Semua Bab Ifat: Bab 51 - Bab 60
137 Bab
Bab 51: Sandiwara
Bab 51: Sandiwara**Solusi semua permasalahan adalah bicara, atau komunikasi. Dengan komunikasi yang baik itu kita bisa melihat dan mengambil peluang emas yang tersembunyi di depan kita.Jika peluang emas ibarat peti harta karun yang terhalangi tirai tipis, maka komunikasi adalah usaha menyingkap tirai itu.Mudah sekali!Betapa senang hatiku. Berbunga-bunga jiwaku. Mendadak saja aku merasa kasmaran pada seseorang yang bahkan belum pernah terlintas di dalam pandangan.Nanti, setelah maghrib Irham mengajakku bersilaturrahmi ke rumah Riska, teman istrinya itu. Terlalu cepat memang, juga terkesan buru-buru.Tapi untuk niat baik, biasanya lebih cepat lebih baik, dan selalu ada alasan untuk itu.Ketika Irham membeberkan penjelasan tentang ‘niat baik’ dan alasan-alasan di balik itu, aku tak menggubrisnya.Aku terus membayangkan kira-kira akan bagaimana bentuk rupa dan wajah Riska yang berkali-kali Irham sebut canti
Baca selengkapnya
Bab 52: Nasib Buruk
Bab 52: Nasib Buruk ** “Tenang dulu, Jo. Tenang dulu. Tarik nafas, tarik nafas yang dalam. Sudah? Nah, sekarang, cerita!” Keterangan Johan dari seberang telepon sana sontak membuatku terpaku. “Tadi waktu ngamen kami dikeroyok preman. Joni ditikam pakai pisau, kepalanya dipukul dan berdarah. Tolong aku, Fat.. tolong kami!” Aku semakin panik. “Oke! Tenang dulu Jo, tenang! Aku akan segera ke sana. Di rumah sakit mana sekarang kalian?” “Rumah Sakit Arifin Achmad.” Setelah itu, dengan sepeda motor pinjaman dari Pak Husni, tetangga kami, aku dan Bang Idris segera meluncur ke rumah sakit. Uni Fitri melepas kami dengan raut cemas. Di tepi jalan raya kami bersua dengan Ciko. Ia sedang nongkrong bareng beberapa temannya di warung rokok Bang Fahmi. “Mau ke mana Bang, malam-malam begini?” Mendengar keteranganku, Ciko bergegas pulang, mengambil motornya sendiri. Ia dan Bang Fahmi akan menyusul ke rumah sakit.
Baca selengkapnya
Bab 53: That is Mine!
Bab 53: That is Mine!**Pil pahit kehidupan, bentuknya bulat seperti kepalan tangan Wisnu dan Bombi. Rasanya asin, seperti darah dari hidungku yang merembes ke mulutku.Ternyata, ia juga bersuara, meledak, seperti tawa Josep saat kutinggalkan rumahnya dengan langkah lunglai.Menjelang subuh aku tiba di rumah sakit. Aku terduduk lemas di sebuah bangku panjang. Ciko memberitahuku bahwa Joni sudah dioperasi, 23 jahitan di kepala dan 32 jahitan di perut.Joni masih belum siuman. Masalah biaya, ayah Ciko yang membayarnya tadi. Sekarang ayah Ciko sudah pulang bersama Bang Fahmi dan Bang Idris.“Terima kasih, Ciko,” kataku lirih. "Terima kasih banyak. Mohon maaf kalau Abang merepotkan kamu." “Tidak apa-apa, Bang. Lho, Abang kenapa? Kok, baju Abang banyak darah?”“Tidak apa-apa,” jawabku pelan.Aku menghela satu nafas yang berat, lalu bangkit. Aku memasuki ruangan tempat Joni dirawat.
