Aku menarik napas pelan dan dalam-dalam, lalu menghembuskannya samar-samar, berharap air mata yang luruh tak semakin banyak. Tiba-tiba, Abi menyodorkan sebuah mug padaku. "Biar kamu agak tenang," kata Abi.
Aku menggelengkan kepala, Abi hanya mengangguk dan menaruhnya di atas meja. Mendadak, Abi duduk tepat di depanku, menatapku lekat-lekat dengan pandangan matanya yang teduh. "Maaf, gue malah nangis gini," ucapku pelan dan terdengar serak.
Abimanyu mengangguk pelan, seolah-olah ia memberiku ruang banyak untuk tetap menangis di sini. "Kok lo biasa aja sih, lihat gue nangis gini." Aku mencoba terkekeh menertawakan diriku sendiri yang tak tahu malu begini. Karena gemash bercampur kesal, aku mengambil tangan Abi, mengangkatnya dan menarik kemejanya yang di gulung sampai siku. "Nggak ada tissue," ujarku seraya mengelap sudut mata dengan lengan kemajanya tadi.
"Nggak papa." Abi membiarkanku melakukan aktifitas sesuka hati. Tentu saja, aku melanjutkan aksi yang pasti menurut orang, ini adalah hal konyol dengan senang hati. "Santai."
"Gue masih nggak ikhlas, Bi, kalau Papa nikah lagi. Karena selama ini, gue punya harapan dan selalu berdoa biar Mama dan Papa bisa rujuk. Doaku selama ini mungkin terdengar gila, tapi aku iri sama lo yang baik-baik aja orang tuanya. Ternyata, enggak, Papa nikah lagi yang artinya nggak bakalan rujuk." Abi masih menatapku sesekali mengangguk dengan tatapan sedikit berduka, tidak seperti saat di resto tadi yang memaksa orang dengan wajah bahagia.
"Karena itu, gue langsung kepikiran kalau Papa bakalan abai sama gue, kasih sayangnya bakalan berkurang, lalu lupa tentang anaknya ini. Karena calon istrinya Papa punya anak seumuran gue dan adiknya."
"Kamu nggak perlu takut, Om bakalan tetap sayang sama kamu, karena kamu anaknya. Lagian kamu sudah bertahun-tahun nggak hidup sama Om, jadi udah terbiasa kan, Gen?"
Aku berkedip pelan untuk meluruhkan air mata, menangis diam seraya menatap Abi. Jadi ingat saat SMA dan SMP dulu, aku selalu melakukan hal seperti ini kepada Abi berdua saja. Kadang di kelas sepulang sekolah, di rumahnya ini, di rumahku dan kadang kala di taman belakang rumahnya. Patut di syukuri tentang kehadiran Abi di hidupku, karena ia selalu mau saat aku ingin bercerita, selalu siap saat meminta bantuan, merelakan waktunya hanya untuk bertanya tentang kehidupanku apakah baik-baik saja atau ada masalah.
"Gue tahu, tapi ya nggak ngerti aja gue, tiba-tiba kepikiran gitu. Padahal gue udah gede, yang mestinya nggak perlu mikir pusing masalah gituan," kataku sambil tertawa pelan.
Benarkan? Untuk umur, aku sudah masuk ke tahap dewasa. Seharusnya aku nggak perlu mikirin tentang kasih sayang dari Papa, karena aku masih punya Mama yang harus dijaga, harus disayang, harus diperlakukan sedemikian seperti ratu, agar Mama juga memperlakukanku seperti putri.
Masalah Papa, biarlah Tuhan mau berkehendak apa. Tentang Papa yang benar-benar masih menganggapku saat nanti, atau bahkan perlahan-lahan hilang dari list nama-nama orang tersayang.
"Gue bukan lagi anak TK, yang mesti iri kalau temannya digendong papanya. Gue bukan lagi anak SD, yang mesti benci saat melihat rapor teman diambil papanya. Gue bukan lagi pelajar, yang belum bisa cari uang." Sekarang, aku kembali berlagak sok kuat, sok bisa sendiri, padahal saat tadi rapuh seperti kayu lapuk. "Jadi, gue nggak perlu bersedih kan, Bi?"
Abi tersenyum hingga menyipitkan matanya, mengangguk pelan seolah-olah membenarkan ucapanku tadi. Sekarang, aku malah merasa bahwa hidupku makin nggak baik-baik saja, ya walaupun mulutku berbicara tegar tapi tidak dengan hati dan perasaan. Semuanya aku perlakukan ya sudah, dan berharap setelah tidur nanti tak ada lagi sesuatu yang membuatku bersedih.
