Kirana mengangguk.
Tamara melihat penampilan Kirana dari atas hingga bawah, lalu tertawa setelahnya. “Kamu kenapa?” “Menurut lo kenapa?” Tamara melipat kedua tangannya, “Gue pikir setelah tujuh tahun berlalu hidup lo berubah. Ternyata... sama aja.” Kirana membetulkan kaca matanya, “Emang mau kamu aku berubah kayak gimana?” “Ya minimal kayak gue lah. Hidup itu harus ada perubahan, Na. Lo masih aja begini.” Kirana membuang nafas, “Mobil aku mau lewat, kamu bisa minggirin mobil kamu dulu gak?” Tamara melotot, “Lo nyuruh gue? Berani banget lo!” Kirana mendecek, “Kita gak lagi satu kampus, aku gak berhak patuh sama kamu. Awas!” Tamara membuka lipatan tangannya. Ia marah sekali pada Kirana yang kini berani padanya, “Elo gak tahu siapa gue? Mobil gue berhak lewat lebih dulu dari pada mobil lo!” Kirana menatap id card yang tergantung di leher Tamara, “Oh, Manager bank. Aku pikir kamu Direkturnya.” Tamara yang kesal menarik id card yang tergantung di leher Kirana, ia membaca dengan seksama jenis pekerjaan apa yang digeluti musuhnya dari zaman kuliah ini, “Senior Editor?” ia menatap Kirana dengan remeh, “Oh lo editor buku? Yang tukang ngedit itu ‘kan?” “Memperbaiki dan melengkapi buku penulis lebih tepatnya.” Tamara memonyongkan bibirnya meledek, “Dari pada lo memperbaiki dan melengkapi buku orang lain, mending lo perbaiki dan lengkapi dulu deh hidup lo. Udah umur segini lo belum nikah ‘kan? Kasian.” Ucapan Tamara yang lengkap dengan ekspresi meledek membuat Kirana jengah. Bertahun-tahun ia menjadi objek bully di masa lalu, dan kini ketika tak sengaja bertemu lagi ia tak sudi terus menjadi bahan bully Tamara, “Tamara denger ya, gak selalu apa yang kamu lihat dan denger soal orang yang belum menikah berarti hidupnya perlu di kasihani. Dan apa yang kamu tampilin di sosial media soal keluarga kamu yang sempurna, juga membuat kamu bahagia. Jangan-jangan hidup kamu yang harusnya di kasihani? Hm?” Tamara lagi-lagi melotot marah, “Kirana! Lo berani ngomong gitu sama gue!” Kirana tak menggubris gertakkan Tamara, ia masuk ke dalam mobil dan memencet klaksonnya dengan kencang. “Ih, resek banget sih lo! Kali ini gue ngalah sama lo! Lain kali jangan harap!” Tamara juga masuk ke dalam mobilnya. Ia berusaha menstater ulang mobilnya, dan akhirnya ia bisa menepi ke pinggir dan membiarkan mobil Kirana lewat lebih dulu. Begitu sampai di kantor, Tamara menyimpan tasnya dengan kasar di meja. Ia mengatur nafasnya dengan tenang sambil mengecek beberapa berkas yang sudah nangkring di mejanya. “Ra, kok lo datengnya siang sih, tadi katanya mau langsung kesini.” Tita sahabatnya yang menjadi asisten pribadinya di Bank masuk nyelonong. Tamara duduk loyo di kursi kerjanya, “Biasa lah.” Tita duduk diujung meja, “Keluarga lo lagi?” Tamara tidak menjawab. “Keluarga sempurna lo itu emang pada bergantung ya sama lo, sampe semua sarapan dan kopi harus lo yang siapin?” “Ya gitu deh. Lo udah kirim filenya ‘kan ke pak Dirut?” Tita mengangguk, “Udah. Soalnya gue takut lo kena omel. Tahu sendiri filenya mau dipake sekarang buat rapat.” “Thanks.” Tamara merubah posisi duduknya menjadi lebih tegap, “Eh, Ta, lo masih inget si Kirana gak?” “Kirana temen kita yang cupu itu?” Tamara mengangguk, “Gue ketemu dia barusan di jalan.” “Wah berita bagus nih, lo harus update ke grup angkatan. Btw dia apa kabar?” “Baik sih kayaknya. Lo tahu gak dia kerja apa sekarang?” “Apa?” “Editor senior di publiser buku.” Tita melotot, “Dia kerja jadi Editor?” Tamara mengangguk, “Norak.” “Lo tahu gak dia