All Chapters of The Ex Brother: Chapter 11 - Chapter 20
58 Chapters
Sebelas
Terburu-buru turun dari mobil, aku melihat ada banyak tamu yang datang ke rumah kami. Sebenarnya, aku tidak heran, mereka pasti mendapat undangan makan siang dari Ibu.Begitu mencintai masak memasak, Ibu nyaris mengajak semua pelayan untuk memasak dalam porsi besar setiap kali dia ingin, lalu mengundang tamu atau teman-temannya untuk menikmati hasil eksperimennya di dapur.Lagipula, aku ingin segera terbebas dari Rhys sebentar saja. Aku terlalu dekat dengannya dan itu sangat membuatku tidak nyaman. Dia terus berada di kamar pintu merah tua bersamaku, meski aku sudah terbangun dengan perdarahan di hidung yang sudah berhenti.“ZeeZee? Apa kabarmu, sayang?”Inilah alasan yang membuatku terburu-buru ingin masuk ke kamar selain karena Rhys. Aku berbalik, Bibi Meida sudah merentangkan kedua tangannya untuk memelukku.“Baik, Bi. Aku baik-baik saja.” Walau ucapanku bernada biasa, Bibi Meida tetap melanjutkan kegiatan beramah tamahnya padaku.“Oh, ZeeZee D
Read more
Dua Belas
Hugo meninggalkan nomor kontak si Aktor tampan—Giotto Armstrong—yang memiliki wajah licik dan senyum menawan.Meski dia Aktor terkenal, aku tidak begitu tahu apalagi peduli tentang siapa dia. Tapi kuakui si Aktor ini cukup tampan, meski tidak mampu menandingi ketampanan Hugo.Masih tiga jam sebelum Rhys tiba. Aku akan mencoba cara konyolku mengganggu Giotto, tanpa prasangka apapun. Coba saja dan tidak perlu mempedulikan hasilnya.Hugo memberitahuku bahwa tidak akan menjadi masalah ketika Giotto berhasil melacak keberadaanku, atau berhasil mencari tahu siapa aku, karena tidak akan ada satupun orang di Yellowrin yang mau berurusan dengan keluarga Oxley.Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mencobanya. Memberi umpan basi yang menurutku, mungkin, masih berfungsi dengan baik.“Kau di mana?” Pertanyaan langsung yang kuberikan ketika panggilanku segera dijawab, meski dia belum mengatakan ‘halo’ karena menurutku, serangan cepat itu, penting.“Maaf, dengan
Read more
Tiga Belas
Entah karena kepalaku yang terasa berat dan pusing, atau akibat dari rasa mengantuk yang masih ada, tapi kurasa, lebih tepatnya di karenakan sentuhan Rhys yang menyenangkan, membuat kepalaku terkulai kebelakang tanpa kusadari dengan cepat.Sandaran berupa dada Rhys sepersekian detik kemudian, membuat kedua mataku lebih dulu terbuka, daripada kepalaku yang bergerak maju.Sedikit mendongak, aku bisa melihat jakunnya yang naik turun teratur, sepanjang rahang hingga dagu yang baru selesai dicukur dan ah, ya ampun, hentikanlah!“Menyenangkan tidur dan bersandar di sana?” Dia bertanya, tepat setelah aku melepas diri dari dadanya.“Aku tidak sengaja,” gumamku pelan, menoleh sekilas pada Rhys yang masih bersedia duduk di belakangku. Sepertinya rasa takutku pada Rhys semakin menipis dari hari kemarin ke hari ini. Hening setelahnya dan aku berusaha membuka lebar-lebar kedua mataku dan hampir melotot, agar tidak terjebak kantuk yang luar biasa.“Apa ka
