All Chapters of Lady Bug: Chapter 31 - Chapter 40
45 Chapters
31. Debat Demi Buku
Setelah Vivi pulih, Anjas mengajak bertemu langsung dengan pihak penerbit super mayor EmangZituOkey yang bakal menjadi penerbit buku milik Bunga. Tempat pertemuan mereka berada di salah satu ruang penerbit Rayon, penerbit mayor Rayon, yang bakal menerbitkan buku Vivi. Vivi duduk berbagi sofa panjang dengan Sasa, Mimi dan April. Sementara Rafa duduk di sofa tunggal karena badannya terllau besar untuk nyempil. Mereka menonton debat Anjas dengan orang publisher EmangZituOkey. Anjas dan pria gendut itu duduk di kursi lipat bersebelahan, menghadap tiga orang wakil penerbit Rayon. Suara tinggi Anjas menggema seantero ruang, bahkan Vivi yakin orang-orang di luar bisa mendengar suaranya.  "Ini enggak mungkin. Aku sendiri yang membimbing Vivi menulis novel. Dan kalimat itu aku yang koreksi, aku yang bantu memilih kalimat. Jadi dia jelas bukan seorang plagiat. Yang ada malah Bunga yang plagiat novel Vivi, karena semua kata-kata itu milik kami, mengerti?" P
Read more
32. Genderang Perang
Sebelum menyerang ke sarang serigala, harus punya senjata. Begitu kata Mimi. Idenya membuat viral video klarifikasi masalah Efendi. Menurutnya Anis dan Bunga pasti bakal memakai masa lalu Vivi sebagai amunisi kelak ketika berdebat. Dengan membuat klarifikasi  langsung bersama Efendi, Anis kelak tak bisa memakai masalah ini sebagai amunisi.Vivi berdiri di depan auditorium kampus bersama Sasa. Beberapa Mahasiswa dan Mahasiswi sibuk menata kursi lipat juga meja. Beberapa dosen mengobrol di sudut ruang sambil sesekali memandang Vivi. "Udah, kamu tenang aja, semua sudah diatur," ujar Mimi. Kaosnya basah keringat, begitu juga wajah. Semerbak aroma tak sedap memaksa Vivi dan Sasa menutup hidung. Melihat ini Mimi mencium ketiaknya sendiri dan hidungnya mengkerut. "Ntar sore acaranya mulai, aku mandi dulu, ntar ke sini lagi sama Efendi.""A-apa?" Sasa bingung. "Efendi ... Efendi yang korban Vivi? Kok bisa?""Bisa lah, Mimi gitu loh. Dah dulu, aku mau m
Read more
33. Kalah dan Menang
Beberapa hari berlalu. Vivi menumpang mobil Rafa bersama April, Mimi dan Sasa. Selama perjalanan mereka menonton berita di TV kecil yang berdiri di dashboard. Seorang gadis wartawan melakukan liputan langsung. 'Miracle never die menggoyang Medan. Ribuan penonton memenuhi Stadion Teladan. Penampilan terbaik malam ini membuat para penonton puas dan ...' Tiba-tiba kamera menyorot muka Alvin, pemuda itu bertepuk tangan dua kali, kebiasaan ketika bakal bicara sesuatu yang penting, seperti pengumuman dan sebagainya.  'Untuk gadis yang kusayang. Aku masih menanti jawabmu.' Sontak semua penonton bersorak histeris. Terlebih Alvin pakai mengedip satu mata. Wartawan mengambil alih perhatian kamera. 'Demikian berita dari saya. Kita kembali ke saudara Hermansyah untuk berita-berita selanjutnya.' "Busyet dah, Vi, Vivi, Alvin tanya apaan?" ujar Mimi sambil mendorong lengan Vivi yang duduk di bangku tengah, tepat di sebelahnya. Vivi terdo
Read more
34. Winner