Baca selengkapnya
Bab 54: Koma
Bab 54: Koma** Rasa bersalah, itulah yang menyiksaku sekarang. Jika saja aku tak pernah berhubungan dengan Josep, tentu Joni dan Johan akan baik-baik saja.Malam ini, sembari makan nasi bungkus berdua di lorong rumah sakit, aku akan mengatakan semuanya pada Johan.“Aku minta maaf, Jo,” kataku lirih.“Untuk apa? Kamu tidak bersalah, Fat. Malah seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu karena telah banyak menolong selama ini,” sahutnya.Dan, kuceritakan semuanya, sejujur-jujurnya. Tentang Josep, tarung bebas, tekanan dan ancaman yang aku terima. Juga korelasi semua itu dengan kemalangan yang menimpa mereka berdua.Johan menghentikan makannya, menatapku dengan pandangannya yang kosong. Ia pasti marah besar kepadaku.Aku siap, sungguh, aku siap menampung semua amarahnya. Jika ia memukulku dengan botol air minum, aku tidak akan mengelak.Jika ia meraup nasi yang sedang kami makan dan
Baca selengkapnya
Bab 55: Terperangkap
Bab 55: Terperangkap** Tadi pagi, sebelum aku berangkat ke hotel, pegawai rumah sakit mengingatkan biaya yang harus segera dibayar. Jumlahnya,“Dua belas juta rupiah, Pak,” kata sang pegawai itu. Dua belas juta, itu uang semua, tak boleh bercampur daun akasia, selembar pun. Mendengar itu Johan tertunduk, dan aku hanya bisa menelan ludah. Pahit, pahit sekali.Di dalam oplet menuju hotel, Josep kembali meneleponku. Sebelum ia sampai kepada kalimat ancaman, segera kusembur dia dengan makianku. Serentak saja penumpang seisi oplet memandang ke arahku.Kepalaku hampir meledak rasanya saat kulangkahkan kaki memasuki areal hotel. Dengan suasana hati yang kisruh itu pula aku bekerja.Kacau, pekerjaanku tidak ada yang beres. Ditambah dengan tanganku yang masih nyeri dan ngilu, bahkan ketika aku memaksakan diri untuk mengangkat seember air, malah terjatuh dan tumpah. Pada jam istirahat, kulangkahkan
Baca selengkapnya
Bab 56: Dua Kosong Telak
Bab 56: Dua Kosong Telak**“Ifaaaaat..!” Teriak Mira menahanku.Aku hentikan langkagh di tengah lorong hotel. Seraya mengancingkan baju aku melangkah kembali pada Mira yang berlutut di ambang pintu. Sebelah tangannya menangkupkan baju ke dadanya yang terbuka.“Pliiss..,” Ia merengek. Suaranya bergetar, serak dan nestapa.“Maaf Mira, aku tidak bisa.”“Kenapa, Fat? Kenapa tidak bisa??”Aku teringat kata-kata Ucon saat menceritakan dahsyatnya perang Badar, dan dahsyatnya pertarungan melawan nafsu yang jauh lebih besar.Aku juga teringat Ucon yang pernah berkata bahwa kehebatan seseorang itu bukan terletak pada kemampuannya mengalahkan lawan, tapi pada kemampuannya mengalahkan hawa nafsunya sendiri.Kutarik nafas, lalu..“Karena.. aku ingin jadi petarung!” ******** Walaupun tidak ada kebaikan pada keduanya, tapi kupi
Baca selengkapnya
Bab 57: Jangan Pergi!
