Abimanyu : Jalan ya! Mandi aja! Aku jemput.
Pesan singkat dari Abi tak aku hiraukan, karena ia memang tak pernah serius dengan ucapannya. Paling mentok, itu cuman lagaknya doang sok-sokan ngajak jalan di weekend begini, karena setiap ia mengajakku jalan, hanya berakhir chat yang nggak kejadian di realita.
Jadi, saat ia sudah mengirimkan pesan begitu, aku masih duduk santai di ruang tamu. Tak kunjung mandi walaupun sudah pukul 9 pagi. Dan masih memakai celana pendek serta kaos oversize.
Abimanyu : Aku udah di depan rumah kamu. Keluar ya!
Setelah beberapa menit, pesan dari Abi kembali muncul di layar notifikasi usai aku mendengar suara motor matic berhenti di depan rumah yang aku kira abang-abang kurir.
Genna : Bohong Lo! Lo kan suka bohong.
Pesanku untuk Abi hanya di baca, tanpa ia balas. Jangankan membalas, ia saja tidak mengetik untuk membalas pesanku.
"Permisi!" Ketukan pintu beserta tubuh tinggi Abi yang berdiri di ambang pintu, menjadi suatu yang tak ingin aku akui kebenarannya. Tapi kenyataannya, itu memang nyata. Abi benar-benar ada di sini. "Hai, Gen!" sapanya kemudian sambil melambaikan tangan.
"Hah?" balasku lalu menganga, seolah-olah tak percaya jika Abi benar-benar ada di sini. Dan Abi, malah tertawa. Mungkin menertawakan keadaanku sekarang. "Hai, Bi. Masuk aja!"
"Tante ke mana, Gen? Ada di rumah kan?" tanyanya setelah duduk tepat di seberang.
Dengan cepat, aku mengambil bantal sofa untuk menutupi paha. Lalu, duduk bersila dan bersikap tenang menanggapi Abi. Jika aku tahu Abi benar-benar akan datang, mungkin aku akan mengganti celana pendekku dengan celana panjang. Alasannya, sedikit malu jika belum mandi dan memakai celana sependek ini.
"Pergi. Ngapain lo ke sini?"
"Ngajakin kamu jalan, ke ... Terserah kamu aja deh. Aku ngikut kamu ke mana aja," jelasnya dengan ucapan yang terjeda selama beberapa detik.
"Males ah. Gue belum mandi," jujurku.
"Tinggal mandi, Gen. Aku tungguin." Aku hanya memandangnya sekilas, lalu mengecek W******p, barang kali ada kabar dari seseorang yang sedari tadi aku tunggu kabarnya.
Andai saja, yang berucap tadi adalah Mas Irza, andai juga yang mengajakku kencan di weekend kali ini adalah mas Irza, maka aku tak perlu malas-malasan seperti ini. Setelah mendapatkan ajakan untuk kencan, pasti aku sudah mandi, wangi, dan memilih outfit yang pas dan sebisa mungkin serasi dengan Mas Irza.
Tapi, jangankan si Mas Irza ngajakin kencan, dari kemarin malam saja tidak ada kabar darinya. Dia tidak mengirimi pesan padaku atau bahkan main ke rumah. Padahal biasanya, saat malam Minggu kami sama-sama meluangkan waktu untuk pacar.
"Gen! Ayo! Aku udah rapi, masak kamu yang perawan masih kucel?" Perkataan Abu benar, itu mengapa aku tak berhak untuk marah. Maka, yang aku lakukan hanyalah tersenyum dan mengangguk.
"Kenapa tiba-tiba ngajakin jalan?" todongku setelah meletakkan ponsel di atas meja. Sepertinya, tangan yang selalu mengecek W******p tidak ada gunanya lagi. Karena tidak ada kabar kehidupan dari Mas Irza, jadi ngapain aku mesti buka W******p tiap menit? Alasannya juga, ada tamu yang mesti aku ajakin ngobrol.
"Salah ya, Gen? Aku cuman kepikiran kamu aja, terus pengen traktir kamu makan siang sekaligus jalan."