Seisi ruang gaduh. Para wartawan membombardir pihak penerbit EmangZituOkay dan Bunga dengan beratus pertanyaan. Suara gaduh mereka tak mempengaruhi Anis yang dengan cueknya duduk tertunduk, tak peduli pada sekitar, memilih merenung, hanyut dalam pikiran sendiri.  Semua ucapan tentang Anjas kembali menyerang. Dia tak bermaksud berkata seperti tadi. Hanya saja banyak orang penerbit EmangZituOkay, membuat ucapan tentang anjas terlontar begitu saja. Ia takut jika menentang penerbit, maka untuk buku selanjutnya bakal susah untuk terbit di sana.  Bibir bergetar. Ia meremas celana bagian dengkul. "Kau yang salah Njas. Kenapa memulai ...," gumamnya dengan lirih.   Tiba-tiba telapak tangan Ismed mendarat di kepalan tangannya. Begitu hangat dan lembut menggenggam kepalan. "Semua sudah berakhir," bisiknya. "Yang sudah berlalu, biarkan menjadi kenangan, Nis. Sekarang lihat ke depan. Bangun masa depan. Jadikan semua ini sebagai pembelajaran." A
Read more
35. Move On
Anis berdiri bersandar daun pintu. Kemeja kebesaran kusut menjadi satu-satunya pakaian yang ia kenakan. Kaki seksi itu terpampang jelas, rambut kusut, dan sekarang ia menguap lebar. "Kalau enggak ada yang mau dibicarakan, mending pergi.""Heh, Jalang, ngapain kau di sini?" sentak Mimi hendak melabrak, tapi Vivi menahannya. "Ini kan apartremen pacarku, ya bebas dong. Oh iya, maaf ya, kemarin aku terlalu kasar sama kalian. Oh iya, mau masuk? Tapi maaf, apartemennya berantakan, tadi malam kami habis ... kamu tahu kan, Anjas stalion yang hebat di ranjang, jadi lemes banget nih."Telinga vivi terbakar amarah. Hatinya terendam kesedihan, kekecewaan. Ia mencoba tersenyum ketika mata berkaca-kaca. "Sampaikan salam buat Kak Anjas. Permisi." Dia angkat kaki dengan tergesa dari sana."vi? Vivi!" Mimi menuding muka Anis. "Ada ya, manusia sepertimu?""Yang cantik? Yang cerdas?" Anis tertawa kecil. "Mending kejar sahabatmu, siapa tau dia mau b
Read more
36. Biadab
Suara gemercik air jatuh menggema dalam ruang. Hangat air shower mengguyur badan. Uap menutup bagian tubuh indah kekar. Perlahan aliran air di bawah kaki membawa pergi sisa busa sabun. Anjas merenung mengingat kejadian tadi malam sebelum pergi dengan Anis. Perlahan menutup mata dan semua muncul secara nyata ...Anjas menendang tong sampah di lahan parkir. Benda itu menggelinding. Beberapa sampah makanan ringan, kaleng kosong, berhamburan di jalan berpaving. Ia berusaha mengatur napas yang tak beraturan."Aku enggak percaya dia bicara seperti itu di depan umum." Ia berbalik menghadap Rafa. Pemuda gendut itu duduk merenung di pinggir trotoar, tertunduk lemas. "Kamu tahu kan, aku berjuang untuk Anis dulu. Kejora satu, kejora dua, semua aku yang mengedit dan seenak udel dia bilang--""Paham, aku tahu, aku melihatnya juga," ujar Rafa. "Sekarang bagaimana? Pernikahanku dengan April bisa gagal kalau buku cerita Vivi gagal terbit.""Kamu kira aku enggak kena masa
Read more
37. Angin Kebenaran
Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia.. Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar. Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa
Read more
38. Tiga Hari Terakhir
Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu. Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan
Read more
39. Kenangan Indah
Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah. April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita
Read more
40. Usai
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa.  "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status