Tamara memarkirkan mobilnya di halaman depan kantor. Ia keluar menenteng segelas kopi yang sengaja ia beli untuk menemaninya.
“Eh, bu Tamara, kok balik lagi?” tanya seorang satpam yang baru selesai berkeliling melakukan patroli malam. Tamara tersenyum, “Masih ada kerjaan, pak. Saya masuk ya.” “Oh iya, silakan, bu.” Tamara berjalan lunglai menuju ruangannya yang sudah gelap. Di beberapa ruangan depertemen Investasi dan Akuntansi masih ada yang bekerja. Mereka saling sapa hanya mengangkat tangan dan tersenyum. Dengan perasaan merasa bersalah karena tak sengaja Reno mendengar ucapannya, membuat Tamara takut ketika Reno menanyakan maksud ucapannya dirumah. “Ah, kenapa sih gue ngomongnya kenceng-kenceng tadi. Kan mas Reno jadi denger.” Tamara duduk menghidupkan kompter. Tidak, ia tidak akan bekerja seperti yang ia katakan pada pak satpam, ia hanya akan mencari tahu kehidupan Kirana dari sosial media. Sudah lima belas menit berselancar ia tak menemukan banyak postingan Kirana. Tamara mendecek, “Dasar culun. Dia gak ngerti fungsi media sosial apa gimana sih. Kenapa dalam setahun dia cuma posting empat foto aja. Apa gue cari artikel soal papanya aja? Siapa tadi namanya? Priyowo Abdi. Oke, gue cari.” Ada banyak artikel yang memuat informasi papa Kirana. Satu persatu artikel itu Tamara baca dengan serius. Setiap membaca Headline, hatinya tiba-tiba menghangat. Ada perasaan iri bercampur bahagia ketika ia mengetahui fakta bahwa Kirana lahir dan tumbuh dikeluarga yang begitu menyayanginya. “Bahkan papanya kasih kebebasan buat si Kirana kuliah Akuntansi? Padahal papanya pengen banget anaknya jadi Diplomat. Ah, andai gue punya orang tua sebaik ini. Gue pasti bahagia banget.” Sudah dua jam Tamara membaca banyak hal mengenai keluarga Kirana. Ia yang melirik jam dinding dan sadar sudah waktunya pulang, langsung menghapus semua riwayat pencarian Kirana dalam mesin keywoard internet di komputernya. Jangan sampai Tita tahu. Ia lalu menutup semua program dan mematikan komputer. “Kayaknya orang-orang rumah udah tidur jam segini. Oke, gue pulang.” Begitu sampai rumah, Tamara berjalan mengendap-endap saat lampu rumahnya sudah gelap. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Ia sedang malas bertegur sapa dengan siapapun, sehingga pulang larut malam begini adalah alternatif yang paling baik untuk menghindari pertengkaran yang selalu sama setiap harinya, apalagi dengan Reno. “Mana kue pesenan mama?” Tamara membalikkan badan menatap mama mertuanya yang berdiri dibawah tangga sedang menepuk-nepuk wajahnya yang tertempel masker, “Eum, pesenan mama udah aku taruh di kulkas.” “Oh.” Mama membalikkan badan dan masuk ke dalam kamarnya yang berada di bawah tangga. Tamara membuang nafas lega. Ia pikir mertuanya akan mengajaknya berdebat seperti biasa. Ia menapaki anak tangga agar bisa cepat sampai dikamarnya. Begitu membuka pintu kamar, Reno yang sudah terlelap bangun seketika. Ia membawa bantal dan berjalan melewatinya yang masih berdiri di ambang pintu. “Kamu mau kemana, mas?” “Tidur lah.” jawabnya ketus tanpa melirik Tamara sedikit pun. “Kenapa gak tidur disini aja?” Reno berhenti melangkah tanpa membalikkan badan, “Kamu tahu kenapa aku gak mau tidur sama kamu.” ia lanjut berjalan hingga membuka pintu disebrang kamar utama dan menutup pintunya dengan pelan. Tamara berjalan ke dalam kamarnya. Ia duduk di depan meja rias dengan wajah super sendu. Ini wajah yang ia lihat ada di Kirana tadi, “Kirana, lo punya kesempatan buat cari suami yang baik