Tamara menikmati sikap hangat ibu yang selalu memanjakan dan memperhatikan banyak hal kecil padanya. Kini saat makan berdua, matanya tak henti menatap ibu yang tengah menuangkan kembali bubur Udang ke mangkuk yang ada didepannya.
“Kamu laper banget ya?” Tamara tersenyum, “Masakan ibu enak.” Ibu ikut tersenyum, “Makasih sayang. Ibu seneng kamu suka.” “Bu, aku mau ke kantor hari ini.” “Loh, emang udah baikkan? Kamu udah gak pusing lagi?” Tamara menggeleng, “Aku lupa ada janji sama penulis lain.” “Oh, Erik ya? Erik apa kabar, sayang?” Tamara melotot, “Hah? Eum, baik, bu.” “Udah lama Erik gak ke rumah. Kamu ajakin ya nanti.” “Iya, bu, nanti aku ajakkin.” “Progress buku dia sekarang gimana? Bagus?” Tamara menggaruk rambutnya, “Bagus kayaknya, bu.” “Kok kayaknya?” “Eum... soalnya aku lupa.” “Oalah, sangking banyaknya penulis yang ada dibawah naungan kamu, kamu sampe lupa ya. Kasian anak ibu.” Ibu mengelus lembut punggung tangan Tamara. “Hehe, iya bu.” “Kalo kamu mau, ibu bisa bilang sama mbak Indah buat ngurangin penulis yang kamu urusin bukunya. Ibu gak tega liat kamu stress.” Tamara membetulkan kacamatanya, “Gak usah bu, aku sanggup kok handel semuanya. Gampang lah.” “Ya udah kalo itu mau kamu. Oyah, tadi pagi ayah bilang paket kamu udah dikirim. Kemungkinan empat hari lagi baru sampe.” “Paket apa, bu?” tanya Tamara antusias, “Paket jaket winter edisi terbatas ya?” Ibu mengernyit, “Jaket winter? Sejak kapan kamu suka?” Tamara berpikir cepat untuk menjawab pertanyaan ibu, “Eum, aku gak sengaja liat di internet, bu, jaket winternya bagus yang dari Moscow.” “Oh, kamu mau? Nanti ibu bilang ke ayah ya buat di beliin.” “Iya, bu, yang warna pink ya.” “Kamu... mau warna pink?” “Emangnya kenapa, bu? Jelek ya?” Ibu menggeleng, “Bukan. Kamu ‘kan gak suka warna pink, sayang." Tamara melongo. Ia tidak tahu apa-apa soal Kirana, “Eum... terserah ibu deh warnanya mau apa, aku ikut aja.” “Iya, nanti ibu liat-liat katalognya dulu terus kita beli samaan.” Tamara mengangguk. Ia kembali menyantap bubur Udang yang rasanya enaaaak sekali. Ketika tiba-tiba ia teringat mengenai Kirana yang di teriaki Reno di rumahnya, membuatnya makan dengan buru-buru. “Makannya pelan-pelan aja, sayang, nanti keselek.” “Aku baru inget ada jadwal bimbingan pagi, bu. Jadi aku ke kantor sekarang ya.” Ibu melihat jam tangan yang bertengger ditangannya, “Sepagi ini?” Tamara mengangguk. Ia bangkit dan minum air putih hingga tandas, “Aku pergi ya, bu, daaah.” “Eh, kamu lupa sesuatu.” Tamara menatap ibu lalu melihat tas tangan yang ia bawa. Tas tangan usang keluaran sepuluh tahun lalu. Dengan seksama ia mengecek isian tas tangannya. Ada ponsel, dompet, kunci mobil dan parfum bayi. Cuma itu yang bisa ia bawa di kamar Kirana. “Semuanya udah lengkap kok, bu.” Ibu menunjuk pipi kanannya, “Cium ibu.” Tamara melongo. Kedua pipinya bersemu merah dan panas. Ternyata pipi memerah bukan hanya karena jatuh cinta pada lawan jenis. Ia menghampiri ibu dan mencium kedua pipinya gemas, “Aku sayang ibu, banget.” “Ibu juga sayang Kirana, banget.” Mendengar nama Kirana, ia lupa, bahwa ibu mencium dan menyayangi Kirana, bukan