All Chapters of Terjerat Pesona Om-Om: Chapter 11 - Chapter 20
36 Chapters
Bab 11.
Napas keduanya menderu, seperti orang yang habis lari maraton. Hara memalingkan wajah dengan pipi yang merona. Sementara Ardhan tersenyum, ia juga merasa salah tingkah. Seketika ruangan yang awalnya terasa panas, kini terasa canggung. "Em, saya akan tidur sofa depan TV saja. Saya takut kelepasan," ucap Ardhan membelah keheningan dan segera keluar dari sana. Ia takut akan lepas kendali dan memangsa Hara jika malam ini tidur bersama. Hara diam tak menjawab. Ia masih sibuk menetralkan degub jantungnya. Ia tak menyangka bisa berbuat begitu. Apalagi yang terakhir dirinya lah yang memulai. "Apa yang barusan lo lakuin, Hara. Ceroboh banget, sih. Om Ardhan bisa berpikir macam-macam tentang kamu kedepannya," ucapnya lirih sembali memegang kepalanya. Sebelum kembali ke kamarnya, Hara menyelesaikan merapikan barang mendiang sang ibu sembari mencoba agar tidak gugup nanti di depan Ardhan. Ia tak menangis lagi karena kepergian sang ibu, kini Ha
Read more
Bab 12.
Netra cokelat gelap milik Ardhan tak henti-hentinya menatap Hara yang masih terlelap dalam tidurnya. Entah bagaimana sehingga posisi Hara sekarang berhadapan dengan Ardhan.  Karena Hara lebih pendek daripada Ardhan. Ia tidur dengan bantal dada bidang Ardhan yang tengah terlentang. Kaki Hara menindih kaki Ardhan. Hara seperti sedang memeluk guling raksasa.  Ardhan tak tahan untuk tidak mengulas senyum. Ia bahkan ingin tertawa membayangkan bagaimana reaksi Hara saat terbangun dan melihat posisi keduanya.  Dari dekat, Ardhan bisa melihat jelas wajah istri kecilnya. Matanya terlihat sembab karena semalam menangis. Pandangannya turun dan berhenti pada bibir merah muda yang kemarin ia nikmati.  'Sadar Ardhan. Jangan berpikir macam-macam. Kamu tidak boleh melakukannya,' ujarnya dalam hati memperingatkan nafsu yang mulai muncul.  Ia dengan cepat mengalihkan pandangannya dari bibir yang sekarang menjadi candu untuknya. Hara men
Read more
Bab 13.
Ardhan dan Hara berjalan beriringan saat hendak masuk rumah. Setelah pintu terbuka, mulut Hara ikut terbuka. Bagian ruang tamu rumah itu tak kalah mewah. Tak hanya bagian luarnya yang indah, dalamnya tak kalah indah. "Ayo ke kamarmu," ajak Ardhan dengan menggenggam tangan mungil Hara dan menariknya dengan lembut menuju lantai dua. Rumah itu cukup mewah dan pastinya mahal. Dilihat dari model, interior, dan eksteriornya. Bagian dalam rumah itu juga lebih di dominasi warna putih. Meski begitu, tak terlalu banyak barang juga. Hanya barang-barang penting. Hara kembali dibuat takjub oleh rumah itu. Kali ini kamarnya yang membuatnya ternganga. "I-ini kamar aku, Om? Serius?" Binar kebahagiaan terpancar dari mata kecilnya. Hara langsung masuk dan melihat lebih dalam. Kamar itu benar-benar luas dan indah. Perpaduan antara warna putih dan cokelat susu amat apik. Ada sofa, TV dengan layar besar, ranjang besar, dan ruangan luas. Ar
Read more
Bab 14.