dan mencintai lo, bukan kayak gue yang.... ah, ngomong apa sih gue. Jelas-jelas gue lebih beruntung dari siapapun karena bisa nikah sama Reno Harditya.” Sambil terus menatap wajahnya yang memprihatinkan, Tamara meraih ponsel dari tas tangannya. Ia membuka ponsel dan melihat story yang dibagikan Kirana dua jam lalu. Sebuah potret ia dan ibunya tengah duduk berdekatan sambil melakukan video call dengan ayahnya yang berada di Russia. “Lo belum menikah di usia ini, tapi lo punya orang tua yang sayang sama lo, Na.” Tamara menggeser menu story. Ia mencari kontak seseorang bernama bunda. Ia melihat kapan terakhir mereka berbincang via chat. Tiga bulan lalu, itu pun ketika ia sedang sakit dan mengatakan rindu ingin melakukan video call, tapi bunda tidak menanggapinya. “Hidup gue gak sempurna, Kirana. Hidup lo yang sempurna.” Tamara menunduk, air mata berjatuhan ke atas rok, “Kalo bisa pilih, gue lebih baik terlambat bertemu jodoh dari pada gak dicintai orang tua sendiri.” Hati Tamara terasa nyeri. Ia yang lahir sebagai anak tak diinginkan membuatnya mau tak mau harus tinggal bersama keluarga lainnya. Ketika parasnya yang sempurna sejurus dengan kepintaran, saat beranjak remaja ia lebih memilih untuk hidup sendiri dan melawan dunia. Hidupnya yang keras membuatnya begitu membenci orang-orang lemah, termasuk Kirana. “Mungkin gue gak butuh nikah sama Reno Harditya, gue gak butuh jabatan mentereng di Bank, gue gak butuh mertua yang sayang sama gue cuma di depan orang. Gue butuh orang tua, gue butuh kasih sayang, gue butuh... pelukkan.” Tamara mengangkat wajahnya perlahan. Di cermin ia bisa melihat tatapan menyedihkan yang selama ini ia simpan sendiri. Tak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri, sehingga tadi ia begitu terkejut saat Kirana mengatakan semua yang terjadi dalam hidupnya. Ketidak bahagiaan, penderitaan, pencitraan. Kirana tahu dari mana ya? “Stop mikirin omongan gak penting si Kirana. Tamara, lo cantik, lo pinter, lo independent woman. Lo butuh status pernikahan sama Reno Harditya dan dicintai pura-pura sama mertua lo depan banyak orang. Apa yang lo punya sekarang lagi dikejar-kejar banyak orang, semua orang.” Ia mengangguk sambil mengatur nafasnya. Setelah perasaannya sedikit lebih tenang, tangannya mengambil kapas dan micellar watter untuk membersihkan wajahnya dari makeup sebelum membersihkannya di kamar mandi. Tapi matanya mendadak sepat dan mengantuk. Padahal ia terbiasa tidur lewat tengah malam karena harus menyelesaikan pekerjaannya. Tapi malam ini ia menyerah karena kedua matanya tidak bisa diajak kompromi. Sekelebat cahaya aneh yang masuk ke dalam kamarnya tak ia hiraukan. Ia mendekati ranjang dan tertidur amat lelap tanpa sempat mengganti baju.Pintu terbuka saat ibu menghampiri kamar Kirana untuk membangunkannya, “Nak, bangun, sayang. Udah jam lima, kamu mau jogging ‘kan?”“Hmmm.”Ibu yang baru selesai membuka gorden dan jendela tersenyum menghampiri Kirana dan mengelus rambutnya dengan lembut, “Kamu pasti kecapekan ya? Ya udah gak usah jogging, libur dulu aja.”“Siapa yang suka jogging sih.” jawabnya sambil menutup mata.“Loh, kamu ‘kan udah sebelas tahun ini rutin jogging tiap pagi, sayang. Kamu lupa?”Kirana menggaruk pipinya dengan kasar, “Mimpi kali.”Ibu yang merasa ada yang berbeda dengan sikap Kirana mengelus rambutnya lagi, “Kamu kenapa, sayang? Ada masalah?”“Aduh jangan ganggu dong. Ini jam berapa coba. Alarm aja belum bunyi.”“Alarm kamu ‘kan suara ibu, sayang.”Kirana menjauhkan tangan ibu yang mengelus kepalanya, “Jangan ganggu, masih ngantuk.”Ibu menurut. Mungkin Kirana memang sangat kelelahan dan sedang stress. Apalagi sepulang dari kantor kemarin petang, ia langsung menangis mengadu mendapatkan ucapan tida
