Semua Bab PENYESALAN: Bab 31 - Bab 40
93 Bab
31. Kembalilah Padaku
 Pertanyaan itu cukup membuatku terkejut. Bagaimana mungkin seorang Andhika masih mau denganku yang sudah jadi istri orang lain. Apalagi sekarang aku sedang hamil dan penampilanku tidak seperti dulu lagi."Aku yakin, kamu itu hamil anakku, Key," ucap Andhika lagi.Aku mendongak ke arahnya. Tatapannya padaku begitu serius. Kedua tangannya kembali membingkai wajahku. "Kenapa kamu memilihnya kalau kamu tidak bahagia? Kemana wajah ceria Keysha yang dulu? Kamu terlihat begitu sedih dan kesepian. Aku sangat yakin, kamu tidak bahagia sama suamimu yang kaya itu kan? Cepatlah katakan padaku! Akan kuberi pelajaran untuknya!" tukas Andhika lagi.Aku berlalu meninggalkannya dengan langkah cepat, setengah berlari."Key, tunggu Key, jangan lari. Takutnya kamu jatuh," teriaknya.Benar saja, karena aku kurang hati-hati, aku tersandung batu. Beruntung Andhika dengan sigap menopang tubuhku."Key, sudah kubilang hati-hati, takutnya ka
Baca selengkapnya
32. Berita Duka
  "Dari siapa semua ini?" tanyanya dengan nada tak suka. Aku terdiam. "Katakan dari siapa?!" bentak Mas Rizki. "Kenapa marah? Ini tadi dikasih temen," jawabku berusaha untuk tenang. "Temen, temen siapa? Laki-laki apa perempuan?" "Temen kuliah, mereka semua patungan lalu ngasih ke aku. Mereka sudah tahu keadaanku kalau aku sedang hamil," kilahku lagi mencoba berbohong. "Kamu gak bohong kan? Kamu cerita apa sama mereka semua? Jelek-jelekin aku?" "Ya enggaklah, mas kan suami aku, masa aku jelek-jelekin kamu," sahutku lagi. Aku membawa kotak perlengkapan bayi itu ke dalam kamar. Merapikannya satu persatu ke dalam lemari. Terbayang kembali sosok Andhika yang perhatian padaku. Tumben? Tiba-tiba dia muncul dan memberikan perhatian padaku. "Kenapa kamu senyam-senyum sendiri?" tanya Mas Rizki mengage
Baca selengkapnya
33. Kota ini penuh kenangan denganmu
Tentang Andhika sebelum dia meninggal, dan cerita tentang kenapa dia masih tetap mencintai Keysha. *** Hatiku patah, hancur berkeping-keping saat Keysha lebih memilih om-om kaya itu dari pada memilihku. Hidupku seakan tak ada artinya lagi.  Mungkin benar, aku sudah dibutakan cinta olehnya dari pada berpikiran dengan waras. Meskipun aku mendapatkan uang 200 juta, sejujurnya bukan itu yang aku inginkan. Seakan-akan cintaku bisa dibeli. Apalah artinya uang itu dari pada aku kehilangan orang yang kusayang. Aku memang pernah berbuat khilaf, kekhilafanku itu adalah kesalahan yang sangat fatal, menodai kesucian seorang gadis. Gadis yang harusnya kujaga sampai pernikahan nanti justru aku merusaknya karena rayuan setan sesaat. Aku menyesal, tapi sebisa mungkin aku ingin bertanggung jawab padanya.  Puluhan ribu detik, ribuan menit, bahkan berhari-hari aku memikirkannya, aku menyesal karena sudah menodai kehormatannya. Entahlah tiap aku dekat denga
Baca selengkapnya
34. Selepas Kau Pergi
