All Chapters of DITOLAK OM-OM : Chapter 51 - Chapter 60
62 Chapters
Bab 51
"Suamimu belum dateng, Van?" tanyaku. Pemilik wajah tirus itu gelisah, berkali-kali memeriksa ponsel diiringi gerutuan panjang. "Masih nganterin mami mertua belanja katanya. Padahal ada anak yang lain loh, Rin. Gak tahu kenapa kok manjanya sama Mas Rio." "Jadi ceritanya cemburu sama mertua sendiri?" "Ya gak gitu tapi ... entahlah. Sejak aku disinggung-singgung supaya cepat hamil, gak tahu kenapa jadi sebel gitu. Ya kali hamil bisa di-setting semau kita." Inikah realita? Dulu, waktu Rio dan Vanya masih berstatus pacaran, antara calon menantu dan calon mertua bisa dibilang sangat dekat. Sering belanja dan jalan bareng malah, sudah seperti ibu kandung sendiri. Sialannya, itu semua mengingatkanku pada kedekatanku dengan mamanya Bas kala itu. Selalu saja ada sesuatu yang membuat diri ini menoleh ke belakang di mana masa lalu masih membayang. Akhir-akhir ini Vanya sering mengeluhkan sikap sang mertua. Aku cuma bisa menghiburnya dengan kata 'sabar'. Mau kasih solusi bagaimana selain me
Read more
Bab 52
Biasanya batinku langsung teriak 'bullshit' jika fisik luarku dipuji terang-terangan. Namun ini aneh, aku sama sekali gak keberatan dengan itu. Aku gak merasa bahwa itu sebuah rayuan. Evan menyaksikan secara nyata bagaimana versi Erin yang waktu itu dekil dan berantakan. "Udah lama tinggal di Surabaya?" Usia cowok di depanku ini mungkin selisih banyak denganku. Bisa jadi jauh di bawahku. Namun, pancaran meneduhkan itu bikin aku gak baik-baik saja. Sepersekian menit timbul lagi suasana kaku. Harus menggali bahan obrolan seru ini biar kembali hangat seperti beberapa saat lalu. "Lumayan, dari kuliah sampai sekarang." "Ooh." "Mbak sendiri?" "Sedari lahir udah di Surabaya." "Iya, saya sudah tahu sedikit banyak tentang Mbak dari Om Hadi." "Oh, ya!" "Hmmm." Pasti ulah papa ini, aku gak begitu dekat dengan sahabat-sahabat beliau. Hanya beberapa kali bertemu dalam jamuan makan malam menemani papa jika Mama berhalangan hadir. Biasalah, Pak tua itu memang rajin menceritakan keempat ana
Read more
Bab 53
"Van, kamu ngapain aja, sih, di toilet? Lama banget." Aku gak kasih kesempatan Vanya ngomong duluan begitu panggilanku tersambung ke nomornya. "Sorry banget, Rin. Ini juga aku mau nelpon kamu. Jadi tadi pas aku mau keluar toilet, tiba-tiba Mama mertua nelpon aku, katanya gak enak badan gitu. Aku panik, dong, takutnya kenapa-kenapa. Makanya aku buru-buru pulang sampai gak sempat hubungin kamu, Rin. Sorry, ya!" Jujur, aku ingin marah, nangis dan teriak-teriak. Padahal aku butuh bahu untuk menopang kepala. Butuh seseorang yang mau menampung semua curahan hati. Menginginkan sosok penenang gejolak setelah tanpa sengaja aku bertemu dengan seseorang yang menggugah kenangan dari celah gak terduga. Sakit sekali, Van. "Oke, aku ngerti, kok. Bye ..." Gak tega menyalahkan Vanya jika alasannya demikian. Mertua sama halnya dengan orang tua kita. Sedekat-dekatnya kami sebagai sahabat, aku tetap orang lain. Sudah menjadi keharusan kalau Vanya lebih memprioritaskan sang mertua. Aku menyeret lang
Read more
Bab 54
