulnya. 

Ingin sekali Raveena berbicara; kenapa bukan lo yang nemenin? tapi gadis itu memilih diam. Mengalah. 

"Iya," jawab Raveena lalu membalikan badannya. Membuka gerbang pintu rumahnya yang tertutup saat Johan telah melesat pergi. 

Keadaan rumahnya sangat sepi, berarti Maudy telah berangkat ke Singapore. Raveena berjalan dengan kepala terus menunduk menatap layar ponsel. Mengecek Instragamnya yang penuh dengan DM dari adik kelas. Tersenyum geli membaca beberapa kalimat receh dan gombalan dari mereka. 

"Kalau udah putus dari Johan chatt gue ya Vee." Raveena mengernyitkan dahinya membaca direct message salah satu dari mereka. "Gila! Ada-ada aja."

"OEEKKK! OEEKKK!" 

Raveena refleks mendongak 'kan kepalanya. Suara tangis bayi yang terdengar nyaring dan keras itu memecah belah fokus aktivitasnya barusan. "Suara bayi siapa tuh," gumam Raveena mengedarkan padangannya. Tidak ada siapa-siapa. 

Raveena berjinjit sambil celingak celinguk ke arah gerbang rumah. Tapi keadaan sepi, tidak ada siapapun. 

"Anak tentangga kali," ujarnya berpostif thinking. Gadis itu kembali melanjutkan aktivitasnya sambil berjalan kecil menuju teras rumah.

"OEEKKK! OEEKKK!" 

Lagi, Raveena tersentak sambil menahan napasnya saat suara tangis bayi itu kembali terdengar. "Bayi siapa sih yang nangis? Emaknya kemana?" Raveena bermonolog dengan wajah was-was. 

Karena sepengetahuan Raveena, tentangganya tidak ada yang memiliki bayi. Kalaupun ada, kenapa suara tangis bayi itu terdengar dekat dengannya. Bahkan sangat dekat. 

Raveena berjalan dengan terburu-buru. Pikirannya sudah melayang kemana-mana. Gadis itu lekas berlari kecil kearah teras. Setelah di depan pintu Raveena langsung membuka kunci tanpa menoleh lagi kebelakang. Hingga...

"OEEKKK! OEEKKK!" 

"SETAN, JIN, ANJIR ASTAGFIRULLAH KASAR!" Raveena memekik sangat keras. 

Tubuhnya membeku di tempat dengan tatapan terkuci pada satu arah. Di teras sebelah kanan—tepatnya didekat pot bunga, terdapat bayi mungil yang terbaring di atas ranjang berukuran sedang bewarna coklat. Saat itu juga, wajah Raveena sangat pucat seputih kapas. Ntah sejak kapan tangannya gemetar hebat seperti sedang mengigil. Darahnya berdesir kuat. Raveena sesak napas. 

"Ba-bayi? Eh, orok? Eh, YA ALLAH INI APAAN?!?!"

***

Tbc ❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status