kerja di publiser buku mana?” “Kalo gak salah Publis Kata deh. Kenapa?” “Bentar-bentar.” Tita memainkan ponselnya, ia menunjukkan layar ponsel pada Tamara, “Publis Kata itu kantor milik pak Priyowo Abdi, Konsulat Kehormatan Kedutaan Indonesia di Russia. Berarti si Kirana kerja di kantor bapaknya sendiri.” Tamara melongo, “Berarti dia aslinya kaya banget dong?” Tita mengangguk buru-buru. “Tapi sayang... belum nikah. Gue gak jadi iri sama dia, tapi kasian.” Tita melotot, “Ra, gue juga belum nikah. Lo kasian juga sama gue?” Tamara menggeleng buru-buru, “Kalo lo beda. Si Kirana belum nikah pasti karena gak ada yang mau sama dia. Culun gitu, gak bisa rawat diri.” “Tapi culu-culun begitu dia kaya, lebih kaya dari lo. Udah ah, gue mau mulai kerja biar cepet makan siang di kafe.” “Eh-eh, tunggu, Ta. Fotoin gue dulu buat postingan di I*******m.” Tita kembali untuk memotret Tamara, “Ra, kok di i*******m lo gak pernah keliatan lo foto bareng lagi sih sama si Reno?” Sambil bergaya, Tamara melirik Tita sekilas, “Dia gak suka foto.” “Gak suka foto? Apaan, seminggu tiga kali dia posting foto sendiri di akun pribadinya, kayak jadwal terapi.” Tamara mati kutu, “Kita selalu menikmati waktu berdua, jadi gak sempet foto kalo lagi quality time.” “Oh gitu ya.” Tita memberikan ponsel Tamara, “Nih, hapenya.” “Thanks, Ta.” “Yo. Lo jangan lupa lusa dateng ke acara nikahan si Adam. Ajak juga si Reno.” Tamara diam. Ia hanya melihat punggung Tita menghilang dibalik pintu ruangannya. Bagaimana jika Reno tidak mau ikut ya? Bisa gawat. Ia lebih memilih untuk tidak datang sekalian daripada harus pergi sendiri. “Apa gue tanya aja ya sekarang dia mau dateng atau enggak?” Tamara menggeleng, “Dia gak suka gue ganggu kalo di jam kerja. Nanti aja dirumah gue tanyain.”*** Sepulang kerja Tamara membuang nafas pelan setelah memposting foto baru yang Tita ambil tadi pagi. Dengan caption yang meyakinkan bahwa ia bangga dengan jabatan barunya di Bank tempatnya bekerja, dan kehidupan keluarganya yang sempurna, ia tiba-tiba mengingat ucapan Kirana tadi pagi. Kirana tahu dari mana kalau hidupnya tidak bahagia ya? “Ah, kenapa si cupu itu tahu kalo gue gak bahagia?” tangannya menutup wajahnya. Sadar ia berada di kafe dan bisa saja orang yang dikenalnya ada disini, Tamara buru-buru tersenyum dan merapikan penampilannya. Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar panjang. Ada panggilan telpon dari mama mertuanya. Dengan enggan ia mengangkat telpon itu. “Halo, ma?” “Kamu tuh dimana sih?” “Aku... masih ada kerjaan, ma.” “Kamu masih di kantor?” Tamara menatap sekelilingnya, “Iya, aku masih di kantor.” “Kamu harus pulang sebelum Reno pulang. Bawa ayam bakar kesukaan dia dari resto favoritnya.” “Iya, ma.” “Oyah, mama lagi pengen makan dessert. Kamu nanti mampir ya ke bakery buat beli Bolu gulung” “Iya, ma.” “Ya udah mama cuma mau bilang itu.” Sambungan telpon terputus. Tamara menyimpan ponselnya dan mengaduk coffe latte pesanannya yang belum tersentuh sama sekali. Ia sedang tidak mood minum kopi, tapi aromanya cukup menenangkan pikirannya yang ruwet. “Tamara?” Tamara mengangkat wajahnya menatap orang yang berdiri di depan mejanya, “Elo?” Kirana melirik sana-sini mencari seseorang. “Lo cari siapa?” “Keluarga sempurna kamu itu dimana?” Tamara melongo, “Eu... itu... mereka dirumah.” Kirana menatap gelas yang hanya ada satu di mejanya, tanpa izin ia menarik kursi dan duduk menatap Tamara, “Aku mau kok duduk disini kalo kamu butuh temen.” “Apaan sih lo, sotoy! Gue gak butuh