dirinya. Senyumnya luntur. “Hati-hati ya anak kesayangan ibu.” Tamara tersenyum getir. Kehangatan yang ia rasakan rasanya ingin sekali ia miliki. Kalau bisa ia ingin menukarkan hidupnya dengan Kirana. Ia akan merelakan Reno, ibu mertua dan anak semata wayangnya. “Aku pergi ya, bu.” “Iya.” Tamara berjalan ke arah garasi untuk memanaskan mobil Kirana. Ia tidak mau kejadian kemarin terulang. Selagi memanaskan mobil ia meraih foto polaroid yang tergantung dekat kaca spion dalam. Itu adalah foto keluarga Kirana. Melihat fotonya saja sudah membuatnya cemburu maksimal. Ia belum bertemu ayahnya saja sudah bisa merasakan cinta yang diberikan pasti sebesar cinta ibu. “Lo beruntung banget Kirana, punya orang tua kayak mereka.” Setelah dirasa cukup, Tamara menstater mobil dan melajukannya dengan kecepatan penuh untuk bisa cepat sampai dirumahnya. Ia ingin sekali melihat Kirana yang terjebak dalam badannya, di teriaki dan di bentak Reno dan mamanya yang menyebalkan. Di depan rumah keluarganya, dengan perasaan campur aduk antara kesal, marah dan bingung, Tamara berjalan cepat setelah memarkirkan mobilnya diluar pagar. Ia berharap Kirana masih ada disini dan belum berangkat ke kantor. “Harusnya dia masih ada disini.” Tamara berhenti melangkah saat melihat Kirana menahan lengan Reno did depan garasi, “Kita anterin Andin dulu aja, mas. Aku udah janji tadi sama dia.” Reno melirik Kirana, “Kamu serius? Arah sekolah Andin beda sama arah ke kantor kita. Pasti bakal makan waktu yang lama di jalan.” Kirana memegang lengan Reno, “Ayolah, mas, sekali ini aja. Karena hari ini kamu yang ngajak kita berangkat bareng, mau gak mau kamu pasti telat sampe kantornya. Aku janji, besok hal kayak gini gak akan terulang lagi.” “Ada apa sih sama kamu? Tumben-tumbenan kamu mau nganterin Andin ke sekolah?” Kirana mati kutu. Ia pikir itu adalah rutinitas harian Tamara, karena itu yang biasa Tamara katakan di sosial media. “Kamu beneran kerasukan arwah baik?” Kirana melepaskan tangan Reno, “Mas, kamu kok ngomong gitu?” “Soalnya kamu aneh hari ini. Kamu tiba-tiba masak, tiba-tiba baik sama Andin. Bukan kamu banget.” “Aku...” Kirana melirik ke samping kanannya. Ia mendapati Tamara berdiri menatap mereka. Matanya melotot, “Tamara?” Reno mengikuti kemana mata Kirana melihat. Ia menatap Kirana yang berdiri mematung tak jauh dari tempat mereka bicara. Ia melirik Tamara yang berdiri disampingnya, “Kamu ‘kan yang Tamara, dia Kirana?” Tamara dan Kinara melotot bersamaan. Tamara menghampiri mereka, “Hai Na, eh Tamara, maaf gue kesini pagi-pagi. Mas Reno, maaf ganggu waktu kalian.” Reno terpaku menatap Kirana, “Kamu ada perlu sama Tamara?” Tamara mengangguk. “Tumben. Aku pikir kalian... gak deket.” Tamara memberi kode pada Kirana untuk bicara dengan Reno. “Eum, aku... baru ketemu Ta, eh Kirana kemaren. Kita jadi sering komunikasi, mas.” Reno mengangguk mengerti. “Aku minta waktunya buat ngobrol sama Ta, eh Kirana sebentar.” “Boleh. Aku ke dalem dulu.” “Iya, mas.” Tamara yang terjebak dalam tubuh Kirana menarik tubuh Kirana dan bersembunyi dibalik pohon bunga Asoka. “Tamara?” “Iya, ini gue.” Kirana memegangi