Kuku tajam Weni melukai pipi Hara. "Saya tidak akan tinggal diam. Saya akan memisahkan kamu dengan anak saya. Dan jangan harap kamu mendapat harta. Satu peserpun saya tidak akan memberikannya!" ujar Weni tepat di wajah Hara. Para pekerja tak ada yang berani melerai. Meski merasa kasihan, mereka tak mampu berbuat apa-apa. Mereka takut oleh Weni. Jari-jari besar dengan warna kulit putih kecokelatan memegang tangan Weni dan melepaskan cengkramannya atas dagu Hara dengan kasar. "Cukup, Ma! Dia istri Ardhan. Seharusnya Mama tidak bersikap kasar seperti ini!"Tubuh Hara gemetar saat Ardhan memeluknya. Tangis Hara bahkan sudah tak bersuara. Suaranya tercekat karena ketakutan yang ia rasa. "Berani kamu Ardhan sama Mama? Anak durhaka kamu!" geram Weni atas tingkah anaknya barusan. Karena selama ini Ardhan tak pernah sekasar itu padanya. "Mama yang sudah keterlaluan. Sudah cukup selama ini Ardhan diam atas tingkah Mama terhadap keluar
Read more
Bab 15.
Ardhan menghampiri Hara yang dibantu berdiri oleh pekerja di rumah mereka. "Kamu tidak apa-apa? Ayo ke kamar. Saya obati lukanya," ujar Ardhan dengan anda khawatir. Hara tersenyum, ia senang ada orang lain yang khawatir padanya selain keluarganya. "Aku enggak apa-apa, Om. Cuma kaget aja sama sikap Mama," jawab Hara dengan lembut seolah-olah ia baik-baik saja. Ardhan mengangguk mengerti. Lalu tangannya merangkul pundak Hara. Keduanya naik ke kamar Hara. Ardhan meminta pembantu untuk membawakan es dan kain yang akan digunakan untuk mengompres pipi Hara yang terlihat memar akibat tamparan Weni. Ardhan menyuruh Hara duduk di sofa yang ada di kamar. Sementara itu ia jongkok di depannya. "Duduk dulu, Hara." Ardhan mengambil napas panjang sebelum berbicara lagi. "Saya ingin minta maaf soal kelakukan Mama saya. Saya merasa bersalah, karena Mama pipi kamu memar seperti ini." Ardhan mengatakannya dengan membelai pipi Hara yang terlihat bekas
Read more
Bab 16.
Hara menjadi gugup. Apakah maksudnya perasaan itu perasaan antara laki-laki dan seorang wanita?  "Ma-maksud, Om?" "Satu-satunya yang akan berubah soal perasaan saya terhadap kamu itu, yang awalnya sebagai adik mungkin akan berubah menjadi perasaan suka terhadap wanita. Setelah suka menjadi sayang, dan menjadi jatuh cinta. Saya tidak bisa menjamin untuk tidak memandang kamu sebagai wanita."  Meski saat mengucapkan hal itu Ardhan tidak memandang Hara, tetapi efeknya membuat pipi Hara merona dengan jantung yang berdegup kencang. Sudut bibirnya terangkat. Bukannya merasa takut, Hara merasakan perasaan bahagia.  Dahi Ardhan berkerut saat menyadari Hara tersenyum karena ucapannya. "Kenapa kamu tersenyum?" Ketahuan tersenyum Hara mendadak salah tingkah. "Eh, apaan. Enggak kok. Ini tu karena enggak sakit lagi. Iya enggak sakit lagi." *** Ini hari pertamanya tinggal di rumah Ardhan. Matanya tak kunjung terpejam meski wakt
Read more
Bab 17
Skak mat. Hara tak mampu berkata-kata. Melihat Hara yang diam, Ardhan terbahak sampai tersedak.  "Uhuk, uhuk." Hara memberikan segelas air. "Makanya, jangan suka usilin anak kecil. Kena karma, 'kan?" Setelah mengucapkan itu Hara pergi tanpa sarapan. Meninggalkan Ardhan yang harus menghabiskan sarapan sendirian. Ardhan langsung berangkat kerja setelahnya.  Hara bosan di rumah sendirian tanpa adanya Ardhan. "Mau rumah sebagus apapun kalau sendirian tanpa keluarga enggak enak, ya. Jadi kangen ayah sama ibu." *** Di kantor, Ardhan sibuk dengan setumpuk pekerjaan. Satu minggu tidak masuk membuatnya harus mengerjakan banyak hal. Tidak ada kesempatan untuk bersantai barang sejenak.  "Hara sedang apa, ya?" gumam Ardhan di sela-sela menandatangani berkas-berkas di mejanya.  Ia melihat foto yang terpajang di mejanya. Seorang anak kecil dengan rambut kuncir kuda yang tengah menikmati es krim. Itu foto sepuluh t