  "Andhika, kau jahat sekali. Kenapa kau pergi begitu cepat. Kenapa?" ratapku. "Andhika, bahkan tadi siang kamu sudah berjanji akan membawaku pergi, akan membahagiakanku. Katanya kamu sangat sayang padaku, tapi kenapa? Kenapa kamu pergi ninggalin aku? Kenapa?" desisku dengan lirih. Nada suaraku rasanya sudah serak karena terlalu banyak menangis. "Andhika, bangunlah ... Andhika bangun ...! Aku janji akan langsung terima tawaranmu, aku akan menikah denganmu, Andhika bangun ...! Huhuhu ..." Aku menangis sambil memeluk batu nisan Andhika. Tubuhku gemetaran, dadaku bergemuruh hebat. Sakiiit sekali rasanya kehilangan. Lebih sakit lagi merindukan seseorang yang telah tiada. Aku benar-benar menyesal, telah mengkhianatimu, maafkan aku, Andhika. Entah sudah berapa lama aku berjibaku di samping pusara itu, hingga tak sadar gerimis mulai menitik. Rasanya penyesalanku sudah tak ada artinya la
Baca selengkapnya
35. Terjerat Investasi Bodong
  Pulang bekerja, pintu masih tergembok dengan rapat.  "Dimana Keysha? Sudah sore begini belum pulang juga? Kemana dia?" batinku mulai bertanya-tanya sendiri. Aku duduk di teras depan rumah, sambil memperhatikan motor second yang baru kubeli tadi siang saat jam istirahat kantor. Senyumku mengembang. Tak apalah, saat ini baru punya motor. Suatu saat juga pasti kebeli mobil lagi. Selang beberapa menit, kulihat seorang wanita berjalan gontai. Keysha? Ada apa dengannya? Dia kelihatan tak bersemangat. "Key, dari mana kamu? Jam segini baru pulang?" tegurku. Dia hanya menoleh sekilas lalu membuka kunci pintu, tanpa peduli ada motor yang kubeli. Wajahnya terlihat kusut, matanya sembab, bahkan bajunya kotor, banyak sisa tanah di bajunya. Dia habis ngapain? Jatuh kah? "Key, kamu kenapa? Jatuh?" Dia tetap bergeming, tanpa sepatah kata apapun yang keluar dari mulutnya.  "Kalau ditanya suami jawab dong! Jangan
Baca selengkapnya
36. Aku malu pada diriku sendiri
  Pulang dari kantor, aku bergegas menuju ke rumah ibu. Mata ibu tampak sembab dengan penampilan yang berantakan. Ibu langsung memelukku. Ibu terlihat sangat terguncang, penampilannya berantakan. Bahkan rumah pun terlihat kotor dan berdebu. "Kenapa sih, Bu? Kenapa ikut-ikutan investasi yang gak jelas itu?" tanyaku. Ibu justru menangis. Ibu pasti sangat shock kehilangan uang 250 juta dari hasil gadai rumah. Dan keberadaan rumah ini menjadi taruhannya. Terancam disita. Arggh, kenapa masalah semakin hari semakin rumit saja. Aku menghela nafas dalam-dalam. "Rizki, pokoknya kamu harus bantu ibu. Kamu harus bayarin setoran ke bank'nya, Ki," sergah ibu, dengan kekhawatiran yang begitu besar. "Berapa setorannya, Bu?" "Sembilan jutaan lebih, Ki. Ibu ambil jangka waktu 2,5 tahun, bunganya 12%," tukas ibu dengan air mata menetes di pipinya. "Haduh Bu, setoran segitu banyak, Rizki dapat dari mana, Bu? Gaji pokok Rizki aja paling 10 ju
Baca selengkapnya
37. Dipecat
Kepalaku pusing sekali ketika diberitahu oleh staffku bahwa ada masalah pada proses kerjasama yang tempo hari aku tandatangani. Garis besarnya, karena kecerobohan keputusanku itulah membuat perusahaan merugi secara finansial. Sedangkan Leo yang mengusulkan hal itu, sudah mengundurkan diri dari beberapa hari yang lalu. "Pak, dipanggil Pak Direktur ke ruangannya," ujar Alya, salah satu staff kantor ini. "Ya, ya, aku segera kesana!" sahutku.  'Mampus aku!' gumamku dalam hati.  Dengan degupan jantung yang berpacu kencang, aku menghampiri ruangan Pak Direktur, disana sudah ada beberapa pegawai yang lainnya. "Kalian boleh pergi," tukas Pak Direktur kepada mereka. Mereka mengangguk dan meninggalkan ruangan Pak Direktur. "Pak Rizki, bapak pasti sudah tahu bukan, kenapa dipanggil kesini?" ujar Pak Direktur dengan nada penuh penekanan. "Baca laporan ini!" seru Pak Direktur sembari memberikan map itu padaku. Raut wajahnya sangat