temen.” “Aku pikir yang gak berubah dari dulu cuma aku. Kamu juga ternyata sama aja kayak dulu.” Tamara mengernyit, “Maksud lo?” “Dari dulu kamu tetep aja nyolot tiap ngomong sama aku.” Tamara membuang nafasnya, “Soalnya lo emang nyebelin buat gue.” Kirana menunduk. “Lo kenapa? Udah tiba-tiba duduk depan gue, lo malah nunjukin muka jelek lo itu sama gue.” Kirana menatap Tamara, “Aku... lagi mikir apa yang kamu lakuin sampe Tuhan bisa kasih segalanya buat hidup kamu.” Tamara diam, ia tidak paham dengan maksud ucapan Kirana. “Selama empat tahun kamu selalu bully aku di kampus. Kamu juga beberapa kali dipanggil menghadap Wakil Dekan karena kamu ribut sama mahasiswa lain. Kamu sering bermasalah sama siapapun, bikin huru-hara. Tapi kamu di kasih semua yang kamu mau sama Tuhan. Pernikahan, anak, keluarga bahagia dan kerjaan yang keren. Sedangkan aku yang selama ini gak pernah bikin masalah, selalu berusaha baik sama orang-orang, masih harus nahan diri untuk gak marah sama Tuhan yang gak berniat ngasih jodoh buat aku.” Tamara menatap wajah Kirana yang lesu. Ia pikir Kirana akan bilang apa padanya. Ia tak menyangka temannya yang ia benci karena selalu dirasa memiliki sisi lain yang selalu membuatnya iri akan mengatakan itu padanya, “Lo ngomong apa sih.” Kirana menatap Tamara, “Kamu bener, hidup aku perlu di kasihani. Di usia dua sembilan aku bahkan gak punya pacar. Hidup kamu sempurna, Ra.” Tamara tersenyum bangga, “Kan gue bilang apa. Lo perlu edit dan lengkapin hidup lo sendiri.” “Apa yang kamu lakuin, Ra, bisa sampe punya kehidupan yang sempurna?” tanyanya penuh harap. Kirana benar-benar lelah mendengar cemoohan banyak orang padanya yang belum juga bertemu jodohnya di usia matang. “Hah?” Tamara menyentuh lehernya, “Gue gak tahu. Gue cuma tahu hidup gue sempurna karena Tuhan sayang sama gue.” Kirana menjatuhkan kepalanya diatas meja sambil terisak menangis. Tamara yang melihat itu bingung harus menunjukan respon seperti apa. Ternyata hidup musuhnya ini begitu menyedihkan. Ia tidak jadi mengeluh dengan hidupnya yang pura-pura sempurna memiliki suami, anak dan mertua, meskipun mereka sering membuatnya menangis juga. Tamara menyentuh pundak Kirana, “Jangan nangis disini. Jangan rusak momen santai gue yang udah sempurna.” Kirana mengangkat wajahnya dan menatap Tamara, “Maaf.” Ia bangkit dan pergi begitu saja. Tamara yang melihat Kirana jalan buru-buru meninggalkannya yang sedang malas pulang, membuang nafas pelan, “Lo gak tahu aja, Na, belum menikah mungkin adalah posisi terbaik dari pada lo nikah tapi sama orang yang salah.” “Orang yang salah?” Tamara melotot. Ia mengangkat wajahnya dan melihat Reno berdiri tepat disebelah kursinya, “Mas, aku bisa jelasin.” Reno membuang muka dan pergi meninggalkan TamaraTamara memarkirkan mobilnya di halaman depan kantor. Ia keluar menenteng segelas kopi yang sengaja ia beli untuk menemaninya.“Eh, bu Tamara, kok balik lagi?” tanya seorang satpam yang baru selesai berkeliling melakukan patroli malam.Tamara tersenyum, “Masih ada kerjaan, pak. Saya masuk ya.”“Oh iya, silakan, bu.”Tamara berjalan lunglai menuju ruangannya yang sudah gelap. Di beberapa ruangan depertemen Investasi dan Akuntansi masih ada yang bekerja. Mereka saling sapa hanya mengangkat tangan dan tersenyum.Dengan perasaan merasa bersalah karena tak sengaja Reno mendengar ucapannya, membuat Tamara takut ketika Reno menanyakan maksud ucapannya dirumah.“Ah, kenapa sih gue ngomongnya kenceng-kenceng tadi. Kan mas Reno jadi denger.”Tamara duduk menghidupkan kompter. Tidak, ia tidak akan bekerja seperti yang ia katakan pada pak satpam, ia hanya akan mencari tahu kehidupan Kirana dari sosial media. Sudah lima belas menit berselancar ia tak menemukan banyak postingan Kirana. Tama
