Bab 104: Samurai
**
Bagaimana aku bisa menjenguk Idah dalam keadaan terluka begini? Tidak, aku tidak mungkin melakukannya.
Bagaimana pun rindunya aku, namun biarlah aku menyapanya hanya melalui telepon.
Aku tidak ingin membuat dia bersedih sebab melihat kakaknya terluka lagi.
Di dalam perbincangan melalui telepon itu, aku terus saja bertanya-tanya pada Idah untuk selalu memancingnya bertukar cerita.
Aku sengaja telah menyusun semacam daftar hal-hal yang ingin kutanyakan padanya, mengingat aku yang pelupa, berikut pertanyaan pengalihan jika aku tidak berhasil di satu topik.
Aku melakukan hal yang demikian agar Idah tidak terlarut di dalam suasana yang sedih.
“Kak, boneka Winnie The Pooh-nya kotor, aku boleh cuci?”
“Boleh,” sahutku.
“Tapi..,” suara Idah tertahan sesuatu.
“Tapi? Tapi kenapa?”
“Kakak jangan marah ya.”
Bab 105: Kayu Bakar di Hutan**Tepat satu minggu pasca pertandingan melawan Elyaz Sharavan yang membuatku cedera, tangan kananku sudah bisa dilepas dari gendongan.Meski dada dan bahuku masih dibebat dengan lilitan kain, aku sudah mulai bisa menggerak-gerakkan tanganku dengan perlahan.Atas bimbingan Reynold aku rutin menjalani latihan untuk pemulihan tangan kananku ini. Obat yang diberi Josep itu ternyata sangat mujarab dan bekerja sebagai mana yang diharapkannya. Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat khasiat sampingan dari obat rahasia itu. Andai aku tidak cedera, sumpah mati aku tidak mau meminumnya.Sungguh, obat itu amit-amit jabang bayi, teramat sangat cocok sekali untuk mereka-mereka yang sudah bau tanah namun masih berhasrat untuk menikahi perawan muda.Malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya pun pasti akan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak? Begini gambarannya..,Teh Yuyun yang hampir berkepala empat da
Bab 106: Surga Nomor Berapa**Perjaka tulen?Di sarang pelxacur?Benar, ini tentang aku. Benar, aku masih perjaka. Sambar geledek aku berani sumpah. Aku tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa-siapa, dan aku pun tidak tahu mengapa tiba-tiba saja aku ingin berkata tentang perjaka atau keperjakaan.********Sebuah kemenangan yang gilang-gemilang pada pertandinganku melawan Greg Christian. Hadi Wijaya alias Big Boss itu sampai terlupa pada encoknya.Aku tidak tahu bagaimana perhitungan atau algoritmanya, yang pasti dia menang besar dari pertandinganku itu. Memang lumrah, jarang ada bandar yang kalah. Termasuk di dalamnya Josep.Bagi mereka semua, aku ini membawa berkah. Maka bersyukurlah mereka dengan mengadakan perayaan kecil-kecilan di fasilitas hiburan milik Big Boss yang terletak di gedung depan itu.Josep dan Reynold mengajakku ke diskotik, yang bisa dikatakan hanya salah satu unit
Bab 107: Reaksi**Satu minggu pasca pertandinganku melawan Greg Christian—artinya tiga minggu pasca aku mendapat cedera dari Elyaz Sharavan—luka memar di wajah dan lebam di kedua mataku sudah benar-benar sembuh.Wajahku telah kembali pulih seperti sedia kala. Tapi tidak, dan belum untuk cedera di bahuku. Aku masih belum dapat melakukan pekerjaan berat seperti mengangkat beban.Aku sudah berencana untuk pulang ke Bandar Baru, dengan agenda utama menjenguk Joni dan Pak Latif sekeluarga.Agenda lain, bertemu dengan Leony, sesuai dengan janji kami dulu. Bondan segera mengurus tiket pesawatku pulang-pergi.“Berapa lama kamu di Bandar Baru, Mas?” Kassandra bertanya.Aku tahu dia ingin ikut, tapi situasi dan kondisinya tidak memungkinkan, baik dari dia maupun dari aku-nya sendiri. Aku mengalihkan pandanganku dari kolam ikan koi kepadanya. Pertanyaan
Bab 108: Siapa Mengawasi Siapa**Keesokan harinya..,Aku memasuki areal mall SKA dengan perasaan yang sedikit ganjil. Mungkin karena di dalam hatiku ini ada perasaan semacam hendak mengulangi sebuah kejadian, yaitu pertemuanku dengan Jihan sebulan yang lalu.Akan tetapi, sekarang dengan wanita yang berbeda, yaitu Leony.Seperti biasa, aku selalu datang lebih awal. Sebagai penghormatan atas orang dan atas waktu itu sendiri, juga supaya aku bisa mendapat keuntungan dari sisi sudut pandang maupun kesempatan-kesempatan lainnya.Aku ingin mengambil duduk di kursi panjang di depan sebuah restoran siap saji, di dekat pintu barat mall SKA, dan aku akan menyamarkan keberadaanku dengan duduk di samping patung badut seperti waktu yang lalu.Namun ternyata, kursi panjang tempat patung badut maskot restoran itu telah diduduki oleh orang lain, yaitu seorang wanita yang mungkin karena cuaca Bandar Baru sedang dingin pasca hujan, dia men