Bab 57: Jangan Pergi!**Pramono dan Dewa melepaskan aku, membiarkan aku terisak-isak di lantai. Josep masih tersenyum untuk kemenangannya atasku, dan ia merayakan itu dengan cara bertepuk tangan. Plok! Plok!Perlahan aku bangkit, dan menghampiri Josep. Dia menyambutku dengan anggukan kepala dan jabat tangan yang erat.Tanpa banyak cincong Josep menerima syaratku. Bahwa, ia akan melepaskan Idah setelah aku menjalani dua belas pertarungan yang dimintanya.Josep sedikit berbaik hati karena kemenangan atau kekalahanku di pertarungan itu tidak akan membawa konsekuensi apa-apa bagi Idah.Ia hanya berkepentingan dengan dua belas pertarungan. Akan hal Joni, Josep juga bersedia menanggung biaya perobatannya, dengan catatan biaya itu diambil dari fee-ku di setiap pertarungan.“Satu kali tanding, kau mendapat bayaran sepuluh juta. Nah, jika menang maka kau akan mendapat bonus dua persen dari jumlah taruhan pemenangnya. Itu artiny
Baca selengkapnya
Bab 58: Janji Seorang Laki-laki
Bab 58: Janji Seorang Laki-laki**“Aku harus pergi, Jo. Lagi pula, aku tidak bisa membiarkan Idah dalam penyanderaan Josep.”“Idah? Idah disandera..??” Johan terbelalak.“Iya, sekarang Idah berada di Jakarta, sebagai jaminan atasku.”Johan melepas kunciannya padaku. Aku pun melepas kuncianku padanya. Kami kemudian duduk menggelosoh di lantai, berselonjor kaki dan bersandar di dinding.Masing-masing kami masih berlinangan airmata, tapi sekuat tenaga pula kami menahan hingga yang keluar kemudian hanyalah suara isakan.“Pukul tiga dini hari tadi Idah diculik anak buah Josep, dan langsung diterbangkan ke Jakarta..,""Aku tidak sanggup membayangkannya, Jo. Mereka pasti telah membuat dokumen palsu untuk Idah. Mereka pasti telah membiusnya supaya Idah tidak meronta-ronta di dalam pesawat.""Aku minta maaf, Jo. Sungguh, aku minta maaf. Karena akulah kalian semua harus mengalami ini.&rdq
Baca selengkapnya
Bab 59: Di Balik Kacamata
Bab 59:  Di Balik Kacamata**Masalahnya sekarang adalah, di mana aku akan berlatih? Di mana ada tempat yang bisa aku gunakan untuk mengasah kembali semua jurus dan teknik yang dulu aku kuasai?Untuk gerakan-gerakan kecil, seperti biasa aku masih bisa melatihnya di dalam kamar. Tapi untuk gerakan besar seperti tendangan melingkar, atau tendangan disertai lompatan aku membutuhkan ruang terbuka dengan luas sedikitnya 50 meter persegi.Di rumah? Tak mungkin. Di halaman? Bahkan yang kusebut halaman hanyalah jalan kecil selebar dua meter. Tanpa menceritakan maksud sebenarnya aku membincangkan masalah itu dengan Bang Idris.“Untuk apa?”“Latihan menari, Bang. Sebentar lagi hotelku akan dipakai untuk menginap utusan kementrian olah raga untuk membahas persiapan PON. Jadi, beberapa karyawannya ditugaskan untuk menyambut kontingen itu dengan tarian adat Melayu.”  Mudah-mudahan alasanku itu cukup masuk ak
Baca selengkapnya
Bab 60: Antara Dua Cinta
Bab 60: Antara Dua Cinta** “Bagaimana, Fat?”Bagaimana? Apanya yang bagaimana? “Bagaimana menurut kamu?” Ulang Mira bertanya.“Aku tak peduli.” Sahutku dingin.Mira terhenyak.“Sudah lama kita saling kenal, dan kamu cuma bilang ‘tidak peduli’?”“Iya, aku tak peduli. Kamu urus saja masalahmu sendiri. Biar aku juga mengurus masalahku sendiri,” sahutku sedikit ketus.“Sekejam itukah kamu sekarang, Fat?”“Terserah apa katamu, Mira! Toh, kamu tidak akan memahami aku. Karena kamu hanya memikirkan dirimu, kepentinganmu, dan kebutuhanmu!""Tidak pahamkah kamu ketika aku meminjam uang padamu, betapa butuhnya aku saat itu?! Tak pahamkah kamu betapa cemasnya aku dengan Joni saudaraku yang sedang berjuang antara hidup dan mati di rumah sakit??”Mira menunduk. Aku tak mendengarnya menangis, tapi ku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status