Pintu terbuka saat ibu menghampiri kamar Kirana untuk membangunkannya, “Nak, bangun, sayang. Udah jam lima, kamu mau jogging ‘kan?”“Hmmm.”Ibu yang baru selesai membuka gorden dan jendela tersenyum menghampiri Kirana dan mengelus rambutnya dengan lembut, “Kamu pasti kecapekan ya? Ya udah gak usah jogging, libur dulu aja.”“Siapa yang suka jogging sih.” jawabnya sambil menutup mata.“Loh, kamu ‘kan udah sebelas tahun ini rutin jogging tiap pagi, sayang. Kamu lupa?”Kirana menggaruk pipinya dengan kasar, “Mimpi kali.”Ibu yang merasa ada yang berbeda dengan sikap Kirana mengelus rambutnya lagi, “Kamu kenapa, sayang? Ada masalah?”“Aduh jangan ganggu dong. Ini jam berapa coba. Alarm aja belum bunyi.”“Alarm kamu ‘kan suara ibu, sayang.”Kirana menjauhkan tangan ibu yang mengelus kepalanya, “Jangan ganggu, masih ngantuk.”Ibu menurut. Mungkin Kirana memang sangat kelelahan dan sedang stress. Apalagi sepulang dari kantor kemarin petang, ia langsung menangis mengadu mendapatkan ucapan tida
Tamara menikmati sikap hangat ibu yang selalu memanjakan dan memperhatikan banyak hal kecil padanya. Kini saat makan berdua, matanya tak henti menatap ibu yang tengah menuangkan kembali bubur Udang ke mangkuk yang ada didepannya.“Kamu laper banget ya?”Tamara tersenyum, “Masakan ibu enak.”Ibu ikut tersenyum, “Makasih sayang. Ibu seneng kamu suka.”“Bu, aku mau ke kantor hari ini.”“Loh, emang udah baikkan? Kamu udah gak pusing lagi?”Tamara menggeleng, “Aku lupa ada janji sama penulis lain.”“Oh, Erik ya? Erik apa kabar, sayang?”Tamara melotot, “Hah? Eum, baik, bu.”“Udah lama Erik gak ke rumah. Kamu ajakin ya nanti.”“Iya, bu, nanti aku ajakkin.”“Progress buku dia sekarang gimana? Bagus?”Tamara menggaruk rambutnya, “Bagus kayaknya, bu.”“Kok kayaknya?”“Eum... soalnya aku lupa.”“Oalah, sangking banyaknya penulis yang ada dibawah naungan kamu, kamu sampe lupa ya. Kasian anak ibu.” Ibu mengelus lembut punggung tangan Tamara.“Hehe, iya bu.”“Kalo kamu mau, ibu bi
Tamara menyikut Kirana. Ia memintanya untuk menjelaskan pada Reno bahwa mereka sedang membicarakan orang lain atau apapun yang masuk akal.“Eum... itu... kita lagi ngomongin tokoh novel, mas.” Tamara bicara buru-buru, karena nampaknya pikiran Kirana masih ruwet efek pertukaran badan mereka pagi ini.Reno menatap Kirana, “Kamu suka novel?"Kirana melirik Tamara lalu menatap Reno, “Iya, semenjak ketemu Tamara, eh Kirana, aku jadi suka novel, mas."“Kalian... beneran udah akur ‘kan?”Tamara dan Kirana saling tatap.Tamara tertawa, “Akur dong, mas. Kita udah baikkan ya?”Kirana mengangguk, “Kita udah baikkan, mas.”Reno mengangguk-angguk, “Syukur deh kalo emang udah baikkan. Ya udah, yuk, kita berangkat, Andin udah siap berangkat sekolah.”Saat Kirana hendak mengangguk, Tamara menarik lengan Kirana, “Kita ‘kan mau berangkat ke kantor bareng! Lo lupa ya?”Kirana menatap Tamara bingung. Beberapa menit lalu tidak ada pembicaraan itu perasaan.“Ayo ajak Andin berangkat sama kita aj