Read more
Empat Belas
Suasana suram setelah percakapanku senja kemarin bersama Rhys di kamar, menyisakan keenggananku untuk bertemu dengannya lagi dalam waktu dekat.Memilih flowy dress hitam hampir semata kaki, aku menambahkan belt warna gold di pinggang sebagai pemanis. Lalu untuk kedua kaki, aku merasa nyaman dengan ankle boots pagi ini.Berjalan tanpa terburu-buru, aku keluar kamar, menyusuri lorong menuju ruang makan sebelum yang lain duduk mengitari meja makan.Lebih menyenangkan ketika mata mereka tidak mengawasiku yang baru tiba karena terlambat. Apalagi sudah beberapa hari aku melewatkan sarapan pagi di kamar dan pergi bersama Rhys.Masih ada lima belas menit lagi sebelum jam sarapan akan dimulai. Jadi aku merasa tidak perlu terburu-buru.Hampir tiba di ruang makan, aku berhenti berjalan ketika dua telapak tangan yang dingin, menutup kedua mataku.“Leon?” Aku menebak mungkin saja dia berniat untuk bercanda denganku pagi ini.“Kau
Read more
Lima Belas
Tapi tetap saja, kursi Rhys yang paling sering kosong. Kutebak, dia lebih senang sarapan di rumahnya sendiri, tanpa Lucas dan gadis norak itu.Ayah duduk di kursi paling ujung meja, kursi kebanggaan Ayah di depan Anak-Anaknya. Di sebelah kanannya ada Ibu yang selalu berada di kursi itu dari waktu ke waktu. Sementara di sebelah kirinya, Hugo belum tampak, mungkin dia terlambat.Mereka bertiga tidak pernah merubah posisi kursi mereka, sejak dulu. Ah, tentu, satu orang lagi juga begitu. Rhys. Dia berada tepat di ujung meja seberang Ayah. Jadi mereka langsung bertatapan lurus satu sama lain.Pagi ini, aku memilih untuk duduk dihadapan Ludwig, dan Leon di sisi kiriku. Aku sibuk dengan serbet, ketika suara Ayah memecah hening dengan wajah yang cerah.“Oh, akhirnya kau datang juga, Giotto Armstrong.”Penyebutan nama itu seketika menghentikan semua kegiatanku. Saat menoleh ke arah si tamu muncul, aku merasa seperti ada yang mengkhianatiku ketika melihat si korb
Read more
Enam Belas
Apa katanya? Saling tertarik? Apa dia sadar bahwa sekarang dia sedang membual? Sepertinya aku harus menghentikan omong kosong bodoh Giotto, sebelum aku juga akan terseret masalah.Ketika mulutku sudah sedikit terbuka, aku mendengar Hugo mengeluarkan suaranya yang sejak tadi—mungkin—sengaja dia simpan.“Kau tidak menyadari apa kesulitanmu?” Hugo tersenyum saat bertanya. Itu sikap yang sempurna menurutku.Tatapan Giotto beralih pada Hugo, dia tersenyum kaku dan canggung. Bahasa tubuhnya menunjukkan betapa gelisah serta tidak nyaman dirinya saat ini.“Aku tahu. Jelas aku tahu kesulitan apa yang akan aku hadapi ...” Dia berhenti sejenak, seolah menarik ketegangan dalam dirinya, “keenam Kakak laki-laki Nona ZeeZee.” Kedua mata Giotto menyapu seluruh kursi berpenghuni, kecuali satu kursi di sebelahnya. Tempat duduk Rhys.“Tapi Kakak tertuanya tidak ada di sini. Bagaimana kau akan menghadapinya?”