pipi dan lengan Tamara. “Jangan pegang-pegang gue!” hardik Tamara. “Ra, aku—" “Ini pasti gara-gara elo ‘kan! Elo pake ritual apa sampe badan kita bisa ketuker kayak gini? Hah?” Kirana menangis, “Aku gak mungkin ngelakuin itu, Ra. Itu gak mungkin terjadi juga ‘kan?” “Terus kenapa badan kita ketuker gini? Lo bisa jelasin?” Kirana menggeleng, “Aku juga gak tahu.” “Elo yang muji-muji gue ‘kan kemaren? Bilang kalo hidup gue sempurna. Elo pasti baca mantra-mantra aneh biar bisa ngerasain jadi gue!” Kirana menatap Tamara nanar, “Kamu pikir aku pengen ini terjadi? Menurut kamu emang ada cara yang bisa bikin badan kita ketuker cuma karena aku pengen ngerasain hidup kamu yang sempurna?” Tamara diam. Benar juga ucapan Kirana. Kalau sebuah harapan bisa menukarkan sebuah badan, sudah dari dulu hal seperti ini terjadi lumrah di dunia ini. “Gue gak bisa jadi elo selamanya, Na! Cariin cara gimana kita bisa balik ke tubuh masing-masing.” “Ya aku pasti cari caranya, tapi gimana? Yang bisa kita lakuin sekarang cuma jalanin kehidupan kita yang terjebak ini.” Tamara mendecek, “Lo bilang gitu pasti karena seneng ‘kan bisa jadi gue?” Kirana tertawa sumbang, “Kamu pikir aku seneng harus masak pagi-pagi buat suami dan mertua kamu yang rewel? Sedangkan kamu ngerasain hidup enak dimanjain ibu aku?” Tamara melotot mendengar fakta yang Kirana sebutkan. Ia malu ketahuan memiliki kehidupan tidak sempurna yang sering ia sembunyikan dari siapapun. “Ibu aku? Maksud kamu apa, Ra?” Reno tiba-tiba berdiri didekat mereka. Tamara dan Kirana terlonjak kaget karena takut Reno mendengar semua obrolan mereka.Tamara menyikut Kirana. Ia memintanya untuk menjelaskan pada Reno bahwa mereka sedang membicarakan orang lain atau apapun yang masuk akal.“Eum... itu... kita lagi ngomongin tokoh novel, mas.” Tamara bicara buru-buru, karena nampaknya pikiran Kirana masih ruwet efek pertukaran badan mereka pagi ini.Reno menatap Kirana, “Kamu suka novel?"Kirana melirik Tamara lalu menatap Reno, “Iya, semenjak ketemu Tamara, eh Kirana, aku jadi suka novel, mas."“Kalian... beneran udah akur ‘kan?”Tamara dan Kirana saling tatap.Tamara tertawa, “Akur dong, mas. Kita udah baikkan ya?”Kirana mengangguk, “Kita udah baikkan, mas.”Reno mengangguk-angguk, “Syukur deh kalo emang udah baikkan. Ya udah, yuk, kita berangkat, Andin udah siap berangkat sekolah.”Saat Kirana hendak mengangguk, Tamara menarik lengan Kirana, “Kita ‘kan mau berangkat ke kantor bareng! Lo lupa ya?”Kirana menatap Tamara bingung. Beberapa menit lalu tidak ada pembicaraan itu perasaan.“Ayo ajak Andin berangkat sama kita aj
Selama di mobil, Tamara hanya menjadi pendengar semua percakapan Kirana dan Andin. Ia membuang nafas berkali-kali karena merasa iri. Andin yang tinggal bersamanya selama ini tidak pernah bisa seceria ini saat bersama Kirana. Kenapa dengan Kirana ia bisa tertawa lebar begini, ya? Padahal mereka baru saja bertemu beberapa jam.“Aduh, mami capek banget.” Kirana memegangi perutnya sambil terus tertawa.Andin juga tertawa, “Andin juga capek banget."Kirana tersenyum. Ia mengelus rambut Andin dan melirik Tamara, “Eum... Tamara, kamu kenapa diem aja?”Tamara melotot. Ia memperingatkan Kirana dengan memonyongkan mulutnya agar Andin tidak melihat. Meski masih kecil Andin ini pintar dan pemerhati sekali. Jangan sampai Andin membocorkan ini pada Reno, mama, atau suster Tina.“Eh, eum... maksud aku, Kirana.”“Mami tadi kok bisa salah manggil? Tamara ‘kan nama mami.”Kirana tersenyum, “Iya, mami lupa, soalnya udah capek ketawa terus sama kamu.”Andin tersenyum, ia melirik Kirana yang berpe