Baca selengkapnya
38. Saat ibu sakit
  Setelah sampai di rumah sakit, ibu langsung ditangani oleh tenaga medis. Aku dan Keysha menunggu di luar. "Key, apa kamu punya simpanan uang?" tanyaku padanya. Padahal aku tahu itu tidak mungkin. Karena Keysha sendiri aku jatah dua juta saja perbulan.  Dia hanya menggeleng, sudah kuduga. "Mas, aku mau pulang dulu," pamitnya kemudian. "Apa, pulang? Tidak-tidak, kamu harus disini, jaga ibuku. Aku harus cari pinjaman untuk biaya perawatan ibu," tukasku. Dia menunduk. Lalu duduk lagi di ruang tunggu. Kalau dia tidak sedang hamil, sudah kuomeli habis-habisan. Gimana sih, seperti tidak punya hati, ibu mertuanya sedang sakit malah mau pulang. Ibuku seperti ini juga kan karena gara-gara dia. "Keluarga Ibu Prayoga?" panggil salah seorang perawat diambang pintu. "Iya sus, saya anaknya," jawabku kemudian masuk, begitu pula dengan Keysha. "Bagaimana dengan kondisi ibu saya, dokter?" tanyaku pada dokter yang menangani ib
Baca selengkapnya
39. Gundah
  Minggu pagi, masih seperti biasanya, aku berkutat dalam pekerjaan dapur. Aku belum bisa bersantai ria seperti pekerja kantoran yang tiap minggu ada hari liburnya. Sedangkan aku, .asih harus berjuang gigih untuk memajukan usaha kulinerku. Sedikit demi sedikit, usaha ini sudah dikenal orang, karyawanku bertambah satu orang, jadi totalnya udah empat orang. Tiinn ... Tiinn ... Suara klakson mobil yang sengaja dibunyikan. Aku tersenyum melihat kedatangannya. Siapa lagi kalau bukan Mas Hasbi. Setiap minggu pasti dia akan datang untuk membantuku. Entah itu ikut membersihkan toko maupun menyiram tanaman. "Dek, bisakah kita bicara sebentar," ucapnya dengan nada serius. Dia menatapku lekat-lekat, seperti ada yang ingin diucapkannya tapi ragu-ragu. "Iya mas, ada apa? Katakan saja," jawabku sambil terus berusaha untuk tersenyum. "Aku ingin bicara berdua denganmu, bisakah
Baca selengkapnya
40. Permintaan Mbak Nisa
"Maksudmu, apa kau bersedia menikah denganku dalam waktu dekat ini?"Aku hanya mengangguk sambil tersenyum."Benarkah? Coba tolong katakan, aku ingin dengar suaramu," sergahnya lagi."Iya mas, tolong pertemukan aku dengan Mbak Nisa.""Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah," sahutnya. Tak pernah kusangka ekspresinya bisa sebahagia itu. Mendadak dia berlutut dan menengadahkan tangannya keatas seperti orang yang sedang berdoa."Terima kasih, Ya Allah, terima kasih," serunya dengan suara yang cukup keras. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang terkesan lucu."Udah mas, ayo. Mau sampai kapan seperti itu?" tegurku.Dia tersenyum kemudian bangkit berdiri. "Kita langsung ke rumahku ya ketemu mbak Nisa," ucapnya.Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya dari belakang."Hati-hati dek," katanya ketika melewati jalan setapak.Kami berjalan bersama hingga sampai di parkiran minimarket, dimana mobi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status