All Chapters of The Wall In My Heart: Chapter 11 - Chapter 18
18 Chapters
Bab 11
            Pagi ke sekian. Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela jatuh di lantai keramik, memantul. Tak banyak aktivitas warga kost Bangsal di pagi Minggu. Beberapa penghuni yang mayoritas mahasiswi lebih memilih terdampar di pulau kapuk untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu adalah bukti pelampiasan padatnya aktivitas kampus 6 hari yang baru saja tenggelam.Namun, tetap ada beberapa mahasiswa lain sedang berolahraga ria di halaman kost seperti Mila, Riana, Dian, Puput, Jumi dan Susi. Mereka mahasiswa se-angkatan dengan Arin sekaligus teman satu Fakultas dengan jurusan yang berbeda-beda. Sejak pukul 05.30 pagi mereka berkumpul di taman depan kost. Kemudian melakukan pemanasan, berlari-lari kecil  keliling taman. Sesekali bercengkrama tentang aktivitas kampus, baik tentang organisasi yang diikuti, tugas kampus hingga menjalar ke tukang bersih-bersih kampus.“Ahh, itu pikiranmu saja Mila! Tidak ada
Read more
Bab 12
Udara pagi melenggang, menyapu hamparan padi yang mulai meninggi. Sejauh mata memandang, hamparan hijau sawah membentang di sebelah kanan dan kiri jalan yang dilewati Arin. Sesekali dia menekan bel sepeda jika melewati sekelompok ibu-ibu membawa barang dipikul di kepala atau di jinjing. Asyik ibu-ibu itu berbincang tentang sawah, pertanian, hingga sekolah anak-anak mereka.Sesekali juga Arin berpapasan dengan sekelompok petani yang sedang membawa cangkul menuju sawah yang cukup jauh. Arin mengangguk sambil berlalu. Angin menyibak lembut kerudung merah maronnya. Wajahnya yang tak terawat itu terlihat lebih bersih, segar dan cerah seperti mentari.Keadaan pasar saat libur lebih ramai dari biasanya. Beberapa tenda-tenda baru didirikan untuk meletakkan barang dagangan. Mereka pedagang yang tidak menetap. Artinya selalu berpindah tempat. Tergantung di mana lokasi pasar akan ramai. Ada banyak pasar di kota. Itulah santapan baik bagi pedagang berpindah.Arin menyibak d
Read more
Bab 13
Matahari semakin terik. Keringat semakin lembap membasahi gamis Arin. kerudungnya pun ikut basah oleh keringat di wajah. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, menyengat sekali. Sepeda hijau itu melaju di jalan yang sebelah kanan dan kirinya terhampar hijaunya sawah. Nampak para petani beristirahat di pondok mereka, melepas lelah mencangkul, membersihkan sekitar sawah, menggarap tanah baru yang siap ditanami bibit padi baru.Sejauh mata memandang di tengah hamparan terdapat satu, dua orang-orangan sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir hama burung pipit yang meresahkan petani. Jika padi mulai memunculkan benih hijau ditangkainya mulailah hama-hama berdatangan. Belum sempat padi matang, burung-burung sudah memanen terlebih dulu. Hama-hama itu amat meresahkan para petani.Arin melambaikan tangannya saat melewati pondok. Ada Bu Saripah sedang menikmati makan siang bersama suaminya Pak Rasidi. Melihat pasangan petani itu Arin teringat Bapak dan Mamak di kampung.