Selama di mobil, Tamara hanya menjadi pendengar semua percakapan Kirana dan Andin. Ia membuang nafas berkali-kali karena merasa iri. Andin yang tinggal bersamanya selama ini tidak pernah bisa seceria ini saat bersama Kirana. Kenapa dengan Kirana ia bisa tertawa lebar begini, ya? Padahal mereka baru saja bertemu beberapa jam.“Aduh, mami capek banget.” Kirana memegangi perutnya sambil terus tertawa.Andin juga tertawa, “Andin juga capek banget."Kirana tersenyum. Ia mengelus rambut Andin dan melirik Tamara, “Eum... Tamara, kamu kenapa diem aja?”Tamara melotot. Ia memperingatkan Kirana dengan memonyongkan mulutnya agar Andin tidak melihat. Meski masih kecil Andin ini pintar dan pemerhati sekali. Jangan sampai Andin membocorkan ini pada Reno, mama, atau suster Tina.“Eh, eum... maksud aku, Kirana.”“Mami tadi kok bisa salah manggil? Tamara ‘kan nama mami.”Kirana tersenyum, “Iya, mami lupa, soalnya udah capek ketawa terus sama kamu.”Andin tersenyum, ia melirik Kirana yang berpe
Tamara berjalan cepat dari parkiran menuju gedung publiser buku milik ayahnya. Ayah Kirana maksudnya. Ia tersenyum menahan tawa karena masih tidak menyangka akan menikmati momen ini. Ia yang sebenarnya bingung harus melakukan apa saat melakukan bimbingan dengan para penulis yang ada dibawah naungannya, merasa ini adalah momen langka yang mungkin hanya akan terjadi beberapa hari saja, maka ia akan menikmati ini tanpa stress yang berarti.“Selamat pagi, mbak Kirana.” sapa satpam membuka pintu utama gedung.Tamara diam beberapa detik. Ia nyaris tak berhenti melangkah karena yang di sapa adalah Kirana, bukan dirinya. Untungnya refleksnya cukup baik. Ia terus mengatakan pada diri sendiri, bahwa ia adalah Kirana saat ini.“Eh, pak, pagiii.”“Mbak Kirana seger banget hari ini. Lagi seneng ya?” goda pak satpam.“Lumayan. Meskipun agak bingung, tapi aku seneng hari ini.”Pak satpam mengangguk, “Ya sudah mbak, silakan masuk, mas Erik sudah tunggu di atas.”“Erik? Erik siapa, pak?”Pak
Erik terus memperhatikan cara Tamara membaca naskahnya di tablet. Tamara terlihat kebingungan dengan kalimat-kalimat yang sudah disusun rapi dan menjadi sebuah opening epilog novel miliknya. Tamara menaruh tablet dimeja dan menatap Erik, “Kayaknya aku... belum bisa bimbingan hari ini.”“Aku ‘kan udah bilang tadi.”“Ya udah kamu pulang aja sana."Erik tersenyum, “Kamu ngusir aku?”Tamara menggeleng. Ia tidak mau mengusir Erik, tapi bingung harus bersikap seperti apa menghadapinya. Ia tidak bisa duduk tenang karena akan selalu meliriknya. Kalau disuruh pulang, ia pasti akan sedikit beristirahat dari fantasi liatnya.Ingatlah, Tamara sudah menikah. Pikiran orang dewasa yang sudah menikah sudah pasti mengarah ke sana, apalagi lelaki dihadapannya begitu tampan dan merupakan tipe idealnya. Tidak seperti Reno, yang merupakan lelaki asli dari Indonesia berwajah Batak campuran Jawa.Erik menaik turunkan tangannya di depan
Tamara melirik Erik melalui ekor matanya. Erik dimintanya untuk duduk agak jauh dari tempatnya berdandan. Tadi, setelah membeli banyak baju, ia lanjut membeli sepatu, dan beberapa tas. Ia juga membeli satu set makeup yang biasa ia kenakan. Semoga kulit Kirana bisa menerima produk ini dengan baik.Erik yang tak sabar melihat hasil makeup Kirana terus menggerakan kakinya. Ia duduk dua meja dari meja yang Tamara gunakan untuk merubah dirinya. Tamara duduk membelakangi dirinya agar ia tidak melihat proses itu.“Ki, udah?”“Bentar lagi.”“Oke.”Erik tak bisa biasa saja. Ia terus menatap rambut Kirana yang sudah mendapat perawatan di salon tiga puluh menit lalu. Rambutnya yang lepek berubah mengembang indah seperti model iklan shampo di tivi. Tamara juga pergi ke jasa pemasangan nail art untuk menghias kukunya.“Erik, udah.”Erik berdiri. Ia membawa gelas jus Jeruk pesanannya. Ia berjalan cepat dan kini sudah berdiri di