Share

BAB 4 - Tubuh Siapa Ini?

Pintu terbuka saat ibu menghampiri kamar Kirana untuk membangunkannya, “Nak, bangun, sayang. Udah jam lima, kamu mau jogging ‘kan?”

“Hmmm.”

Ibu yang baru selesai membuka gorden dan jendela tersenyum menghampiri Kirana dan mengelus rambutnya dengan lembut, “Kamu pasti kecapekan ya? Ya udah gak usah jogging, libur dulu aja.”

“Siapa yang suka jogging sih.” jawabnya sambil menutup mata.

“Loh, kamu ‘kan udah sebelas tahun ini rutin jogging tiap pagi, sayang. Kamu lupa?”

Kirana menggaruk pipinya dengan kasar, “Mimpi kali.”

Ibu yang merasa ada yang berbeda dengan sikap Kirana mengelus rambutnya lagi, “Kamu kenapa, sayang? Ada masalah?”

“Aduh jangan ganggu dong. Ini jam berapa coba. Alarm aja belum bunyi.”

“Alarm kamu ‘kan suara ibu, sayang.”

Kirana menjauhkan tangan ibu yang mengelus kepalanya, “Jangan ganggu, masih ngantuk.”

Ibu menurut. Mungkin Kirana memang sangat kelelahan dan sedang stress. Apalagi sepulang dari kantor kemarin petang, ia langsung menangis mengadu mendapatkan ucapan tidak enak dari tante Ira.

“Ya udah kamu tidur lagi ya, ibu mau masak dulu.”

Tak ada jawaban. Kirana tidur dengan lelap sehingga mungkin tidak mendengar ucapan ibu.

Satu jam kemudian, Kirana membuka matanya perlahan. Karena tak mendengar suara alarm dari ponsel atau jam digitalnya, ia was-was akan bangun kesiangan dan berimbas pada telatnya pergi ke kantor. Ia menatap sekeliling kamar yang asing dimatanya.

“Gue dimana?”

Matanya kembali mengedar kiri-kanan, atas-bawah karena merasa asing berada ditempat ini. Figura foto keluarga di nakas samping ranjang ia ambil.

“Ini ‘kan si Kirana. Kenapa ada foto keluarga dia disini?”

Kirana turun dari kasur dan mendekati kaca rias di pojok ruangan. Atas meja yang penuh dengan novel dan hanya ada deodoran, minyak wangi dan minyak telon bayi membuatnya yakin bahwa ini memang kamar Kirana.

“Kenapa gue ada disini? Gue di culik sama si Kirana karena gue ngusir dia kemaren di kafe?”

Matanya yang perlahan menatap cermin membulat kaget. Ia yang seharusnya bisa melihat dirinya sendiri di cermin malah melihat Kirana disana. Dengan cepat ia berlari menuju pintu. Ketika tangannya membuka handel pintu, ia menyadari tangannya bukanlah tangan yang biasa ia lihat setiap hari selama dua puluh sembilan tahun.

“Ini tangan siapa? Kok jarinya pendek-pendek gini?”

Kirana terus membulak-balikkan tangannya. Ia yang menyadari kukunya polos dan tidak memakai nail art, mencari sesuatu untuk melihatnya lebih jelas. Akhirnya ia menemukan kacamata di nakas samping kasur. Ia memakainya cepat dan melihat semakin jelas ada banyak hal aneh di tubuhnya.

“Ini gak bener. Gue kayaknya cuma mimpi deh. Gak mungkin gue berubah begini.” Ia kembali menuju kaca rias dan melihat pantulan dirinya. “Kirana? Gue... gue ada di tubuh Kirana?”

BRUG!

Tamara yang terjebak dalam tubuh Kirana jatuh pingsan.

***

Tamara baru bangun. Ia yang tadi pingsan di lantai dekat meja rias merasakan tubuhnya nyeri karena terjatuh pingsan.

“Kenapa saat badan kita ketuker, gue malah ketuker sama si culun Kirana. Kayak gak ada pilihan lain lagi. Badan artis kek, atau anak pejabat gitu.”

Tok-Tok-Tok

“Sayang, kamu sakit ya? Ibu boleh masuk gak?”

Tamara bangkit dan duduk ditepian ranjang, “Boleh, bu, masuk aja.”

Ibu membuka pintu dengan pelan. Dengan tatapan khawatir ibu menghampiri Kirana dan mengusap rambutnya, “Kamu sakit?”

Tamara menggeleng.

Ibu membuang nafas lega, “Ah, syukurlah. Ibu kira kamu stress karena mikirin omongan tante Ira kemaren sore.”

Tamara mengernyit, “Tante Ira? Emang Tante Ira ngomong apa?”

“Kamu lupa ya? Kan tante Ira serang kamu kemarin karena belum menikah. Udah, kamu gak usah pikirin ya.” tutur ibu penuh pengertian sambil mengusap lembut rambut Kirana.

Tamara mengangguk.