Alasan Abi mengajak makan siang sedikit tak aku terima. Ia sudah menghubungiku berkali-kali untuk sekedar makan malam bersama dan keluar, tapi selalu ia batalkan dengan beragam alasan, dan baru kali ia benar-benar menepati ajakannya. Jadi, mana mungkin tiba-tiba kepikiran ngajak jalan, jika sejak kemarin sudah melakukan hal yang sama?
"Gih mandi, aku bakalan traktir kami sepuasnya!"
"Udah jadi PNS nih, langsung traktir gue?" godaku, Abi hanya menyengir tak jelas.
"Mandi sana!" Abi mengusirku dari ruang tamuku sendiri.
"Gue udah bilang, Bi. Males keluar rumah," kataku masih bersikukuh.
Mendadak, Abi berdiri dari tempat duduknya lalu mengambil bantal uang ada di atas pahaku. "Ngapain lo?" tanyaku sedikit kebingungan.
Ia menolehkan kepalanya menuju dalam rumah, dan tangan satunya ia ulurkan di depanku. "Mandi gih! Jangan malas. Aku nggak mau ditolak kali ini." Pada akhirnya, Abi masih tetap memaksakan kehendaknya.
"Kok maksa?"
Abi memaksaku berdiri dengan cara memegang kedua bahuku, setelah aku berdiri ia merangkul pundakku sambil berjalan menuju dalam rumah. "Mandi, ganti baju. Kalau nggak mau mandi, ganti baju aja." Ia membuka pintu kamarku, lalu ikut masuk bersamaan denganku. Karena sudah di dalam kamar, dan aku tak suka dengan posisi ini, aku meninju punggungnya kuat-kuat. "Sakit, Genna."
"Iya-iya! Gue mandi. Sana, sana! Ngapain masih di dalam." Abi masih seperti dulu, suka memaksa orang lain, terlebih padaku yang menurutnya itu untuk kebaikanku sendiri.
"Iya Genna! Aku keluar," ucapnya dan berjalan keluar kamar.
Setelah satu langkah berhasil Abi jangkau, aku meraih gagang pintu hendak mengunci kamar. "Bi! Gue lupa, belum tawarin lo minum. Bikin sendiri ya, atau kalau mau yang instan, buka aja kulkas!"
"Oke! Thanks, Gen!"
***
"Gue pengen sarapan, Bi. Tapi kalau sarapan, kasihan lo harus jadi saksi gue makan tanpa ikut makan."
Aku tahu, Abi itu orang yang disiplin sedari dini. Perihal sarapan, itu adalah hal wajib dalam kehidupannya sehari-hari. Ibaratnya seperti ibadah wajib kepada Tuhan. Maka dari itu, pukul sepuluh siang pasti ia tak akan sarapan karena sudah sarapan atau bahkan makan siang sebelum waktunya.
Sangking disiplinnya, ia menerapkan kedisiplinan itu kepada orang lain. Aku pernah tidak sarapan ketika masih SMP dahulu, makan malam juga terlewatkan, menyebabkan diriku lemas dan pingsan ketika upacara. Entah bagaimana ceritanya, saat aku sudah sadar dan selesai minum teh, Abi langsung memarahiku tanpa jeda, membuatku sebal sendiri akan sikapnya yang sok-sok begitu.
Aku tahu, kalau dia membagikan pengetahuan tentang hidup sehat kepada orang lain, tapi kalau share ilmu pakai nada ngomel, marah-marah, seolah-olah itu adalah dosa besar, siapapun itu pasti akan merasa tidak nyaman.
"Kan, udah tua masih dibiasain nggak sarapan. Ngapain nggak sarapan sih, Gen?" Aku menatap wajahnya dari spion lalu memutar bola mata malas. "Sekarang, kamu mau sarapan di resto, warteg, atau rumah makan?"
"Depan nanti ada SPBU, terus ke barat dikit ada pertigaan, nanti masuk gang, ada lontong pecel, belok deh. Anterin ya, Bi." Aku menjelaskan mengenai tempat makan yang paling cocok untuk pagi ini, maksudnya siang ini.