Tamara berjalan cepat dari parkiran menuju gedung publiser buku milik ayahnya. Ayah Kirana maksudnya. Ia tersenyum menahan tawa karena masih tidak menyangka akan menikmati momen ini. Ia yang sebenarnya bingung harus melakukan apa saat melakukan bimbingan dengan para penulis yang ada dibawah naungannya, merasa ini adalah momen langka yang mungkin hanya akan terjadi beberapa hari saja, maka ia akan menikmati ini tanpa stress yang berarti.“Selamat pagi, mbak Kirana.” sapa satpam membuka pintu utama gedung.Tamara diam beberapa detik. Ia nyaris tak berhenti melangkah karena yang di sapa adalah Kirana, bukan dirinya. Untungnya refleksnya cukup baik. Ia terus mengatakan pada diri sendiri, bahwa ia adalah Kirana saat ini.“Eh, pak, pagiii.”“Mbak Kirana seger banget hari ini. Lagi seneng ya?” goda pak satpam.“Lumayan. Meskipun agak bingung, tapi aku seneng hari ini.”Pak satpam mengangguk, “Ya sudah mbak, silakan masuk, mas Erik sudah tunggu di atas.”“Erik? Erik siapa, pak?”Pak
Erik terus memperhatikan cara Tamara membaca naskahnya di tablet. Tamara terlihat kebingungan dengan kalimat-kalimat yang sudah disusun rapi dan menjadi sebuah opening epilog novel miliknya. Tamara menaruh tablet dimeja dan menatap Erik, “Kayaknya aku... belum bisa bimbingan hari ini.”“Aku ‘kan udah bilang tadi.”“Ya udah kamu pulang aja sana."Erik tersenyum, “Kamu ngusir aku?”Tamara menggeleng. Ia tidak mau mengusir Erik, tapi bingung harus bersikap seperti apa menghadapinya. Ia tidak bisa duduk tenang karena akan selalu meliriknya. Kalau disuruh pulang, ia pasti akan sedikit beristirahat dari fantasi liatnya.Ingatlah, Tamara sudah menikah. Pikiran orang dewasa yang sudah menikah sudah pasti mengarah ke sana, apalagi lelaki dihadapannya begitu tampan dan merupakan tipe idealnya. Tidak seperti Reno, yang merupakan lelaki asli dari Indonesia berwajah Batak campuran Jawa.Erik menaik turunkan tangannya di depan
Tamara melirik Erik melalui ekor matanya. Erik dimintanya untuk duduk agak jauh dari tempatnya berdandan. Tadi, setelah membeli banyak baju, ia lanjut membeli sepatu, dan beberapa tas. Ia juga membeli satu set makeup yang biasa ia kenakan. Semoga kulit Kirana bisa menerima produk ini dengan baik.Erik yang tak sabar melihat hasil makeup Kirana terus menggerakan kakinya. Ia duduk dua meja dari meja yang Tamara gunakan untuk merubah dirinya. Tamara duduk membelakangi dirinya agar ia tidak melihat proses itu.“Ki, udah?”“Bentar lagi.”“Oke.”Erik tak bisa biasa saja. Ia terus menatap rambut Kirana yang sudah mendapat perawatan di salon tiga puluh menit lalu. Rambutnya yang lepek berubah mengembang indah seperti model iklan shampo di tivi. Tamara juga pergi ke jasa pemasangan nail art untuk menghias kukunya.“Erik, udah.”Erik berdiri. Ia membawa gelas jus Jeruk pesanannya. Ia berjalan cepat dan kini sudah berdiri di