Read more
Bab 18
Di rumah, Hara merasa sangat bosan. Ia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar.  "Bosen."  Netranya menatap jam yang menggantung di dinding kamar. Masih pukul dua siang, artinya Ardhan masih lama pulang.  Hara berjalan turun, ia mencoba melihat apakah ada yang bisa ia kerjakan untuk menghilangkan kebosanan. Rumah tampak sepi, semuanya sudah tertata rapi.  Hara ke belakang, terlihat ada beberapa pekerja yang sedang mengerjakan pekerjaannya. Ada Mbok Sur yang sedang merawat bunga yang ada di taman belakang.  Hara mendekat, berniat membantu. "Mbok, Hara bantu, ya," ucapnya saat berjongkok di samping Mbok Sur dan mengejutkannya.  "Astaghfirullah, Non Hara. Bikin kaget saja." Hara tersenyum, ia sedikit merasa bersalah. "Maaf, Mbok. Tapi Hara boleh bantu, kan? Hara bosen," ujarnya tanpa basa-basi.  Mbok Sur membersihkan tangannya dari tanah yang menempel di tangannya karena ia baru saja m
Read more
Bab 19.
Hari cepat berlalu, jam menunjuk pukul delapan malam, tetapi Ardhan belum juga pulang. Hara yang diminta tidak menunggu malah melakukan sebaliknya.  Sejak tadi pagi Hara memang tak nafsu makan. Ia bahkan sampai sekarang tak mau makan. Bila ditawarkan alasannya menunggu Ardhan pulang.  Tangan Hara gatal ingin menelpon, tetapi ia juga gengsi. Lagipula bukankah sudah jelas Ardhan bilang bahwa ia akan pulang malam? Lalu entah mengapa Hara menjadi cemas begini. Persis seperti istri yang khawatir terhadap suaminya.  "Udah jam delapan kok belum pulang, sih," gumam Hara dengan hembusan napas yang ia hembuskan secara kasar.  Tadi sore, ia sudah memasak untuk Ardhan. Ia meminta pada Mbok Sur agar membolehkannya. Hara memakai alasan bahwa cinta bisa datang dari perut lalu ke hati. Dengan itu ia membujuk Mbok Sur. Tanpa curiga, Mbok Sur mengizinkannya, berpikiran bahwa Hara memang ingin menunjukkan rasa cinta.  Pintu kamar diketuk
Read more
Bab 20
"Ada apa, Hara?" tanya Ardhan mencoba bersikap biasa saja. Jujur, sebenarnya ia juga bingung harus bersikap seperti apa.  "Em, anu." Hara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tak dapat berpikir jernih sekarang.  "Anu apa, Hara? Kalau bicara yang jelas, saya tidak mengerti." Alih-alih mendapatkan jawaban, Ardhan justru mendapat sebuah suara yang menggelitik. Ia tak tahan untuk tidak tertawa. Hara sampai dibuat malu kerenanya. "Jadi tadi kamu tidur belum makan?" tanya Ardhan dengan menahan tawanya. Sebab Hara terlihat sangat malu di matanya.  Sementara Hara, hanya menunduk, melihat ujung kakinya. Ia merutuki dirinya. 'Kenapa malah jadi gini, astaga. Malu banget.' Sadar Hara yang malu, Ardhan mengambil inisiatif . "Tunggu saya di meja makan. Saya akan memakai pakaian dan akan segera menyusul," ujar Ardhan membuat Hara mendongakkan kepalanya.  Saat melihat Ardhan, Hara kembali terhipnotis dengan apa yang se
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status