Read more
Bab 14
Di sudut pulau sebelah selatan Sulawesi. Di sebuah kampung yang cukup jauh dari kota Makassar, Pak Rais memperbaiki jaringnya di teras rumah kayu. Sedang istrinya Mak Edah sibuk menjemur ikan hasil tangkapan kemarin. Ikan diberi es dan direndam dalam air garam. Jaring-jaring hitam terhampar di halaman depan rumah. Cukup luas. Sekitar 5×6 meter luas hamparan jaring hitam di depan halaman. Jaring itu dapat dipindahkan, karena ia berada pada tiang-tiang kayu berbentuk meja yang dapat di angkat pada tempat yang mendapat langsung cahaya matahari.Di kampung itu, rumah-rumah warga dibangun memanjang atau melebar. Saat kita baru tiba di sana, mata akan terbiasa melihat ruang tamu yang luas tanpa kursi, ataupun meja. Hanya ada hamparan tikar memanjang atau melebar. Suku di kampung itu mayoritas Bugis Mandar. Pekerjaan mereka, sebagai nelayan atau pengrajin rotan. Tidak banyak anak yang sekolah di sana, mereka sibuk membantu orangtua mereka melaut, atau masuk hutan mencari kayu
Read more
Bab 15
            Senja telah datang dari ufuk barat, menyembunyikan sinar mentari di kaki langit. Kepakan sayap burung datang berbondong-bondong hingga hanya sisa dua, tiga saja yang terlihat. Perlahan kepakan sayap itu seperti siluet saja di antara warna jingga langit. Kesunyian masuk kemudian menyelinap lembut bersama hembusan angin yang menenangkan juga menentramkan.            “Baru pulang?” Arin menengok di sekelilingnya. Jelas sekali dia mendengar suara seseorang. Tapi, tak ada siapa pun di sekitarnya. Meninggalkan wajah Arin yang pias, meskipun dia berusaha tetap tenang. Langkahnya semakin cepat, khawatir dugaannya memang benar. Dia takut kejadian yang sama terulang kembali. Meskipun sudah cukup lama berlalu. Tetap saja, terkadang rasa takut itu menyelinap tanpa permisi.            “Ka
Read more
Bab 16
Lagi. Hujan mengguyur kota Yogya. Seketika tanah yang kering menjadi basah. Arin menengok jendela kaca, menatap langit yang gelap oleh awan hitam yang menutupi. Kaca terlihat berembun oleh hawa dingin yang mulai menjalari kulit hingga menusuk tulang. “Sepertinya hujannya akan lama.” Lirih Arin dengan pandangan masih lurus menembus kaca putih yang memperlihatkan tetes hujan yang terus menjatuhkan tubuhnya tanpa henti.   “Iya Umi, hujannya pasti lama. Kita tidur di sini saja, Umi?” Sovie menanggapi ucapan Arin tanpa beralih sedikitpun dari crayon-crayonnya. Sovie, gadis kecil itu sibuk mewarnai buku bergambar yang belum diwarnai. Arin mendekati tubuh mungil itu. Menatapnya lembut, mengusap kepalanya. Arin tidak pernah menyangka secara perlahan Sovie mulai membuka diri pada Arin. Meski pun masih sulit berinteraksi dengan teman-teman seusianya, setidaknya Sovie telah menunjukkan sedikit kemajuan yang dapat membuatnya tetap bertahan di TK itu, di tempat Arin
Read more
Bab 17
Arin mengayuh sepedanya menuju kampus. Hari ini ia memiliki jadwal konsultasi skripsi. Itu artinya ia akan kembali berjumpa dengan Khan, dosen pembimbingnya. Arin hanya memakai bedak tipis di wajah kusamnya. Tidak ada perawatan yang berarti di wajah Arin. Membiarkan wajah itu bertemu sapa setiap hari dengan terik mentari yang seakan hendak membakar kulit ketika panasnya tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Tapi sebelum itu, Arin singgah ke TK. Arin memiliki jadwal bertemu dengan orangtua Sovie, Laudia. Kedatangan Laudia ke TK adalah bertemu dengan Jane dan Arin demi membahas perkembangan belajar Sovie. Dari kejauhan TK itu sudah terlihat. Arin mempercepat kayuhan sepedanya. Terlihat anak-anak mulai ramai bermain di sekitar TK. Ada yang bermain jungkat jungkit, bermain ayunan, memanjat tebing kecil, meniti tali dan berbagai permainan yang biasanya ada di TK.Arin mendorong pagar kayu dengan cat berwarna-warni setinggi pinggang orang dewasa. Sontak saja ketika melihat Arin da
Read more
Bab 18
Hari pertama mengajar les di rumah Laudia. Arin tersenyum samar ketika mentari pagi menyiram wajahnya yang gelap. Perlahan kakinya melangkah menuruni anak tangga. Terlihat satu dua penghuni kos sedang sibuk berolahraga. Akhir pekan adalah waktu yang sangat tepat untuk mengisi hari dengan segala aktivitas yang mungkin tertunda di hari-hari sibuk.Arin memutuskan membawa sepedanya, melewati jalur yang biasa ia lewati. Pemandangan hijau oleh sawah yang mulai berbuah menambah indah perjalanan Arin dengan mengayuh sepeda hijaunya. Rencananya sepeda itu akan ia titipkan di sekitar jalan besar. Di mana Arin dapat menemukan angkutan umum. Arin sudah mengantongi alamat Laudia, ibu Sovie.Arin mengenakan baju berwarna hijau tua dengan warna kerudung yang senada. Di pinggir jalan Arin sedang menunggu angkutan umum. Lima menit lalu dia sudah menitipkan sepedanya hingga tengah hari nanti. Tentu saja, Arin harus membayar beberapa rupiah karena telah menitipkan sepedanya di sebuah tempat baru. Siapa
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status