Tamara tidak kuat lagi. Setelah ia mendapat jawaban super instan dengan mengatakan ia tahu dari Kirana mengenai Andin, ia permisi ke kamar mandi untuk menenangkan dirinya.“AAAAA! Gue gak bisa terus-terusan kayak gini!” pekiknya ketika kamar mandi sepi dari pengunjung.Tamara memegangi kepalanya sambil berjalan bolak-balik didepan cermin, “Ra, cari cara biar lo sama si Kirana cepet balik ke badan masing-masing.”Kirana yang juga merasa tidak bisa menahan pergantian badan ini menyusul ke kamar mandi. Ia berdiri di depan pintu menatap Tamara yang pasti sama frustasinya.“Apa gue harus pergi ke dukun? Enggak-enggak, dukun mana yang menerima pasien pertukaran badan.”“Ra?”Tamara menurunkan tangannya. Ia juga berhenti mondar-mandir dan menatap Kirana, “Kirana gue udah gak sanggup!”“Aku juga.”Tamara menarik tubuh Kirana dan menutup pintu kamar mandi, “Lo pasti tahu caranya supaya kita balik ke badan masing-masing.”“Ra, aku gak tahu.”“Bohong! Pertukaran badan kita tadi pagi aj
Pov Reno“Kirana,” Reno berdiri dibelakang Tamara yang sedang menunggu Erik mengeluarkan mobilnya dari parkiran.Tamara tak bergeming. Ia terus memperhatikan mobil Erik bergerak.“Ki?” Reno memajukan badannya dan menatap Tamara.Tamara terlonjak kaget. Ia menahan nafas ketika wajahnya dengan wajah Reno begitu dekat, “Mas?”“Aku boleh ngobrol sebentar?”Tamara meneguk ludahnya. Ia melirik kedatangan Kirana yang menuntun Andin. Dengan suara yang dikencangkan ia melirik Reno, “Ada apa, mas? Nanti Tamara curiga lagi.”Reno melirik Tamara yang berdiri tak jauh dari tempatnya, “Ra, aku ada yang mau ditanyain sama Kirana, soal... kerjaan.”Kirana tak langsung menjawab. Ia malah melirik Tamara, “Kerjaan apa, mas? Kamu ‘kan kerjanya dibidang pembuatan iklan, sementara Kirana kerja di bidang sastra.”“Itu nyambung kok, Ra. Aku mau bicarain soal skrip.”Tamara mendecek dalam hati. Ia begitu kesal karena Kirana bersikap seolah Reno adalah suaminya, “Udah, mas, gak usah, nanti Tamara nudu
Tamara duduk santai di kursi kerja Kirana. Setelah pintu ruangan kerjanya ditutup dari luar oleh Erik, ia membuang nafas amat lega, setidaknya untuk hari ini ia bisa sedikit tenang karena terbebas dari tanggung jawab membimbing para penulis.“Lama-lama gue beneran bisa gila kalo harus terus ketemu mas Reno. Kayaknya dia curiga deh sama gue, sama Kirana. Duh, gimana dong.” Tamara menggigit ujung jarinya. Itu adalah kebiasannya setiap kali sedang panik.Tamara berdiri. Ia berjalan menuju kaca besar yang ada diruangan ini. Matanya menatap luas ke luar, melihat lalu-lalang jalanan yang macet disiang hari.“Kira-kira gue bisa balik lagi ke badan gue gak ya?” Tamara menggigit ujung jarinya makin kencang, “Argh! Kenapa sih hal kayak gini harus terjadi sama gue? Gue pikir itu cuma fiktif dan ada di tivi doang.”Tok-Tok-TokTamara melirik pintu, “Masuk.”Ibu memutar handel pintu dan tersenyum membawa sekantong buah-buahan agar anaknya yang kata mbak Indah sedang sakit bisa cepat sehat me