Tamara menikmati sikap hangat ibu yang selalu memanjakan dan memperhatikan banyak hal kecil padanya. Kini saat makan berdua, matanya tak henti menatap ibu yang tengah menuangkan kembali bubur Udang ke mangkuk yang ada didepannya.“Kamu laper banget ya?”Tamara tersenyum, “Masakan ibu enak.”Ibu ikut tersenyum, “Makasih sayang. Ibu seneng kamu suka.”“Bu, aku mau ke kantor hari ini.”“Loh, emang udah baikkan? Kamu udah gak pusing lagi?”Tamara menggeleng, “Aku lupa ada janji sama penulis lain.”“Oh, Erik ya? Erik apa kabar, sayang?”Tamara melotot, “Hah? Eum, baik, bu.”“Udah lama Erik gak ke rumah. Kamu ajakin ya nanti.”“Iya, bu, nanti aku ajakkin.”“Progress buku dia sekarang gimana? Bagus?”Tamara menggaruk rambutnya, “Bagus kayaknya, bu.”“Kok kayaknya?”“Eum... soalnya aku lupa.”“Oalah, sangking banyaknya penulis yang ada dibawah naungan kamu, kamu sampe lupa ya. Kasian anak ibu.” Ibu mengelus lembut punggung tangan Tamara.“Hehe, iya bu.”“Kalo kamu mau, ibu bi
Tamara menyikut Kirana. Ia memintanya untuk menjelaskan pada Reno bahwa mereka sedang membicarakan orang lain atau apapun yang masuk akal.“Eum... itu... kita lagi ngomongin tokoh novel, mas.” Tamara bicara buru-buru, karena nampaknya pikiran Kirana masih ruwet efek pertukaran badan mereka pagi ini.Reno menatap Kirana, “Kamu suka novel?"Kirana melirik Tamara lalu menatap Reno, “Iya, semenjak ketemu Tamara, eh Kirana, aku jadi suka novel, mas."“Kalian... beneran udah akur ‘kan?”Tamara dan Kirana saling tatap.Tamara tertawa, “Akur dong, mas. Kita udah baikkan ya?”Kirana mengangguk, “Kita udah baikkan, mas.”Reno mengangguk-angguk, “Syukur deh kalo emang udah baikkan. Ya udah, yuk, kita berangkat, Andin udah siap berangkat sekolah.”Saat Kirana hendak mengangguk, Tamara menarik lengan Kirana, “Kita ‘kan mau berangkat ke kantor bareng! Lo lupa ya?”Kirana menatap Tamara bingung. Beberapa menit lalu tidak ada pembicaraan itu perasaan.“Ayo ajak Andin berangkat sama kita aj
Selama di mobil, Tamara hanya menjadi pendengar semua percakapan Kirana dan Andin. Ia membuang nafas berkali-kali karena merasa iri. Andin yang tinggal bersamanya selama ini tidak pernah bisa seceria ini saat bersama Kirana. Kenapa dengan Kirana ia bisa tertawa lebar begini, ya? Padahal mereka baru saja bertemu beberapa jam.“Aduh, mami capek banget.” Kirana memegangi perutnya sambil terus tertawa.Andin juga tertawa, “Andin juga capek banget."Kirana tersenyum. Ia mengelus rambut Andin dan melirik Tamara, “Eum... Tamara, kamu kenapa diem aja?”Tamara melotot. Ia memperingatkan Kirana dengan memonyongkan mulutnya agar Andin tidak melihat. Meski masih kecil Andin ini pintar dan pemerhati sekali. Jangan sampai Andin membocorkan ini pada Reno, mama, atau suster Tina.“Eh, eum... maksud aku, Kirana.”“Mami tadi kok bisa salah manggil? Tamara ‘kan nama mami.”Kirana tersenyum, “Iya, mami lupa, soalnya udah capek ketawa terus sama kamu.”Andin tersenyum, ia melirik Kirana yang berpe