Tempatnya murah, rasanya enak, nggak nguras kantong, penjualnya ramah lagi. Ya walaupun sudah nggak muda lagi penjualnya, tapi nggak tua-tua amat. Masalah lokasi, nggak terlalu jauh dan nggak terlalu dekat dari rumah.
"Nggak mau ah, Gen."
Aku melototkan mata sedikit, dan bibirku sedikit menganga. Tanpa sadar, tangan membentuk kepalan dan meninju punggungnya. Sudah tak paham lagi dengan pola pikir Abimanyu. Saat tadi, ia mengomeli diriku karena meninggalkan sarapan, padahal aku tidak sarapan juga karena ia memaksaku pergi. Dan sekarang, dengan mudahnya nggak mau nganter ke tempat makan.
Andai saja Mas Irza yang tahu bahwa aku nggak sarapan, pasti dia suka rela untuk mengantar makanan jika aku minta, tanpa ada upaya untuk menolak terlebih dahulu. Tapi, yang namanya Abi dan Mas Irza jelas berbeda, jadi aku mana boleh membandingkan.
"Iya, iya. Aku antar," katanya pasrah. "Mampir di SPBU dulu ya."
Setelah isi bahan bakar motor milik Abi dengan antrian panjang, kami berdua sudah mendarat di tempat lontong sayur yang aku request tadi. Abi yang sudah sarapan, ternyata ikut memesan satu porsi lontong sayur, dengan alasan ingin menemani makan dan tak ingin ngiler karena lihat aku makan. Ya sudah, aku tak bisa melarang, yang penting ia bayar sendiri.
"Enak juga ya," celetuknya tiba-tiba setelah mencoba bumbu kacang yang rasanya khas banget.
"Bi, lo beneran nggak punya pacar?" Demi apa, aku membalas ucapan Abi dengan pertanyaan yang jelas-jelas jauh dari topik obrolan.
Bukan apa-apa, atau bahkan aku cemburu saat tahu bahwa Abi punya pacar lagi. Itu tidak. Tapi, aku nggak nyaman kalau makan dengan cowok yang sudah punya pacar saat weekend begini. Kalau jadi rekan kerja, atau tidak sengaja bertemu di tempat makan, aku masih nyaman. Tapi dalam hal ini, Abi jelas mengajakku pergi keluar rumah, dan kami bukan saudara. Takutnya, aku dilabrak oleh pacarnya.
"Kenapa nanya itu terus? Mau nyalon jadi pacar aku?" Aku meliriknya dengan tatapan malas, lalu memasukkan sayur bayam ke dalam mulut.
"Takut dikira rebut lo dari pacar lo lah!" jawabku sengak. Mencalonkan diri agar bisa menjadi pacar Abi adalah suatu hal yang mustahil bagiku. Aku bukan tipe orang-orang yang berani jujur masalah perasaan, dan memang aku nggak pernah ada rasa dengan Abi. Jadi ngapain bilang mau jadi pacarnya?
"Masak kamu nggak tahu kalau aku jomblo?"
"Gue nggak pernah ngurusin hidup lo, Bi. Lagian lo kan baru gentayangan akhir-akhir ini, langsung muncul setelah beberapa tahun nggak pernah ketemu. Waktu lo chatting gue, gue nggak percaya kalau itu lo. Gue pikir, lo udah sukses dan ngelupain gue gitu aja."
"Aku belum punya pacar," akunya membuatku sedikit tak percaya.
Abi itu tampan, tinggi, putih tapi nggak putih-putih amat, karena masih putihan aku. Penampilannya sudah lebih dewasa daripada saat dulu. Pokoknya glow up luar biasa dibandingkan saat SMP yang masih gemuk. Jadi, bohong kalau dirinya nggak dideketin sama cewek-cewek cantik. Pastinya, mudah baginya untuk macarin seorang cewek di real life, sambil ghostingin para cewek di W******p.
"Kemarin gue lihat lo jajanin cewek di mall. Ngikutin dia di toko baju."
"Susah ngomong sama kamu. Bawaannya nggak percayaan." Aku tertawa saja mendengar keluh kesahnya tentang diriku. "Yang ada, aku tanya. Kamu udah punya pacar, kenapa santai aja makan sama aku?"