Bab 109: Pelataran SKA dalam Mozaik Cinta**“Bagaimana, Fat? Aku sudah mengerjakan syarat yang kamu pinta.”Aku menghirup nafas berkali-kali untuk memompa dan mengumpul-ngumpulkan keberanian. Lalu, saat aku mengatakan sesuatu yang pernah aku katakan pada Jihan;“Kamu mengerjakan shalat itu karena aku, bukan karena Allah.”Seketika saja murkalah Leony, bercampur malu yang memerahkan wajahnya. Ia sampai menarik pundakku untuk memutar tubuhku supaya menghadap tepat ke arahnya.“Shalat itu urusanku dengan Tuhan, Fat! Dan kamu tidak berhak menghakimi aku!”Persis sama dengan Jihan. Maka jawaban yang aku beri pada Leony juga sama dengan yang pernah aku katakan pada Jihan.Demikian juga, dialog kami tidak berbeda dengan yang pernah terjadi antara aku dengan si gadis bermata perigi itu.“Pembohong kamu, Fat! Penipu kamu! Penipuu..!!” Leony memekik histeris.“Kal
Bab 110: Tentang Nama**Keesokan harinya..,Setelah kembali dari Bandar Baru, aku singgah di rumah Menteng. Aku menjemput Kassandra untuk kembali ke rumah Pluit.Kami berdua butuh waktu lama untuk membujuk Idah supaya bisa melepas kami pergi. Untunglah Bunda Mulan dan Bunda Tiwi, pengasuh Idah, membantu kami membujuk.Untuk itu dan juga untuk hal-hal lainnya, secara khusus aku mengucapkan terima kasih kepada mereka berdua. Beberapa saat saling peluk yang penuh haru, akhirnya Idah merelakan kami. “Kamu tidak bercerita apa-apa soal pertandinganku di oktagon kan, Kas?” Tanyaku di dalam perjalanan.“Tidak, Mas. Sesuai pesan kamu, aku cerita ke Idah kalau kamu kerjanya di pergudangan, dan aku bekerja di warung makan dekat gudang kamu.”Aku mengangguk. Sebentar aku melirik Wisnu yang memegang kemudi melalui kaca spion di atas dashboard, lalu kualihkan pandanganku ke kanan, menatap kosong pada apa
Bab 111: Latihan dan Ujian**Hari-hariku selanjutnya kujalani dengan tiga kegiatan utama, yaitu; latihan, latihan, dan latihan. Terapi untuk pengobatan bahu dan lenganku, itu juga latihan.Makan minum dengan menggunakan tangan kanan, aku golongkan juga itu ke dalam latihan, dan tentu saja termasuk mengangkat barbel ringan.Akan tetapi, lari pagi di sepanjang jalan pemukiman hingga sampai di ujung rute berupa sebuah danau kecil, aku menganggap itu bukan latihan, karena yang lebih tepat adalah ujian.Bagaimana tidak? Kassandra yang selalu menemani aku lari pagi dengan sepedanya dia berada di depanku. Dia mengayuh sepeda dengan bersemangat tapi aku yang paling banyak berkeringat.Dia memakai topi bisbol dengan rambutnya yang menjuntai, dengan kaus tak berlengan ‘ngepress’ yang mencetak tali bra-nya, dengan celana ekstra pendek dan super ketat yang menyiluetkan bentuk bokongnya.Gitar espanyola di depan mata dan betapa gatal
Bab 112: Hadiah Untuk Tahun Depan – part 1**Beberapa hari kemudian..,Akhirnya, Johan mendapat jeda dari kesibukannya sebagai peserta Audisi Bintang Indonesia. Kami berdua segera mengatur rencana untuk bertemu.Ketika hari pertemuan kami sudah tiba, pukul sepuluh pagi aku mendatangi kamar Kassandra. Ini adalah momen yang sangat tepat untuk menunaikan janjiku padanya.Yaitu membuat dia percaya bahwa Johan Purba sang finalis di Audisi Bintang Indonesia itu, yang selalu ia dukung dengan mengirimkan SMS voting, yang Kristiani itu, yang pernah membuatnya terpana dengan lagu keroncong Bengawan Solo dalam tayangan ulang, adalah sahabatku sekaligus saudaraku.Akan tetapi, sayang sekali, Kassandra sedang tidak fit hari ini. Padahal, aku sudah menelepon Josep supaya dia mengatur ‘legalitasku’ untuk membawa Kassandra keluar.Aku memanggil Putri Ok Soo-ku di depan pintu kamarnya yang tertutup. Selang beberapa saat handel pintu