Aku tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Menyedihkan, bukan! Bahkan sekarang aku sedang dihibur oleh lelaki muda dengan gombalannya. Gombalan yang sering kulihat di acara komedi talk show atau cuplikan video singkat di sosmed. Evan berhasil, melebur sakitku, kecewaku juga sedihku dengan caranya meski di balik semua itu batinku meronta-ronta. "Ada yang lucu, Mbak?" Pertanyaan yang membuatku menghentikan tawa ini. Bukankah dia pencipta mood booster itu? Lawakan khas anak muda ketika iseng merayu wanita-wanita di sekitarnya. Kenapa dia malah datar saja? "Maaf, Van. Aku terbawa suasana dan gak bisa nahan tawa." "Jadi, Mbak pikir aku sedang becanda?" "Loh, terus?" Apa ini sebuah kode tertentu, kode lelaki terhadap perempuan yang memiliki kepekaan tinggi. Masa depan Mbak sudah ada di sini katanya. Apa itu artinya dia sudah berani melangkah lebih jauh? "Mungkin terlalu cepat dan begitu konyol di mata Mbak. Tapi jujur, apa yang sedang kurasakan ini gak salah. Serius!" Pramusaj
Read more
Bab 55
"Semudah itu papa kasih izin Evan?" Terpaksa aku prepare juga pagi ini. Aku kalah telak dengan pendukung cowok cute itu. Papa, Mama dan Vanya bersekongkol meluluhkanku dengan sejuta cara. "Dia meminta izin dan bicara baik-baik sama papa. Papa cuma bisa kasih semangat, sekalian ingin melihat bagaimana cara dia berjuang mendapatkan cinta Erin yang kerasa kepala. Berani juga anak itu." Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menungguku bersiap-siap karena sebentar lagi Evan menjemput. "Sekarang papa pasrah, ya?" Aku tertawa kecil menggodanya, mengingat pria-pria rekomendasi papa yang pernah kutolak sebelum ini. Dari kesemua lelaki tersebut, aku tahu papa sudah menyelidiki dulu latar belakang masing-masing. Gak mungkin asal walaupun bisa dikatakan aku begitu terlambat menemukan pasangan. "Bukan pasrah, tapi ingin mengikuti apa yang terbaik menurut kamu karena yang akan menjalani adalah kamu. Soal Evan ... menurut papa, dia memiliki daya tarik kuat. Bisa kamu lihat dari niat baiknya, keber
Read more
Bab 56
"Santai aja, Mbak. Gak usah tegang." Evan menutup pintu mobilnya, lalu menarik tanganku ke sebuah bangunan modern klasik berlantai dua. "Kamu yang santai, Van. Aku enggak bakalan ilang." Kulepas genggamannya yang hangat, seketika detak jantungku kembali normal. Dia gak tahu irama menyebalkan itu cukup mengganggu. "Evan!" seru seseorang, setelah daun pintu ditarik ke dalam. Wanita berambut keriting sebahu memeluk erat pemuda itu. Erat sekali seperti seakan semua rindu tumpah di sana. Seolah dia pernah bepergian ke suatu tempat, lalu kembali setelah bertahun-tahun. "Kangen banget ya, Ma?" Evan lebih erat membalas. "Iyalah. Biasanya seminggu sekali pulang, ini enggak. Mentang-mentang sudah nemu--" "Oh, ya, Ma. Kenalin, ini wanita cantik yang pernah Evan ceritain ke Mama." Pelukan terurai dan dengan lancangnya tangan Evan merangkul leherku. Cerita apa saja dia ke ibunya? "Oh, jadi kamu yang namanya Erin? Cantik sekali. Real pict seperti di foto-foto yang sering dikirim Evan." "I
Read more
Bab 57
"Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j
Read more
Bab 58
"Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d
Read more
Bab 59
"Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma
Read more
Bab 60
"Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status