All Chapters of Mahar 50 Juta dari Si Petani: Chapter 21 - Chapter 30
34 Chapters
Tetes Air Mata Bu Tarjo
"Antar Bapak ke rumah Bara," kata Pak Bagiyo memecah keheningan. Laela mendongak lemah. Rumah Bara? Rumah yang mana yang Pak Bagiyo maksud?"Rumah yang mana, Pak?" tanya Laela. Suaranya bergetar. "Bapak lupa kalau Mas Bara gak punya rumah?"Pak Bagiyo menyentak napas kasar. Refleks, tangannya yang kekar menggebrak meja hingga kacanya terpecah berserakan. Bu Tarjo dan Laela memejamkan mata erat. Kemarahan pria paruh baya itu tidak pernah main-main."Bodoh!" hardik Pak Bagiyo entah untuk yang keberapa kalinya. "Kenapa kamu bodoh sekali, Laela!"Laela sesenggukan. Di atas lantai, dia menangis meluapkan rasa kecewanya karena gagal menikah esok hari. Kemarin lusa, Bara masih bisa dihubungi bahkan semua persiapan pernikahan dari mulai tenda dan back drop sederhana sudah terpasang indah di ruang tamu. Bagaimana jadinya jika esok calon suaminya tidak datang?"Motor dibawa, uang lima
Read more
Aku hanya Pura-pura, Kang!
Akbar dan Dilsah saling pandang. Sejak setelah menikah, ini adalah kali kedua mereka menjenguk Bu Mila dan baru kali ini pula keduanya bertemu dengan Kanaya."Ada yang aneh," gumam Dilsah lirih.Bu Tarjo menangis sesenggukan. Bu RT yang merasa bersalah terlihat tengah memeluk tetangganya itu dan menepuk-nepuk punggung Bu Tarjo dengan lembut. Sementara Kanaya ... dia mengusap-usap pipinya yang terasa panas sambil sesekali menangis dan tertawa bersamaan."Bu, dia ...." Ucapan Akbar menggantung di udara. Namun Bu Mila paham dengan pertanyaan yang akan menantunya itu lontarkan. Wanita paruh baya itu mengangguk sendu dan mengusap sudut matanya yang berair. Dilsah menutup mulutnya dengan satu tangan. "Astaghfirullah," gumamnya lirih. Akbar memeluk Dilsah dengan sangat erat. Diusapnya lengan istrinya itu berulang kali agar sedikit lebih tenang. Perasaan bersalah pasti menelusup ke dalam hati Di
Read more
Melamar
Kanaya menunduk. Sebentar kemudian menatap ke arah dimana Dilsah dan Akbar yang mulai meninggalkan kerumunan. Hatinya masih berdenyut nyeri, namun lagi-lagi senyum sendu terbit di bibirnya."Akbar, Nay ...." Laela meracau. "Mbak gak lupa, d-- dia per-- pernah Mbak ludahi.""Astaghfirullah ....""Innalilahi, Laela!""Ya Allah tega sekali ....""Sampai segitunya mereka memperlakukan Akbar," gumam beberapa tetangga yang ada disana. Decak sesal terucap dari bibir para tetangga mendengar sikap Laela yang dinilai sangat keterlaluan. Bu Tarjo memeluk Laela yang tengah terbaring dengan mata terbuka. Wanita itu menangis. Teringat pula bagaimana dia menghina dan menghardik Akbar juga Emak Lamba tempo hari. Kanaya melenggang masuk ke dalam kamar. Tidak kuat menahan nyeri di hatinya melihat keluarganya yang hancur berantakan. Pak Bagiyo menatap bungsunya dengan pandangan nanar
Read more
Pasang Badan
Emak melengos. Matanya tanpa sengaja bersirobok dengan mata Dilsah. Sejenak, wanita tua itu menatap menantunya dengan pandangan sendu.Kedua tangan Emak bertumpu pada sisi kanan dan kiri kursi. Kanaya menangis di pangkuan Emak Lamba namun wanita tua itu masih saja enggan menyentuh perawan cantik di bawah kakinya. "Maafkan aku, Mak, maafkan aku yang terlalu pongah ini," sesal Kanaya sesenggukan. "Emak pantas marah, Kang Akbar pantas berpaling, ak-- aku ... aku memang bukan wanita baik-baik," akunya jujur. "Sekarang yang aku harapkan hanyalah kata-kata maaf dari Emak dan Kang Akbar. Hanya itu."Emak lagi-lagi menatap Dilsah. Menantunya itu terlihat mengangguk seraya mengulas senyum samar di depan Emak Lamba. "Duduklah di kursi, Kanaya," pinta Emak risih. "Jangan sampai ada orang yang melihat dan mereka justru menyalahkan Akbar atas semua yang terjadi. Sudah cukup anak Emak mendapat hinaan sedemikian buruk se
Read more
Mimpi Emak
"Bar!" Panggil Kang Dadang dari depan rumah. Akbar yang sedang duduk berbincang dengan Emak dan istrinya pun terperanjat kaget.Pria berusia matang itu keluar dan menjawab. "Ada apa, Kang?"Kang Dadang duduk di kursi teras. Mengibas-kibaskan topi sawahnya tepat di depan wajah. Siang ini matahari memang terasa begitu menyengat.Dilsah segera melesat menuju dapur rumah Emak, pengantin baru itu memang sudah memiliki rumah pribadi, namun sehari-hari keduanya senang menghabiskan waktu di rumah Emak Lamba, kadang juga keduanya pergi menyambangi Bu Mila itupun baru dua kali mereka kesana setelah menikah. Bukannya apa, Bu Mila sendiri yang melarang anak menantunya agar tidak terlalu sering datang, takut terjadi keributan bersama Kanaya. "Kopinya, Kang," kata Dilsah sembari meletakkan dua gelas kopi di atas meja teras. "Atau mau minum dingin, Kang?"Kang Dadang menolah halus. "Gak perlu, Neng. Terima kasih banyak."
