All Chapters of Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku: Chapter 31 - Chapter 40
133 Chapters
Bab 21A
"Mbak, masih belum kenyang?"Eh? Aku menoleh. Mbak Yuli menatapku tak berkedip. Lalu pandanganku beralih ke piring di depanku, yang tadi penuh oleh gorengan, sekarang tinggal satu. Piring yang tadi berisi tahu tek juga sudah tandas.Tanganku masih memegang mendoan. Ada bekas gigitan di sana. Tangan kiriku memegang cabe. Sungguh perpaduan yang mantap di siang yang mendung dengan angin sepoi-sepoi ini."Kecil-kecil makannya banyak juga, ya?" Tiara menimpali. "Ada yang ikut makan kali, di perutnya."Baru tersadar kalau di antara kami bertiga hanya aku yang masih sibuk mengunyah. Tapi, kenapa Tiara ini sibuk sekali berkomentar? Nggak tau apa, ini pengalihan rasa kesal sama dua saudaraku yang tak bisa dihubungi, hingga nafsu makanku berlipat-lipat. Entah sibuk apa Salma sama Mas Rudy, sampai tak menerima telponku. Kirim pesan pun belum dibalas juga. Jadilah melarikan diri sama makanan. Gegas kuhabiskan mendoan sama cabe, lalu mengunyah p
Read more
Bab 21B
."Kiri, Pak!" Seseorang berseru, membuat pandanganku dari patung yang menjadi ikon kota Surabaya teralihkan.Di mana ini? tanyaku dalam hati.Lalu angkot melaju lagi. Di depan sebuah mall besar aku meminta turun. Bibirku melengkungkan senyum, membaca sekali lagi tulisan yang terpampang di depan mall ini. Pameran pariwisata.Oke, ayo kita lihat, ada apa di dalam sana. Hawa AC langsung menyapa kulit, begitu kaki ini melewati bibir pintu. Keningku mengernyit, melihat sebuah lukisan terpajang di sisi kanan.Jika saja tak malu, pasti aku sudah melompat-lompat seperti anak kecil karena kegirangan. Lukisan selalu punya daya magnet tersendiri bagiku, meski aku tak bisa membuatnya.Sebuah lukisan tangan dengan kulit berkilauan, dilengkapi garis-garis halus tanda penuaan, serta urat-urat yang terlihat menonjol, membuatku tertegun lama di depannya.Tangan emas, demikian judul lukisan tersebut. Lalu tanpa sadar, pand
Read more
Bab 22A
Terus bergerak, saat berkelana, kelak pasti akan menemukan hasil.Wahyu Ramadhan. Aku membaca keduanya bergantian, lalu mencocokkan. Bola mataku seakan berlarian, dari foto ke kartu pos, diam sebentar, bergeser lagi. Baiklah, seperti dugaanku, ini memang tulisan dari tangan yang sama. Hmm … namanya bagus, kalimatnya juga bagus, menurutku. Itu juga yang membuat kartu terakhir ini kubawa serta.Kuperhatikan caranya membuat lengkungan di huruf pertama, sama persis. Pun pada huruf-huruf kecil, nyaris satu ukuran yang sama. Aku yakin tak salah kali ini. Untung saja sempat kufoto daftar tamu di pameran tadi.Ia ada di kota ini, dekat denganku, bukankah begitu. Tapi, siapa dia yang bersembunyi di balik kartu-kartu pos yang kuterima selama ini? Dan ada maksud apa sebenarnya?Aku masih bermonolog, sementara suara hujan terdengar berjatuhan menimpa atap rumah ini. Suara televisi dari kamar sebelah juga masih terdengar, berlomba deng
Read more
Bab 22B