“Ya udah kamu mandi pake air anget, terus kita sarapan bareng. Karena ngira kamu sakit, ibu buatin bubur Udang.”

“Ibu... bikin sendiri?”

Ibu diam sejenak lalu mengangguk, “Iya, kamu ‘kan gak mau makan kalo bukan ibu yang masak.”

“Oh, gitu ya, bu?”

Ibu tertawa, “Kamu lucu banget sih, sayang. Sangking capek dan stressnya kamu sampe lupa ya?”

“Eum...”

“Gak papa, mungkin itu biasa terjadi. Ibu siapin dulu ya air angetnya. Kamu mending bilang aja ke mbak Indah, hari ini gak bisa masuk kerja karena gak enak badan.”

Entah kenapa Tamara mengangguk. Ia juga sebenarnya bingung harus melakukan apa di kantor nanti. Ia ‘kan tidak tahu jobdesk menjadi seorang editor buku.

Saat ibu masuk ke kamar mandi, satu-satunya hal yang dipikirkannya adalah menelpon Kirana yang berada di dalam tubuhnya. Ia mencari ponsel Kirana dan menelpon Tamara.

“Kok gak bisa sih?”

Tamara terus menelpon Kirana. Seharusnya kalau ia berada dalam badan Kirana, jiwa Kirana pun ada di dalam badannya.

“Apa jiwa dia ketuker ke badan yang lain?” Tamara menggeleng, “Enggak-enggak, mana bisa begitu. Di film-film ‘kan satu sama lain tukeran badan. Ah, kenapa sih harus kayak gini. Mana gue kemana-mana harus pake kacamata sial ini lagi.”

Tamara menjatuhkan badannya di kasur. Ia menatap langit-langit kamar. Ia melirik seisi kamarnya yang rapi khas di bereskan seorang ibu. Perlahan, air matanya turun. Bukankan ini mimpinya sedari dulu? Diperhatikan sebegitunya oleh seorang ibu? Ibunya Kirana sedang menyiapkannya bathub air hangat untuknya berendam di kamar mandi. Ah, beruntungnya Kirana.

“Sayang, udah siap tuh.”

Tamara bangkit. Ia menyeka air matanya.

“Kamu kenapa sayang?” ibu menghampiri Tamara.

Tamara menggeleng, “Aku mandi ya, bu.”

Ibu mengangguk, “Ibu tunggu di dapur ya.”

“Iya, bu.”

Sebelum keluar kamar, ibu sempat-sempatnya mengusap kedua pipi anak semata wayangnya, membuat mata Tamara kembali panas.

Saat ia bangkit dari kasur, ponselnya berdering panjang. Ia cepat-cepat mengangkat telponnya, “Halo?”

“Mbak, bisa bimbingan hari ini ‘kan?”

“Hah?”

“Bimbingan novel aku, mbak.”

Tamara menutup matanya sejenak, “Eum, liat nanti ya. Saya ada urusan mendesak. Nanti saya kabarin lagi.”

“Baik, mbak.”

“Oke, telponnya saya tutup ya?”

“Iya, mbak, silakan.”

Klik.

Tamara melempar ponsel ke atas kasur, namun ponselnya kembali berdering panjang. Dengan enggan, karena takut itu telpon dari penulis novel yang akan minta bimbingan padanya, tapi takut penting membuatnya menyipit dan melotot, “Tamara? Gue! Itu gue yang nelpon! Enggak-enggak, maksudnya itu si Kirana. Pasti si Kirana.”

“Halo?” suara disebrang telpon membuat Tamara melongo.

“Ki-Kirana?”

“Tamara?”

“Kirana, ini elo ‘kan?”

“I-iya. Tamara, aku harus apa? Aku... gak tahu harus ngapain.”

“Eum, lo buatin mama minuman Lemon campur Chia Seed, lo juga bikinin kopi buat mas Reno. Kopi Ekspresso instan. Lo tinggal masukin kapsul Excelco ke coffee maker, ya.. lo tahu lah ya. Udah tugas lo itu aja.”

Sepi. Kirana tak menyahuti ucapannya.

“Kirana, lo dengerin omongan gue ‘kan?”

“Iya-iya, aku denger kok. Barusan mas Reno teriak panggil nama kamu. Tadi mertua kamu juga marah sama kamu. Aku... cuma kaget.”

Tamara bergeming. Ia mengacak-acak rambutnya. ‘Ketahuan deh gue!’

“Aku tutup telponnya ya, Ra. Aku titip ibu.”

Tamara mengangguk. Setelah telpon terputus, ia kembali duduk ditepian ranjang dengan pikiran penuh. Ponselnya bunyi. Ada notifikasi chat dari Kirana.

From : Tamara Gasani

Aku gak akan bilang siapa-siapa hidup kamu sebenernya spt ini

Tamara mengetik untuk membalas pesan itu,

To : Tamara Gasani

Makasih

Tamara kembali duduk ditepian ranjang meratapi nasibnya yang sudah diketahui Kirana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status