Vina mengendarai gerobak bakso ayahnya sedikit lebih kencang. Ia takut terlambat ke warung Kanaya. Janjinya pada Kanaya adalah pukul empat sore. Dan saat ini waktu telah menunjukkan pukul empat sore lewat lima belas menit. Perkiraan waktunya salah. Ternyata mengendarai motor dengan gerobak di sampingnya sangat jauh berbeda dengan mengendarai motor biasa. Selain itu, ia harus mengantarkan pesanan bakso ke beberapa pelanggan ayahnya terlebih dahulu. Belum lagi terkadang di jalan ia berhenti apabila ada pembeli yang memanggilnya. Lumayan juga, ia jadi bisa menghabiskan sisa-sisa bakso di gerobaknya.
Ia mengendarai gerobak bakso ayahnya ini karena ingin menjual sisa bakso di gerobak dan di rumah. Karena baksonya tinggal sedikit, ia memutuskan untuk menjualnya secara berkeliling saja. Digabung dengan sisa bakso ayahnya. Sambil jalan ke warung Kanaya, menyambi berjualan juga. Jadi ayahnya bisa langsung beristirahat. Tidak perlu menjual baksonya yang di rumah lag
Vina mengigit lidahnya sendiri sebelum mengucapkan salam. Saat ini ia berada di depan pintu rumahnya. Memikirkan alasan apa yang akan ia berikan, apabila kedua orang tuanya menanyakan keadaannya. Penampilannya saat ini tidak begitu baik. Kaosnya robek karena tarikan Alana, dan wajahnya juga luka-luka oleh cakaran kuku. Dan yang paling kentara adalah tangannya yang luka-luka dan melepuh. Kepulangannya dalam keadaan seperti ini pasti akan mengundang keheranan kedua orang tuanya.Masalah kaos, ia telah mengakalinya. Saat ini ia telah mengenakan jaket parasut milik Narti. Salah seorang staff Jihan yang membantu-bantu di warung. Narti dengan bijak meminjaminya jaket, saat melihat kaosnya robek cukup besar.Mengenai punggung tangannya yang melepuh, ia bisa mengarang bebas dan mengatakan kalau ia tidak sengaja menumpahkan kuah bakso. Alasannya masih masuk akal. Orang yang berjualan bakso tentu saja sesekali bisa ketumpahan kuah bakso. Yang ia bin
Setengah berlari Vina memasuki kafe. Ia sudah terlambat setengah jam dari waktu yang ia janjikan pada Alana. Hari ini warungnya sangat ramai. Dan ia tidak mungkin meninggalkan rezekinya begitu saja. Istimewa ia sangat membutuhkan uang sekarang-sekarang ini.Vina melayangkan pandangan ke seantero kafe. Mencari-cari sosok Alana di antara para pengunjung kafe yang ramai. Vina menarik napas lega saat melihat sosok ringih Alana duduk di sudut kafe. Sedikit terhalang oleh meja yang berisi serombongan anak-anak muda yang sepertinya baru pulang kerja."Maaf saya terlambat. Sudah lama menunggu, Bu Lana?" Vina menyapa Alana sopan. Ia belum menarik kursi. Ia hanya berdiri di sisi meja. Menunggu Alana menyadari kehadirannya dan mempersilahkannya duduk.Alana tidak menjawab pertanyaannya. Ia hanya duduk bengong dengan pandangan lurus ke depan. Tatapannya kosong. Jangankan menotice sapaannya. Alana bahkan sama sekali tidak
"Berdiri! Kamu ikut dengan saya!"Vina yang masih dalam posisi bersimpuh di jalan raja, menatap horor pada Rajata. Ya Rajata mendatanginya setelah tubuh bersimbah darah Alana dimasukkan ke dalam mobil ambulan. Sejurus kemudian mobil ambulan melesat membelah jalan raya, dengan raungan sirene membahana."Saya tidak tahu apa-apa. Saya tidak bersalah! Saya... saya... tidak tahu kalau Bu Alana akan bunuh diri. Saya sudah berusaha mengejarnya. Tapi Bu Alana larinya sangat kencang. Saya tidak berhasil mencegahnya. Tapi saya sudah berusaha. Sungguh, saya sudah berusaha!" Vina merepet. Dalam keadaan kalut ia berusaha menjelaskan semuanya. Ia tidak mau Rajata salah paham lagi. Sudah terlalu banyak kesalahpahaman di antara mereka bertiga. Dan ia tidak mau menambahinya dengan kesalahpahaman baru lagi."Ya, saya bisa melihat seberapa keras usahamu. Saking kerasnya, kamu tega menonton tewasnya Alana secara live di depan matamu!" umpat R