.Keesokan harinya, aku bangun terlambat, karena tidurku kemalaman. Tapi sebuah senyum tersungging, melihat hasil belajarku, membuat alas sepatu bayi, yang dibilang sulit oleh beberapa akun yang semalam kutelusuri.Ya, akhirnya aku menambah pertemanan di akun Facebook dengan perajut lain. Dan niatku belajar kian besar, karena peluang usaha rajutan ternyata sangatlah besar.Aku baru beringsut, hendak mengambil posisi duduk, saat sesuatu yang hangat terasa di bagian bawahku. Tanggal berapa sekarang?Kuperiksa ponsel, rupanya memang sudah waktunya tamuku datang. Pantas saja sejak kemarin rasanya meledak-ledak sampai mau makan orang.Eh, ada pesan dari Mas Rudy?"Mas pulang hari ini, Dek, naik bus. Tapi ibu masih betah, jadi kutinggal saja di kos Salma. Biar ada yang ngawasi juga."Baiklah, aku pun cemas memikirkan si bungsu yang manja itu. Semoga saja ia bisa menjaga pergaulannya di sana, lalu menyelesaikan kuliahnya dengan baik
Read more
Bab 23A
.Aku memandangi Innova hitam Mas Ilham keluar dari halaman kos, dengan kedua anaknya yang melongokkan kepala sambil dadah-dadah. Juga Mbak Nadia yang duduk di samping Mas Ilham, melambaikan tangan dengan senyum termanisnya. Terngiang lagi ucapannya saat di kamarku tadi."Mbak, kalau nginep di rumahku lagi, jangan nyuci piring, ya? Kemarin itu Mas Ilham marahin aku, katanya kok tamu disuruh nyuci piring."Aku sempat melongo mendengarnya. Tak menyangka sama sekali, kedatanganku ke rumahnya waktu itu justru membuat Mbak Nadia kena marah Mas Ilham. Aku hanya terbiasa mencuci piring setelah makan. Terlebih saat itu, Mbak Nadia sedang repot mengurus dua anaknya, niatku cuma mau bantu dari pada aku bengong. Nggak taunya malah dia kena marah suaminya. Mungkin salahku juga, nggak ijin dulu kala itu."Eh, maksudku, aku seneng Mbak Nadira main ke rumah, tapi santai-santai aja, nggak usah ngerjain kerjaan rumah kalau ke sana, ya?"Aku
Read more
Bab 23B
Aku makin tenggelam dengan duniaku, dunia rajut. Seperti orang yang sedang jatuh cinta, maka demikian lah adanya aku. Pelan tapi pasti, merajut telah menjadi candu bagiku.Maka kuhabiskan akhir pekan dengan rajutan. "Hari Minggu ada acara rajut bareng di taman Bungkul jam delapan pagi, siapa yang mau datang dipersilahkan."Demikian pengumuman di salah satu grup rajut Surabaya beberapa hari lalu.Maka aku bersiap ikut. Tak lupa membawa rajutan yang belum selesai."Jadi ternyata banyak yang suka bikin tas sama dompet, tapi bingung bikin innernya," ujar salah satu anggota yang hadir. Sebut saja namanya Lina.Hem … bisa jadi peluang, nih, batinku. Oke, catat. Inner tas dan dompet rajut."Kalau saya, lebih suka bikin baju, jadi bisa dipake. Kalau tas kan nggak tiap hari pergi."Ya, ada benarnya juga, sih. Masa di rumah mau pakai tas? "Kalau saya sukanya bikin boneka, lucu-lucu, bisa buat main. Bikin itu tu
Read more
Bab 24A
Aku mengawali pagi dengan tubuh dan pikiran yang lebih fresh. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap ke tempat kerja.Masih ada waktu satu jam lagi. Kurasa tak ada salahnya mengambil jalan memutar. Siapa tau pagi ini bisa menemukan tulisan 'ada kamar kosong' di depan salah satu pagar rumah. Sebenarnya, kos Bu Imas masih seru. Hanya saja, rasanya aku butuh suasana baru.Aku sedang menyelesaikan sarapan, saat ada notifikasi di ponselku. Kedua pupilku membesar begitu melihat nama Mbak Ira tertera di sana."Aku mau ke Malang, tapi mampir Surabaya. Bisa ketemu nggak, Ra?"Suaranya langsung memberondong, memenuhi ruang dengarku. Aku terkejut tentu saja. Tak urung bibir ini melengkungkan senyuman."Bisa, Mbak, kapan?" tanyaku antusias."Besok siang," katanya.Hah? Mendadak sekali. Tapi tak apa, aku bisa langsung meluncur ke stasiun begitu jam kerja usai."Oh, semoga dimudahkan semua
