Bab 59: Di Balik Kacamata
**
Masalahnya sekarang adalah, di mana aku akan berlatih? Di mana ada tempat yang bisa aku gunakan untuk mengasah kembali semua jurus dan teknik yang dulu aku kuasai?
Untuk gerakan-gerakan kecil, seperti biasa aku masih bisa melatihnya di dalam kamar. Tapi untuk gerakan besar seperti tendangan melingkar, atau tendangan disertai lompatan aku membutuhkan ruang terbuka dengan luas sedikitnya 50 meter persegi.
Di rumah? Tak mungkin. Di halaman? Bahkan yang kusebut halaman hanyalah jalan kecil selebar dua meter. Tanpa menceritakan maksud sebenarnya aku membincangkan masalah itu dengan Bang Idris.
“Untuk apa?”
“Latihan menari, Bang. Sebentar lagi hotelku akan dipakai untuk menginap utusan kementrian olah raga untuk membahas persiapan PON. Jadi, beberapa karyawannya ditugaskan untuk menyambut kontingen itu dengan tarian adat Melayu.”
Mudah-mudahan alasanku itu cukup masuk ak
Bab 60: Antara Dua Cinta**“Bagaimana, Fat?”Bagaimana? Apanya yang bagaimana?“Bagaimana menurut kamu?” Ulang Mira bertanya.“Aku tak peduli.” Sahutku dingin.Mira terhenyak.“Sudah lama kita saling kenal, dan kamu cuma bilang ‘tidak peduli’?”“Iya, aku tak peduli. Kamu urus saja masalahmu sendiri. Biar aku juga mengurus masalahku sendiri,” sahutku sedikit ketus.“Sekejam itukah kamu sekarang, Fat?”“Terserah apa katamu, Mira! Toh, kamu tidak akan memahami aku. Karena kamu hanya memikirkan dirimu, kepentinganmu, dan kebutuhanmu!""Tidak pahamkah kamu ketika aku meminjam uang padamu, betapa butuhnya aku saat itu?! Tak pahamkah kamu betapa cemasnya aku dengan Joni saudaraku yang sedang berjuang antara hidup dan mati di rumah sakit??”Mira menunduk. Aku tak mendengarnya menangis, tapi ku
Bab 61: Meminjam Rembulan**Setelah Leony pulang dari rumahku, barulah aku bisa pergi ke rumah sakit untuk menjaga Joni. Sesampaiku di rumah sakit, seketika saja aku merasa heran.Tumben, pikirku, Johan pulang cepat dari mengamen. Ketika aku tiba, ia telah lebih dulu berada di situ.Di rumah sakit aku tidak lama, dan langsung kubatalkan rencana menginap. Johan memberiku sebuah solusi.“Kamu bingung mencari tempat untuk latihan?”Aku mengangguk. Johan tersenyum lebar, menunjukkan ompong dua giginya akibat dipukul anak buah Josep.“Padahal setiap hari kamu melewatinya,”“Maksud kamu?”Johan tak menjawab. Sebelah alisnya mengisyaratkan bahwa aku harus memecahkan sendiri teka-teki “setiap hari kamu melewatinya”. “Ah, semprul kamu, Jo! Kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?”Aku bergegas keluar, terus berlari menuju
Bab 62 Pot Bunga**Keesokan harinya..,Pramono berdiri di depan pintu rumahku dengan gugup, sementara Bombi masih bertolak pinggang di depan teras. Mereka berdua tak mau masuk ke dalam walaupun sudah aku persilahkan.“Hape kamu tidak aktif. Bos tidak bisa menghubungi kamu. Aku disuruh menanyakan keadaanmu. Bagaimana, Fat, kamu siap berangkat besok?” Tanya Pramono.Aku mengangguk, lalu kualihkan pandanganku pada Bombi yang berdiri uring-uringan seperti didesak hajat besar.Aku tahu, ia sedang menatapku dari balik kacamata hitamnya. Aku juga tahu ia mempunya perhitungan khusus denganku. Semacam dendam, begitu kira-kira.“Oke, besok jam sepuluh aku jemput ke sini.” Kata Pramono lagi.Masih kutatap Bombi, tak berkedip. Tiba-tiba, entah apa pasalnya ia meludah ke samping.“Kalau begitu kami pamit, terima kasih sebelumnya.”Pramono berbalik. Belum tiga langkah ber
Bab 63: Mencari Tambatan**Kumasukkan beberapa setel pakaian ke dalam tas sandangku. Beberapa perlengkapan lain juga aku masukkan; botol minum Winnie The Pooh, handuk kecil, peralatan mandi, balsem dan charger ponsel.Tidak lupa celana training warna hitam berstrip putih, dan kaos oblong yang kupotong lengannya. Aku akan memakai celana training dan kaos itu sebagai kostumku di ring nanti.Sebentar kemudian aku sudah bersiap. Kusampirkan tali tasku ke pundak, lalu berdiri di depan cermin.Aku pandangi sosok berkemeja kotak-kotak biru yang lengannya tergulung sebatas siku di dalam cermin itu. Dia memakai topi warna hitam, sangat kontras dengan wajahnya yang berwarna sawo matang nan cerah.Aku tersenyum, sosok di dalam cermin ikut tersenyum. Aku mengepalkan tangan, dia juga mengepalkan tangan.“Aku.. adalah.. petarung!” Kataku. Serentak pula, sosok di dalam cermin itu mengucapkan kalimat yang sama.