"Bilang aja lo yang maksa," balasku simple. Tapi yang pasti, aku bakalan nggak sesimpel itu jika nanti kepergok Mas Irza ketika posisiku begini.
"Hai Genna!" Saat aku sedang menyuap makanan ke mulut sambil lihat ke bawah, tiba-tiba aku mendengar suara yang selama ini aku rindukan, yang beberapa jam lalu aku nanti kabarnya. "Lagi makan? Sama cowok nih! Gebetan baru, Gen?"
Ketika aku mendongak, benar saja dugaanku. Mas Irza duduk di sampingku dengan raut muka menahan amarah. Tentu, ini membuatku kaku, karena kepergok Mas Pacar sedang makan dengan seorang cowok, dan Mas Irza tidak tahu siapa Abi itu. Mungkin jika dia tahu, dia percaya bahwa aku nggak ngapa-ngapain sama Abi.
"Mas Irza? Hai? Sarapan, Mas, sama teman SMP." Aku mencoba menanggapi dengan santai, padahal dalam hati sudah deg-degan nggak karu-karuan takut Mas Irza marah, biar Mas Irza mengira bahwa aku nggak sedang selingkuh.
Urusan sama Mas Irza saat marah begini, susahnya minta ampun. Bisa berhari-hari, sampai bisa membuatku jengah untuk mempertahankan hubungan. Mas Irza memang orangnya terlihat santai, tapi kalau pasangannya nggak jujur dan aku berbuat salah seperti jalan sama cowok lain, dia seperti anak kecil yang nggak keturunan keinginannya.
"Sarapan ya? Nggak lagi cari penggantinya Mas? Enjoy aja makannya! Mas mau balik lagi," pamitnya dengan suara cuek, dingin, khas orang marah. Ketika Mas Irza benar-benar pergi setelah aku mencoba menahan tangannya, aku menghembuskan napas berat, menyesali makan dengan seorang cowok tanpa jujur terlebih dahulu.
Bersamaan saat Mas Irza sedang memakai helm, aku menatapnya memelas, mencoba memasang wajah sedih agar Mas Irza tidak marah. Namun, Mas Irza malah mengeluarkan motor dari barisan motor lainnya. Dan aku, hanya bisa melihatnya sampai motornya tak terlihat lagi. Aku juga nggak mungkin mengejar Mas Irza dan menyelesaikan masalah ini di parkiran seperti di FTV. Karena menurutku, sama saja aku memberikan tontonan gratis kepada para pengunjung lain.
"Sorry, Gen. Aku nggak ngerti kalau ini bakalan ngerusak hubungan kamu," kata Abi. Baru saja beberapa menit sebelum Abi ngobrol masalah pacarku, Tuhan langsung merealisasikan ucapan Abi.
