“ Assalamualaikum! Assalamualaikum ,” “Siapa di luar?” Bu Melati bertanya dari dalam.“ Rianti, Bu.” Mendengar jawaban Rianti, Bu Melati segera keluar membuka pintu. Sambil menggosok-gosok matanya untuk memastikan.Rianti! Kenapa malam-malam kemari?” Bu Melati tampak heran dengan kedatangannya.“Ma-maaf Bu, saya sedang ada masalah sedikit dengan Ibu saya. Bisakah Rianti malam ini tidur di sini dengan kedua anakku?”“ Tentu saja bisa. Mereka berdua cucuku.” Tatapannya mengarah pada kedua bayi di pangkuan Rianti.“ Ba-baiklah. Terima Kasih Bu sudah baik pada Rianti.”Dibawanya Hasan dan Husein ke dalam kemudian menidurkan kedua bayi kembar tersebut di kamar Ibunya Rustam itu.Melihat kedua cucunya sudah tidur Bu Melati segera mendekati Rianti.“Apakah Ibumu masih berkeras untuk menolak pinangan kami?” tanya Bu Melati yang penasaran.“ I-iya Bu. Aku bingung dengan sikap Ibuku.” “Baiklah jika itu maunya. Aku yang akan turun tangan menikahkanmu dengan anakku. Meskipun tanpa restu dari
“ Assalamualaikum!" “Siapa di luar?” Bu Melati bertanya dari dalam.“ Rianti, Bu.” Mendengar jawaban Rianti, Bu Melati segera keluar membuka pintu.Rianti! Kenapa malam-malam kemari?” Bu Melati tampak heran dengan kedatangannya.“Ma-maaf Bu, saya sedang ada masalah sedikit dengan Ibu saya. Bisakah Rianti malam ini tidur di sini dengan kedua anakku?”“ Tentu saja bisa. Mereka berdua cucuku.” Tatapannya mengarah pada kedua bayi di pangkuan Rianti.“ Ba-baiklah. Terima Kasih Bu sudah baik pada Rianti.”Dibawanya Hasan dan Husein ke dalam kemudian menidurkan kedua bayi kembar tersebut di kamar Ibunya Rustam itu.Melihat kedua cucunya sudah tidur Bu Melati segera mendekati Rianti.“Apakah Ibumu masih berkeras untuk menolak pinangan kami?” tanya Bu Melati yang penasaran.“ I-iya Bu. Aku bingung dengan sikap Ibuku.” “Baiklah jika itu maunya. Aku yang akan turun tangan menikahkan kamu dengan anakku. Meskipun tanpa restu dari Ibumu. Tapi...” “Tapi apa Bu?” “Setelah aku menikahkanmu den
“ Nit, sekarang aku lagi di depan Villa tempat kalian berada. Bolehkah aku masuk?” Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau ponsel Anita.Anita yang saat itu sedang asyik memainkan ponselnya tersentak kaget melihat pesan dari Rustam.“ Aduh Mel, gawat!” Sambil memegang kepalanya yang tidak pusing itu.“Kenapa Nit? Apanya yang gawat?” Tiba-tiba Melsi keheranan melihat tingkah Anita.“Rustam sekarang ada di luar Villa ini. Sementara Alya di dalam lagi tidur bareng Ricko. Kita harus bagaimana?” ucap Anita yang kemudian berdiri mondar mandir di ruang tengah.“Begini Nit, alangkah baiknya kita harus beritahu mereka di dalam. Jangan sampai ketahuan Rustam.” Keduanya segera mengetuk pintu kamar Alya dari luar. Namun, tetap saja Alya dan Ricko tak mendengar.“ Mel, kita buka saja pintunya yuk! Siapa suruh tidak dengar teriakan kami,” ujar Anita yang bersiap membuka pintu kamar Alya.“Aduh Nit, jangan sampai si Alya marah cuma karena tingkah konyol kami ya. Coba teriak lagi.“Alya! Alya! Di luar
Ricko yang merasa kesakitan segera pergi mencari tempat persembunyian yang aman.Dari lantai dua Rustam segera turun ke lantai satu untuk mencari sosok kucing yang bersuara manusia sempat meresahkan dirinya tersebut.Namun, usahanya itu segera dicegat oleh Alya yang tiba-tiba saja memeluknya dengan erat dari belakang.“Sudahlah Mas, tidak usah pedulikan suara itu. Ayo, apakah Mas tidak rindu padaku.” Bisikan Alya tepat ditelinganya semakin membuat hasrat li***onya memuncak. Sehingga Rustam sulit menolak ajakan Alya.Sementara di tempat lain Rianti sedang disibukkan mengurus kedua putra kembarnya. Nampaknya Hasan dan Husein makin suka dengan kehadiran Bu Melati.“Rianti, sebentar kami akan pergi menyiapkan semua keperluan kamu dan Rustam yang akan menikah. Nanti, Hasan dan Husein dititip ke Mpok Iyem saja ya,” ucapnya sambil memegang pundak Rianti.“Ba- baik Bu.” Dianggukkan kepalanya sebagai tanda setuju.“ Kita tunggu saja sampai sore, jika Rustam belum kembali nanti kamu sama Jing