Bab 64: Kemilau Cinta di Bandara**~~ Oh, burung-burung di angkasa..,~~ Tawanlah hati Muhammad Fatih..,~~ Aku ingin melihat senyumnya sekali lagi..,~~ Tarik tangannya ke dalam pesawatku..,~~ Sedetik saja untuk pengobat rindu..,****Keluar dari jalan Sudirman, kami masuk ke ruas jalan khusus yang menuju ke bandara. Segera saja pohon-pohon cemara di sisi kiri jalan berkelebat di dalam pandanganku. Lima menit setelahnya kami pun sampai di bandara Sultan Syarif Qasim.Di lobi keberangkatan, Pramono menghentikan mobil, buru-buru keluar dan menunjukkan respect yang sedikit berbeda dari sebelumnya.Dia sendiri yang membukakan pintu untukku. Dia juga yang mengambilkan tas sandangku di bagasi belakang.Aku menerima tasku dan cepat aku berbalik untuk berjalan menuju ruang chek in. Belum lima langkah aku berjalan Pramono memanggilku.“Fat!”
Bab 65: Di Bawah Kotak Kue**“~Manusia macam apa aku ini yang tak tahu berterima kasih~”“~Terima kasih, Ifat, karena telah menolong mengobati jariku yang terluka~”Hatiku sontak berdebar keras membaca pesan pada secarik kertaas ini. Sebentar aku menarik nafas, lalu teruskan membaca.“~Manusia macam apa aku ini yang telah menuduhmu mencuri~”“~Mohon maaf, Ifat, aku tidak menuduhmu. Tapi aku memvonismu, karena aku punya bukti; hatiku hilang dan kini sedang kau pegang!~”Aku terkesiap. Cepat aku mengangkat wajah, menoleh kanan kiri depan dan belakang.Ini pasti Anggun!Aku ingat dia seorang pramugari, tapi aku tak pernah tahu dia bekerja di maskapai yang pesawatnya sedang aku tumpangi ini!Dua orang pramugari pertama tadi aku tahu, dan aku ingat wajahnya. Tapi, ah, ya, ada seorang pramugari lagi yang..,********
Bab 66: Flash!**++ Ditulis oleh: ANGGUN AULIA RASYID.++ Di Sayap Garuda, Mei 2010.~Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam? Misteri apa ini yang sedang berlaku?~ Begitu mudah Engkau mengabulkan keinginanku. Dia datang padaku, Ya Allah, dia datang padaku. Dia naik di pesawatku! Apa yang harus aku lakukan??~ Sepersekian detik aku terperangah saat melihat dia masuk. Aku terpaku dan seakan degup jantungku berhenti.~ Oh, nyaris saja aku pingsan. Untung ada penumpang lain yang meminta bantuan, dan untung saja dia selalu menunduk sehingga tidak melihatku saat berlalu-lalang.~ Ifat, kamu tidak melihatku, kan? Tapi aku bisa melihatmu dari balik tirai di kabin depan. Aduhai, kamu kenapa, Ifat? Mengapa wajahmu tampak sedih.~ Aku melihatmu Ifat, saat kamu bertegur sapa dengan penumpang lain di sebelahmu. Engkau tersenyum, Ifat, engkau tersenyum! Hatiku bergetar, Fat! Aku harap ini bisa menjadi pengobat rin
Bab 67: Eroto Romantik**Matahari sore begitu garang, merah terang di langit Jakarta. Semua ruas jalan di ibukota ini dipenuhi aneka macam kendaraan. Berebut ruang, macet, padat merayap.Suara klakson menyalak tak henti-henti. Di salah satu sudut kota, seorang preman berambut gimbal berjalan pongah, meninggalkan seorang korban di samping boks sampah.Preman gimbal itu akan berpesta malam ini. Karena dengan hunusan belati, sang korban sudah memberikan segala miliknya pada bromocorah kelas teri itu.Nasib, juga waktu, memang sesuatu yang mistrius. Aku tak mengetahui bahwa preman gimbal itu adalah preman yang berhasil melarikan diri ketika aku menyelamatkan penumpang saat masih menjadi kondektur bus metromini dulu.Aku juga tak mengetahui, preman itu pula yang kemudian bersama gerombolannya menyayat wajah Joni dan Johan, tepat satu jam setelah ia melarikan diri dariku.Sementara di tempat lain yang sunyi dan tenang, di halaman belakang