Vina celingukan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu, sebelum berjalan keluar. Setelah merasa keadaan aman, ia segera berlari menuju taksi online yang menunggunya di halaman. Seperti inilah kehidupannya sekarang. Sudah dua minggu ini, ia selalu ketakutan setiap akan keluar rumah. Ancaman Rajata akan membuatnya menggantikan keponakannya yang belum sempat dilahirkan, membuatnya bergidik. Makanya ia sangat berhati-hati sekarang. Kalau tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak, ia tidak akan keluar rumah. Kewajiban belanja pagi harinya pun, telah ia alihkan pada ayahnya. Ia takut kalau Rajata akan menghadangnya tiba-tiba. Sudah dua minggu ini, ia di rumah saja.Hanya saja sore ini, ia terpaksa keluar. Mbak Jihan, pemilik warung Goyang Lidah, ingin berbicara empat mata dengannya. Vina menduga ini ada kaitannya dengan tidak berjualannya lagi Mbak Kanaya. Setelah melahirkan Juang, Mbak Kanaya keteteran mengatur waktu. Lagi pula sekarang keadaan fi
Di kala senja semakin tua, Vina melangkahkan kaki di sepanjang pasir putih. Sesekali ia memungut kerang-kerang cantik yang tersapu ombak hingga ke bibir pantai. Ia mengumpulkan kerang-kerang cantik itu dalam satu plastik putih. Saat ini kerang-kerang cantik yang ia kumpulkan telah penuh dalam plastik. Rencananya ia akan menguntai kerang-kerang itu sesampainya di rumah. Demi membunuh rasa bosan, ia harus terus mencari kesibukan.Lelah berjalan, Vina menjatuhkan diri ke hamparan pasir yang lembut. Ia menikmati keindahan senja seraya memeluk lututnya sendiri. Menatap lara ombak yang datang dan pergi silih berganti.Sudah seminggu ini ia terdampar di Pulau Nusa. Pulau yang masih perawan dan sangat cantik. Dulu ia pernah selintas mendengar tentang pulau ini. Kalau tidak salah pulau ini menjadi rebutan para investor, yang ingin menjadikannya pulau wisata komersil. Namun usaha para investor itu selalu gagal, karena ditentang keras oleh seoran
"Kami minta maaf ya Pak Raja. Kami sama sekali tidak tahu kalau Mbak Vina keluar malam-malam begini."Pak Mustiarep berkali-kali meminta maaf pada majikannya. Di sampingnya istri dan anaknya juga melakukan hal yang sama. Sungguh mereka semua tidak menduga kalau Vina akan keluar rumah malam-malam sendirian."Saya--"Vina menghentikan kalimatnya saat melihat Rajata mengangkat tangannya. Padahal ia ingin mengatakan pada Rajata, kalau Pak Mustiarep sekeluarga tidak bersalah dalam hal ini. Dirinya sendiri yang ingin kabur. Vina takut kalau Rajata akan menghukum keluarga Pak Mustiarep, karena dianggap lalai dalam menjaganya. Vina kasihan melihat keluarga kecil yang tidak tahu apa-apa ini dihukum, padahal mereka tidak salah apa-apa."Tidak apa-apa, Pak Arep, Bu Sainah. Vina bilang tadi kalau ia tidak bisa tidur. Makanya ia mencari kantuk dengan berjalan-jalan ke pantai sendiriann. Iya 'kan, Vin?" Raja
Vina gentar. Ia merasa apa yang akan ia lakukan ini salah. Tidak seharusnya ia menuruti keinginan gila Rajata. Dendam tidak berdasar Rajata akan melukai semuanya kelak. Dirinya, Rajata sendiri, dan yang paling utama adalah anaknya kelak. Betapa bingungnya anaknya nanti saat menghadapi perang dingin kedua orang tuanya. Apalagi kala anaknya menyadari bahwa dirinya lahir hanya sebagai alat barter. Ya barter dengan sepupunya yang tidak sempat dilahirkan. Ini salah. Dan ini tidak bisa dibiarkan. Ia akan segera menghentikan segala kegilaan ini, batin Vina.Sembari berjalan benak Vina sibuk mengolah tindakan-tindakan yang nanti akan diambilnya. Ia berencana akan menolak pernikahan ini di depan sang penghulu. Mengenai kemarahan Rajata, nanti saja ia pikirkan. Tidak mungkin Rajata akan membunuhnya di depan penghulu dan orang banyak bukan?Akan halnya Rajata, melihat Vina berjalan seperti robot dengan pandangan lurus ke depan, mengasumsikan satu hal.
Vina menjauhkan diri dari Rajata. Ia kini berjalan ke arah meja rias. Berpura-pura menyisir rambutnya. Ia berusaha mencari kesibukan untuk menghindari keintiman dengan Rajata. Sementara Rajata tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk menatap Vina yang terus menyisiri rambutnya."Mau sampai kapan kamu menyisir rambut? Kamu tidak takut kalau rambutmu akan rontok semua karena keseringan disisir?" sindir Rajata sarkas. Vina terdiam. Ia meletakan sisir di meja rias. Selanjutnya ia duduk diam dengan tangan saling terjalin di pangkuan. Vina sama sekali tidak menjawab sindiran Rajata. Toh pertanyaannya itu memang tidak memerlukan jawaban bukan? Rajata hanya bermaksud mengolok-oloknya.Ketika Vina menatap cermin, tatapannya bertabrakan dengan mata hitam Rajata yang menatapnya tajam. Mereka saling bertatapan melalui media cermin. Perlahan Rajata menarik dagunya. Menengadahkan wajahnya serta menempelkan bibirnya pada bibir Vina yang dingin. Vina tidak men