Read more
Tujuh Belas
“Mansion. Berikan mansion The Mayor peninggalan Kakekmu itu padaku.” Hugo bicara tanpa ekspresi pada Giotto. Hugo serius dengan persyaratan yang diajukannya. Aku yakin akan hal itu.Jelas, aku tahu, inilah alasan terbesar Hugo ingin aku membantunya. Pekerjaan kasar yang terkesan halus dan ringan itu, diberikan padaku. Sisanya, tentu saja, dia mendapatkan apa yang diinginkannya dari peran serta tugasku sebagai penentu.Aku tidak mengacau kali ini, itu hebat! Tapi risiko di depan mata sangat mengerikan. Ketika aku sadar, pandangan Rhys tidak pernah lagi sama padaku. Bahkan dia, tidak menatapku lagi sejak pertanyaan terakhirnya padaku tadi.“A-apa?” Giotto tergagap. Tentu saja, The Mayor menjadi mansion pertama termegah dan mewah di Yellowrin, melebihi rumah ini.Sejak awal, aku tahu The Mayor milik keluarga Armstrong generasi pertama, Philip Armstrong. Tapi tidak pernah tahu bahwa mansion itu diwariskan pada Cucu bodohnya, Giotto.Bahkan aku merasa kasiha
Read more
Delapan Belas
Apa? Apa yang mereka bicarakan? Dasar, pagi-pagi sudah menggunjing tidak jelas. Berharap saja agar Ibu tidak menemukan dan melempar kalian keluar dari rumah ini.Kupikir, aku lebih baik pergi, daripada harus mendengar pembahasan mereka yang tidak penting.“Pelankan suaramu.”“Tapi Nyonya dan Anak-Anaknya sudah tidak ada lagi di sekitaran sini. Aku bisa pastikan itu.”“Lalu, apa Poeny tahu tentang ini?”Aku berubah pikiran. Ya, aku mulai tertarik ketika nama Poeny disebut. Jadi mungkin, sebaiknya aku berdiri di sini sedikit lebih lama.“Tidak, dia tidak tahu. Orie melarang Ibuku untuk menceritakannya pada Poeny. Jadi sebaiknya, kau juga tutup mulut dan jaga rahasia ini sampai kau mati!”“Lalu kau sendiri tahu dari mana tentang ini? Ibumu membaginya denganmu?”“Tidak, tidak. Mana mungkin begitu. Aku menguping! Kau tahu, aku senang melakukan itu setiap kali Ibuku bertemu dengan Orie. Karena aku ingat, biasanya, mereka sering berbi
Read more
Sembilan Belas
“Katakan, di mana kau merasakan sakitnya?” Rhys mendekat, terlalu dekat menurutku. Perhatian yang cukup berlebihan, karena selama dua puluh tujuh tahun hidupku, dia tidak pernah seperti ini padaku.Wajahnya sudah berjarak satu hembusan napas di depanku. Aku takut ini akan membuatku gila dengan cepat. Tolong menjauhlah, kumohon!“Tidak, aku hanya ... sedikit pusing,” kataku. Sekarang aku berusaha menghindari tatapan matanya yang tajam, tapi mulai berpikir. Pikiran yang mengganggu tentang apakah dia tahu aku bukan Adik kandungnya? Atau apa dia sadar bahwa sikapnya sejak beberapa hari lalu mulai terasa aneh bukan hanya bagiku?“Dokter akan datang dalam beberapa menit lagi.” Dia duduk di tepi ranjang. Tidak lagi memandangiku, tapi melihat ke sekeliling kamarku, seakan menyelidiki sesuatu.“Aku tidak memiliki ingatan kecilku bersamamu,” gumamku pelan. Aku tahu dia akan sangat bereaksi pada sesuatu yang terkesan ‘mengganggu’ baginya.Benar, Rhys langsung mena
Read more
Dua Puluh
Rhys menolak membahas itu dan benar-benar meninggalkanku seorang diri di kamar. Yah, tidak buruk juga. Aku senang dia pergi. Memang ini yang kubutuhkan.Tadi, tanpa berkata apapun, dia beranjak dari sampingku. Berlalu begitu saja dan aku juga tidak berniat menahannya. Tidak lama setelah itu, mungkin lebih dari sepuluh menit, saat aku ingin benar-benar memejamkan kedua mataku, dia kembali dengan membawa masuk Poeny yang mendorong troli makanan.Lagi-lagi aku mengeluh walau hanya dalam hati. Rhys benar-benar membuatku merasa terikat. Rasanya, aku sulit bernapas karena semua hal yang berkaitan dengannya.Poeny menatapku sekilas, lalu menunduk karena aku memberi tatapan menusuk padanya. Poeny tahu, bukan hanya dia yang tidak kuijinkan masuk ke kamarku, tapi juga seluruh pelayan yang ada di rumah ini.Tapi karena perintah Rhys, dia harus masuk ke kamar ini. Kutahan amarahku ketika sebelum pergi, Poeny masih sempat melirik ke arahku dan tersenyum. Aih, men
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status