Minggu sore, aku harus merelakan waktu me time dengan senja yang ala-ala begitu, karena harus datang ke rumah Mas Irza untuk meluruskan kesalahpahaman tentang kejadian tadi pagi di tempat lontong sayur. Sejujurnya aku malas untuk berdiri di sini, selain jarak waktu tempuh perjalanan yang jauh, sifat Mas Irza yang benar-benar cuek ketika marah juga menjadi alasan mendasar. Tapi, aku harus bagaimana lagi kecuali mengambil langkah seperti ini? Dijelaskan lewat telepon, pasti Mas Irza tak akan percaya. Jangankan percaya, dia mengangkat teleponku saja berlagak orang penting yang sok sibuk. "Permisi!" kataku lantang lalu disusul dengan ketukan pintu tiga kali. Tak ada respon dari dalam, aku kembali mengulang dan setelahnya disusul balasan dari dalam. "Kakak!" Usai membuka pintu, Kika langsung memelukku erat-erat hingga membuatku kaget karena mendapat serangan tiba-tiba. "Aku kangen banget tahu, sama Kakak. Tapi kenapa Kakak baru ke sini sekarang?" ujarnya membuat s
Usahaku datang ke rumah Mas Irza tidak membuahkan hasil, yang ada malah aku rugi sendiri karena sudah datang jauh-jauh ke rumahnya hanya untuk buang waktu dan energi. Alasan tidak membuahkan hasil, Mas Irza masih marah denganku, masih mendiamkanku, bahkan kita seperti orang asing. Sekarang, aku bisa apa kalau sudah begini?Bahkan, saat kemarin sore, Mas Irza membiarkanku ketiduran hingga pukul enam sore nyaris setengah tujuh, lebih tepatnya selesai adzan magrib. Ketika aku bangun, aku lihat Mas Irza tengah memainkan ponsel. Yang ingin membuatku marah, ia selesai beribadah tapi tak membangunkanku. Tapi ya, aku mau marah gimana?Akhirnya, selesai numpang beribadah di rumahnya, aku memilih pulang tanpa melanjutkan obrolan kembali, karena Mas Irza malah sibuk kembali dengan laptopnya.Dan hari ini? Sudah tiga hari kami tidak berkomunikasi. Mulai Minggu, Senin, lalu Selasa. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi belum ada respon sama sekali. Ya sudahlah, aku tak mau
Minggu pagi, sosok Mas Irza sudah mengetuk pintu kamarku tanpa konfirmasi via WhatsApp terlebih dahulu. Awalnya aku kaget, tapi akhirnya tersenyum karena orang yang dikangenin bisa muncul di depan mata."Kebiasaan, makan siang baru bangun," katanya sambil menyibak tirai, lalu membuka jendela kamar. Aku yang dibully begitu, hanya menyengir tanpa tahu malu, padahal penampilan sangatlah alakadarnya. Celana training, kaos oblong, rambut masih urak-urakan, dan wajah nggak ada cantik-cantiknya sama sekali."Enggak tiap hari," balasku santai, seraya merapikan rambut.Lagipula, perkataan Mas Irza itu hoax belaka. ketika weekend, aku nggak selalu tidur sampai siang, jikapun tidur sampai siang nggak akan molor sampai waktu makan siang. Paling mentok hanya sampai pukul delapan. Kalau sedang rajin ya, pukul lima sudah bangun seperti hari biasanya."Tapi tiap weekend," bantahnya tak mau kalah denganku. Mas Irza geleng-geleng kepala sambil melihatku yang tak kunjung be
Ternyata, doa yang selama ini aku panjatkan tiap kali melakukan kewajiban kepada Tuhan, tidak terkabulkan oleh-Nya. Tapi, aku tak boleh terlalu sedih, karena aku harus mengingat perkataan orang yang pernah bilang padaku, "Kamu boleh berdoa, kamu boleh berusaha, tapi ada Tuhan yang menentukan takdir kamu, dan takdir untuk kamu pasti baik, walaupun di mata kamu nggak baik."Jadi, mungkin ini memang takdir Tuhan untukku yang tersimpan seribu kebaikan, walaupun aku sedih melihat dan menjalani takdir ini. Dan kesedihan yang aku alami adalah, Papa memberiku undangan pernikahannya Minggu depan, ia datang bersama calon istrinya. Secara tidak langsung, Papa juga mengenalkan ibu baru untukku. Ya sekalipun, aku masih ikut sama Mama sampai kapan pun."Papa minta, kamu datang di hari bahagianya Papa ya, Gen. Nggak mungkin kan, Papa bahagia tapi kamu nggak datang? Biar Papa dan kamu bahagia bersama juga."Aku tersenyum kecil, tapi dalam hati misuh-misuh. Papa bila