Read more
Melupakan Tuhan
Pernikahan Laela berjalan lancar. Dengan sederhana tentunya. Pras menikahi pujaan hatinya dengan mahar seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah. Tidak ada perhiasan, tidak ada ems batangan ataupun yang lain. "Selamat menempuh hidup baru ya, La. Ah, gak nyangka banget kalau kamu bakalan menikah sama petani seperti Pras," celetuk Halimah, teman kerja Laela di pabrik sepatu di kota mereka. "Aku masih ingat sekali waktu kamu bawa Bara ke acara makan-makan bareng anak-anak pabrik bulan lalu. Eh, gak taunya malah bukan Bara si Pengusaha itu jodoh kamu. Duh, benar-benar jodoh adalah cerminan diri." Halimah terkikik sementara wajah Laela memanas mendapat sindiran pedas dari teman yang selama ini dia anggap baik. "Mungkin ini yang namanya karma ya, Hal? Ingat gak waktu siang-siang kita pergi bertiga sama Laela, dia meludahi pacar Kanaya."Halimah mengangguk membenarkan. "Iya ya, jangan-jangan ini karma, La," sahutnya seraya menatap Lae
Read more
Dadah, Kanaya
Setelah memastikan Kanaya masuk ke dalam kamar, Pras kembali keluar dan duduk bersisian bersama Akbar, pria yang urung menjadi adik iparnya. Keduanya berbincang hangat laiknya para pria pada umumnya. Membicarakan pekerjaan, tempat tongkrongan bahkan Pras dan Akbar saling berbagi nomor handphone. Sementara Dilsah terlihat duduk diantara Emak Lamba dan Bu Mila. Dua wanita paruh baya yang kentara sekali begitu memanjakan anak menantu itu. Berulang kali bahkan Emak Lamba menawarkan jajanan di atas meja tamu, namun berakhir dengan gelengan kepala Dilsah. "Jangan sampai gak makan, Sah, trimester pertama memang seperti itu. Mabuk berat," kata Bu Ramli. "Setidaknya ada asupan yang masuk ke dalam perut kamu. Dapat vitamin dari Bu Bidan kan?"Dilsah mengangguk. "Iya, Bu Ramli. Terima kasih sudah mengingatkan."Bu Ramli tersenyum dan mengacungkan jempolnya. "Kamu gak ada mual-mual berat kalau pagi, La?"
Read more
Siapa Lakon Utama?
"Kamu bikin Mas kaget," gerutu Akbar sambil mencubit pipi istrinya. "Kenapa gak panggil sih, malah berdiri di depan pintu. Gak baik!"Dilsah mengulas senyum paksa. Dia meletakkan secangkir kopi panas di atas meja yang terletak di teras rumahnya. "Terpesona ya, Mas," goda Dilsah sinis. Akbar mencebik. Lagi-lagi dicubitnya pipi Sang Istri dan berkata. "Memang tadi Mas ngapain sampai terpesona? Menatap wanita lain sampai gak berkedip, hah?" "Mas cuma sekedar menghargai sapaan Mas Pras, Dek. Gak lebih, Demi Allah!"Dilsah tersenyum samar. Dia berlalu begitu saja dari hadapan Akbar dan bergegas mengambil sapu lidi yang berdiri menyandar di pojokan rumah. "Loh, sudah cemburunya?" tanya Akbar heran. "Begitu doang?"Dilsah bersedekap dada dengan posisi satu tangan menggenggam sapu yang siap dia pakai untuk membersihkan dedaunan di halaman rumah."Aku itu gak cemburu, Mas,
Read more
Menjelang Tamat I
Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m
Read more
Menjelang Tamat II
Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status