Rianti yang sudah berada di rumah sakit segera masuk ke ruangan Ibunya dirawat. Sementara di sampingnya ada sosok Dokter Gilang yang masih setia menemani. “ Bu, ini Rianti. Kumohon bangunlah!” ujarnya sambil memeluk tubuh Ibunya yang terbaring tak sadarkan diri.“Bu, Rianti mohon sadarlah!” Isak tangisnya membuat seisi ruangan yang awalnya sepi kini menjadi ribut. Perlahan Gilang merangkulnya untuk saling menguatkan. “Rianti, sabar. Semua sudah sesuai kehendak Tuhan. Saat ini, Ibumu perlu istirahat. Pulanglah, ke rumah calon keluarga barumu,” perintah Gilang.“ Ta-tapi Mas, Aku...” “Pulanglah! Kamu tak perlu ragu dengan keadaan Ibumu. Dia hanya mengalami sedikit luka lebam akibat jatuh di lantai licin.” “ Mas, aku titip Ibu ya. Insya Allah besok Rianti balik lagi kemari.” Ditinggalkannya Gilang yang masih setia menemani Ibunya. “Besok, jika dirimu kemari bawalah Hasan dan Husein, sejak kamu pergi meninggalkan rumah Ibu sering bercerita bahwa dia merindukan kedua cucu kembarnya
“Mas! Aku mohon jangan membatalkan pernikahan ini. Apa kata orang nanti?” bujukku pada lelaki yang sudah tiga belas tahun menjadi pacarku itu. “Sudah kukatakan Rianti, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Salahmu sendiri kenapa memaksa orang tuaku untuk melamarmu, “ jawab Mas Rustam dari seberang sana. “Mas Rustam, kumohon menikahlah denganku. Aku tak mau anak yang ku kandung ini lahir tanpa Ayah.” Kuberusaha membujuknya agar tetap menikahiku. “Salahmu sendiri jadi perempuan terlalu gampangan.” “Mas! Kupastikan setelah ini aku akan pergi menghadap orang tuamu kembali, agar segera melamarku secepatnya meskipun dirimu belum siap menikahiku.” Kuhapus air mata ini yang jatuh membasahi pipi. “ Terserah kamulah, jangan sampai kamu duduk sendiri di pelaminan berpasangan dengan kursi kosong jika terus memaksa aku menikahimu.” Tanpa pamit denganku Mas Rustam mematikan teleponnya dari seberang sana. Rasanya sangat sakit dikhianati dengan cara seperti ini oleh lelaki yang kucintai. Mas Rusta
Diriku terbangun. Kutatap sekeliling tampak ruangan yang terasa asing. Inginku buang air kecil. Namun, kondisiku masih lemah sekuat tenaga berusaha bangun dan ingin menuju kamar kecil. Tiba-tiba seorang pemuda datang mendekatiku. Ditahannya pergelangan tanganku yang hendak menuju ke kamar kecil. “Eits! Jangan bangun dulu, kamu masih sakit,” seru lelaki itu. Kira-kira usianya tak jauh beda dengan usiaku. Kupegang kepalaku yang terasa pusing. Kemudian berusaha duduk kembali di tempat tidur yang terlihat serba putih ini. “A-aku di mana Kak?” tanyaku pada lelaki asing itu. “Kamu... Kamu di rumah sakit. Tadi, kamu pingsan karenaku yang berkendara tidak hati-hati!” Kucoba mengingatnya kembali kejadian sebelumnya. Tadi waktuku dari rumah Mas Rustam, pas di perempatan lampu merah diriku tak fokus memperhatikan rambu-rambu. Sehingga, diriku tertabrak oleh mobil. Setelah itu aku lupa semuanya. “ Berarti mobil Agya itu... Mobil kakak?” tanyaku pada lelaki yang berhidung mancung dan me
Segera kubaringkan tubuhku untuk beristirahat kembali. Tangisan yang tak bisa kutahan akhirnya pecah juga. Beberapa saat kemudian Ibu datang masuk ke kamar di tempat aku dirawat. Di peluknya diriku disusul tangisannya. “ Bu, Rianti tidak apa-apa! Sudah, Ibu tenang saja, Dokter Gilang sudah membawaku kemari untuk mendapatkan perawatan lebih.” Kubalas pelukan Ibu dengan hangat. “Sudah Ibu bilang padamu kan, kamu tak usah ikut campur masalah Ibu dan orang tua Rustam. Ibu juga masih bisa cari pekerjaan lain jika mereka sudah tak mau menerima Ibu lagi.” Tangan Ibu yang lemah segera melepaskan pelukannya. “ Bu, Siapa yang mau terima Ibu kerja kalau sudah tua? Rianti mohon bertahanlah sampai Rianti mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi kebutuhan keluarga kita!” bujukku pada Ibu. “Jadi, Ibu ada harapan untuk kerja kembali jadi buruh cuci pada Bu Melati?” tanya Ibu padaku.“ I- Iya, Bu. Rianti berusaha yang terbaik untuk keluarga kita. Aku juga sudah berjanji untuk putus den