Read more
Bab 24B
Usai acara makan yang diselingi obrolan ringan pelepas rindu, Mas Adi dan Mbak Ira membujukku supaya ikut dalam perjalanan mereka menuju ke kota yang sejuk dengan buah apel yang menjadi ikonnya. Bagaimana mungkin aku setuju, sedangkan mereka berdua pun sedang dalam misi khusus. Pun aku harus kembali bekerja keesokan harinya. "Ini beneran nggak ikut ke Malang? Nanti diajak ke Batu," ujar Mas Adi menawarkan, tepatnya membujuk dengan iming-iming diajak jalan ke tempat wisata. Aku menggeleng sambil tersenyum."Enggak, Mas. Terima kasih, ajakannya," tolakku. Enggan juga lah, melakukan perjalanan bertiga, bisa jadi obat nyamuk nanti akunya."Sama-sama. Baik-baik di sini, ya," pesan Mas Adi, dan entah mengapa hatiku menghangat mendengarnya."Dia gemukan, ya, Mas," bisik Mbak Ira, lalu tersenyum jahil melirikku. Meskipun berbisik, kalimat itu tetap saja menyelusup ke telingaku.Aku meraba pipi. Benarkah?
Read more
Bab 25A
"Motormu, dijual Masmu."Jederr!!Jawaban ibu yang diucapkan dengan hati-hati, seakan takut melukai hati dan perasaanku, pada kenyataannya laksana petir yang menyambar di pagi yang masih menyisakan embun di pucuk dedaunan."Apa?! Dijual?"Meraup wajah, menyentak napas tanda kecewa teramat dalam. Apa-apaan ini, Mas Rudy?Kedua mataku membelalak lebar. Dadaku gemuruh mendengar ucapan ibu. Jari-jariku memilin ujung baju. Sekuat tenaga aku menahan supaya ledakan-ledakan di dalam sini tak meluncur dan mungkin akan menyakiti hati dan telinga yang akan mendengarnya.Ibu mengangguk lesu. Salma ikut menunduk tanpa berkata apa-apa. Rasanya aku paham, kalau mereka mengetahui sesuatu."Masmu nggak bisa beli rokok, jadi apa saja yang bisa dijual, dia jual, termasuk motormu," ujar ibu menambahkan.Aku menghela napas berkali-kali. Menenangkan degup jantung yang berlarian. Tiba-tiba saja ingin bertemu Mas Rudy secepatnya.
Read more
Bab 25B
Tanpa kusadari, ada yang meleleh di sudut mata. Pemandangan sepanjang jalan di luar bus terlihat samar. Ditambah rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi, seakan mengerti dan mewakili kondisi hatiku saat ini.Rabb … ini waktu yang mustajab untuk berdo'a bukan? Tolong lembutkan hati kakak hamba. Jika ia ada di jalan yang salah, tolong kembalikan kakakku, tolong bawa ia kembali ke jalan yang lurus. Aamiin … .Kuusap wajah dengan kedua tangan, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya, hingga memenuhi paru-paru.Lalu aku teringat ibu. Sekarang ibu turun lagi ke sawah, setelah habis masa sewanya. Bukan tak mungkin nanti butuh biaya lebih banyak untuk membeli pupuk setelah masa tanam."Ibu capek cuma di rumah saja. Kalau ada sawah, kan, ibu bisa main ke sawah, jadi ada kegiatan," ucap ibu saat baru pulang dari sawah.Hatiku mencelos mendengarnya. Meski ibu masih sehat dan badannya kokoh, tapi umur tetaplah tak bisa bohong. Tenaga i
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status