Aku menarik napas pelan dan dalam-dalam, lalu menghembuskannya samar-samar, berharap air mata yang luruh tak semakin banyak. Tiba-tiba, Abi menyodorkan sebuah mug padaku. "Biar kamu agak tenang," kata Abi.Aku menggelengkan kepala, Abi hanya mengangguk dan menaruhnya di atas meja. Mendadak, Abi duduk tepat di depanku, menatapku lekat-lekat dengan pandangan matanya yang teduh. "Maaf, gue malah nangis gini," ucapku pelan dan terdengar serak.Abimanyu mengangguk pelan, seolah-olah ia memberiku ruang banyak untuk tetap menangis di sini. "Kok lo biasa aja sih, lihat gue nangis gini." Aku mencoba terkekeh menertawakan diriku sendiri yang tak tahu malu begini. Karena gemash bercampur kesal, aku mengambil tangan Abi, mengangkatnya dan menarik kemejanya yang di gulung sampai siku. "Nggak ada tissue," ujarku seraya mengelap sudut mata dengan lengan kemajanya tadi."Nggak papa." Abi membiarkanku melakukan aktifitas sesuka hati. Tentu saja, aku melanjutkan aksi
Mas Irza : Bagaimana pertemuan kamu dengan papa? Cerita ke Mas lewat telepon, atau ketemuan? Membacanya saja, aku sudah tersenyum lebar, apalagi saat mendengarnya langsung, mungkin aku bereaksi lebih dari sekedar tersenyum. Segera saja, aku mengetikkan balasan. Tapi, melihat jam di sudut atas ponsel membuatku urung melakukannya. Dengan tergesa, aku mengambil tas ransel yang sudah kumasuki laptop, buku dan berkas lain-lainnya. Lalu, asal mengambil kaos kaki yang ada di laci almari, memakainya lalu menarik sepatu yang ada di rak. Untungnya, motor sudah lebih dulu ku keluarkan dari bagasi rumah, tinggal menggunakannya. Tapi, usai menggunakan helm dengan baik dan benar, getaran ponsel di dalam saku membuatku berdecak karena telah menganggu aktivitasku pagi ini yang amat sangat tergesa. "Pagi. Hallo?" kataku sopan setelah menerima panggilan ponsel tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel terlebih dahulu. "Pagi, Gen. Aku udah di per
Pertanyaannya adalah, apa aku berhak marah dan ngambek karena hal ini? Apa aku boleh mendiamkan Mas Irza hanya karena sikapnya kali ini? Jika di sudut pandang mama aku nggak berhak marah apalagi ngambek, tapi dalam sudut pandangku berbeda, marah bukan hal tabu untuk menyikapi sikap Mas Irza yang benar-benar menyebalkan malam ini.Tapi, kemarahanku nggak ada artinya karena nggak akan mengembalikan keadaan membaik, apalagi sesuai dengan harapanku. Namun, tetap saja aku kesal dan menggerutu karena sikap Mas Irza yang begini. Tak bisakah ia menepati janjinya sebagai seorang pria dewasa?Mas Irza : Nggak papa kan berangkat sendiri? Mas ada acara mendadak, mama maksa banget.Pesannya semakin membuatku jengkel. Dengan mudahnya ia bilang begitu, padahal aku butuh dia untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan papa malam ini, alasannya agar aku nggak merasa menjadi orang asing di pesta nanti. Tapi nyatanya? Zonk.Ini memang bukan sepenuhnya salah Mas Ir
Ini kedua ketiga kalinya aku menelpon Abi dengan panggilan lewat aplikasi chatting, statusnya berdering tapi belum juga diangkat, dan tak kunjung diangkat. Harusnya aku menelpon Abi lewat telepon seluler, tapi sayangnya pulsaku habis. Sebelum kembali menelpon Abi ke-empat kalinya, aku menghela napas.Semoga, Abi merespon. Semoga, Abi sedang tidak sibuk. Semoga, rasa kasihan Abi masih tersisa malam ini.Dan, aku bersyukur serta bernapas lega ketika Abi merespon panggilan. "Hallo. Kenapa, Gen?""Jemput gue, di Klinik Husada, yang deket sama SMP Negeri. Bisa nggak, Bi?""Loh!" Nada Abi terdengar terkejut, dan aku sudah menebak sebelumnya."Kamu ngapain di klinik? Bukannya datang di resepsi pernikahan papa kamu?""Nggak datang, karena kecelakaan. Jemput ya, Abi. Minta tolong banget.""Kecelakaan kenapa?"Hembusan napas kesal keluar dari hidung lagi, tapi sebentar karena tak sengaja tangan kanan ikut berg