Tamara berjalan cepat dari parkiran menuju gedung publiser buku milik ayahnya. Ayah Kirana maksudnya. Ia tersenyum menahan tawa karena masih tidak menyangka akan menikmati momen ini. Ia yang sebenarnya bingung harus melakukan apa saat melakukan bimbingan dengan para penulis yang ada dibawah naungannya, merasa ini adalah momen langka yang mungkin hanya akan terjadi beberapa hari saja, maka ia akan menikmati ini tanpa stress yang berarti.“Selamat pagi, mbak Kirana.” sapa satpam membuka pintu utama gedung.Tamara diam beberapa detik. Ia nyaris tak berhenti melangkah karena yang di sapa adalah Kirana, bukan dirinya. Untungnya refleksnya cukup baik. Ia terus mengatakan pada diri sendiri, bahwa ia adalah Kirana saat ini.“Eh, pak, pagiii.”“Mbak Kirana seger banget hari ini. Lagi seneng ya?” goda pak satpam.“Lumayan. Meskipun agak bingung, tapi aku seneng hari ini.”Pak satpam mengangguk, “Ya sudah mbak, silakan masuk, mas Erik sudah tunggu di atas.”“Erik? Erik siapa, pak?”Pak
Erik terus memperhatikan cara Tamara membaca naskahnya di tablet. Tamara terlihat kebingungan dengan kalimat-kalimat yang sudah disusun rapi dan menjadi sebuah opening epilog novel miliknya. Tamara menaruh tablet dimeja dan menatap Erik, “Kayaknya aku... belum bisa bimbingan hari ini.”“Aku ‘kan udah bilang tadi.”“Ya udah kamu pulang aja sana."Erik tersenyum, “Kamu ngusir aku?”Tamara menggeleng. Ia tidak mau mengusir Erik, tapi bingung harus bersikap seperti apa menghadapinya. Ia tidak bisa duduk tenang karena akan selalu meliriknya. Kalau disuruh pulang, ia pasti akan sedikit beristirahat dari fantasi liatnya.Ingatlah, Tamara sudah menikah. Pikiran orang dewasa yang sudah menikah sudah pasti mengarah ke sana, apalagi lelaki dihadapannya begitu tampan dan merupakan tipe idealnya. Tidak seperti Reno, yang merupakan lelaki asli dari Indonesia berwajah Batak campuran Jawa.Erik menaik turunkan tangannya di depan
Tamara melirik Erik melalui ekor matanya. Erik dimintanya untuk duduk agak jauh dari tempatnya berdandan. Tadi, setelah membeli banyak baju, ia lanjut membeli sepatu, dan beberapa tas. Ia juga membeli satu set makeup yang biasa ia kenakan. Semoga kulit Kirana bisa menerima produk ini dengan baik.Erik yang tak sabar melihat hasil makeup Kirana terus menggerakan kakinya. Ia duduk dua meja dari meja yang Tamara gunakan untuk merubah dirinya. Tamara duduk membelakangi dirinya agar ia tidak melihat proses itu.“Ki, udah?”“Bentar lagi.”“Oke.”Erik tak bisa biasa saja. Ia terus menatap rambut Kirana yang sudah mendapat perawatan di salon tiga puluh menit lalu. Rambutnya yang lepek berubah mengembang indah seperti model iklan shampo di tivi. Tamara juga pergi ke jasa pemasangan nail art untuk menghias kukunya.“Erik, udah.”Erik berdiri. Ia membawa gelas jus Jeruk pesanannya. Ia berjalan cepat dan kini sudah berdiri di
Tamara tidak kuat lagi. Setelah ia mendapat jawaban super instan dengan mengatakan ia tahu dari Kirana mengenai Andin, ia permisi ke kamar mandi untuk menenangkan dirinya.“AAAAA! Gue gak bisa terus-terusan kayak gini!” pekiknya ketika kamar mandi sepi dari pengunjung.Tamara memegangi kepalanya sambil berjalan bolak-balik didepan cermin, “Ra, cari cara biar lo sama si Kirana cepet balik ke badan masing-masing.”Kirana yang juga merasa tidak bisa menahan pergantian badan ini menyusul ke kamar mandi. Ia berdiri di depan pintu menatap Tamara yang pasti sama frustasinya.“Apa gue harus pergi ke dukun? Enggak-enggak, dukun mana yang menerima pasien pertukaran badan.”“Ra?”Tamara menurunkan tangannya. Ia juga berhenti mondar-mandir dan menatap Kirana, “Kirana gue udah gak sanggup!”“Aku juga.”Tamara menarik tubuh Kirana dan menutup pintu kamar mandi, “Lo pasti tahu caranya supaya kita balik ke badan masing-masing.”“Ra, aku gak tahu.”“Bohong! Pertukaran badan kita tadi pagi aj