Aku pernah berpikir, kadang bilang nggak ada apa-apa dan semuanya akan baik-baik saja lebih baik, daripada harus bercerita panjang lebar yang pada akhirnya hanya membuang tenaga karena bercerita tapi tidak membawa perubahan baik, atau bahkan sesudah bercerita nanti malah menambah masalah.
"Seharusnya emang begitu, kamu nggak perlu bersedih. Tuhan selalu bertanggung jawab atas kehidupan makhluk-Nya, kamu juga hidup nggak sendirian. Tapi, kalau kamu sedih, itu wajar kok, Gen. Karena kamu hanya manusia biasa. Namun--"
"Jangan sedih lama-lama, selain nanti bakalan ngaruh sama pikiran dan kehidupan, aku nggak suka ngelihat kamu yang cengeng begini." Aku memotong ucapan Abi dan melanjutkannya. Abi tersenyum lebar dan menatapku sedemikian, aku hanya terkekeh seraya mengelap pipi dengan telapak tangan.
"Masih ingat ucapan aku. Udah bertahun-tahun lho, Gen." Ucapan Abi terdengar seperti mengagumi orang lain.
Aku masih ingat ucapan Abi yang baik-baik. Sebenarnya bukan ingat, tapi sengaja mengingat. Karena ya, Abi selalu berucap kalimat yang sama ketika kami masih sekolah bersama, ia juga menuliskan kata-katanya di kertas HVS warna, lalu ia print di tempat foto copy, setelahnya di laminating agar awet. Lalu, ia menaruh itu semuanya di laci meja belajarku. Aneh memang si Abi, tapi aku juga nggak nolak.
Apalagi saat kami lulus SMA dan ia harus merantau ke luar kota karena orang tua, ia semakin memperbanyak kertas buatannya itu. Kerennya lagi, ia menempelkan foto kami, tulisan-tulisan kami, prestasi kami di buku binder, dan masing-masing membawa satu.
Aku sih oke-oke saja untuk menyimpannya, sampai sekarang juga masih ada di dalam laci almari. Namun, sedari dulu tak pernah aku buka, karena ya buat apa aku buka, juga membaca tulisan Abi yang di print itu sudah cukup untuk mengingat kalimat baiknya.
Saat aku tanya alasannya kenapa harus buat buku ginian segala, ia menjawab agar pertemanan kita nggak putus tengah jalan, agar kita saling mengingat satu sama lain. Konyolnya, bisa dijadikan obat rindu. Aku tertawa mendengarnya, karena jaman kami lulus SMA itu bukan jaman kuno, kangen tinggal telepon, ingin ketemu tinggal atur waktu karena kendaraan sudah banyak. Lalu Abi bilang, "Udah, kamu tinggal simpan ini aja, apa susahnya?" Ya sudah, aku tidak membantah.
Setelah kami berpisah, Abi sering menelponku untuk bertanya kabar juga bertukar tentang dunia perkuliahan. Aku bersambut baik, tapi lama-lama kesal karena berteleponan itu menyita waktu banyak. Jadi, aku jujur pada Abi bahwa teleponnya itu menganggu aktifitasku, setelah itu Abi jarang sekali menghubungiku. Karena jarang, aku jadi sedikit melupa tentangnya. Makanya saat ia datang, aku sempat kaget.
Balik ke awal lagi..
"Itu kata keramat lo, sewaktu gue lepas nangis." Abi tertawa-tawa, maka tatapan heran langsung menghunus matanya. "Ngapain ketawa?" Aku kembali mengambil lengannya, dan melakukan hal yang sama, yakni mengelap sudut mata dengan kemejanya. Entah karena apa aku melakukan ini, tapi ya suka saja menjahilinya. "Salah lo, gue kode minta tissue nggak dikasih-kasih."
"Masih sama ya, Gen. Habis nangis, terus ketus atau kalau enggak ketawa." Ia terkekeh, aku tak memperdulikan karena sibuk mengotori bajunya. "Eh, ada lagi. Biasanya kamu tidur. Yang jarang itu, sedihnya berlarut-larut." Mendadak, aku merasakan sebuah tangan berulah di atas kepalaku, yang pastinya pelakunya adalah Abi.
"Gimana mau lanjut nangis terus, lo selalu cerewet." Abi hanya tertawa kecil.
"Kalau gitu, gue pulang ya." Aku segera mengemas ponsel dan mengambil kunci motor yang ada di samping tempat duduk.
"Sekarang?"
"Udah pukul sebelas nih, masak gue pulang dini hari. Pulang jam segini aja, pasti udah dikasih julid sama tetangga lo, Bi."
Setelah siap dan merasa tidak ada yang tertinggal, aku berjalan keluar rumah dan bersiap mengendarai motor milikku. Baru saja selesai menyimpan helm ke dalam jok motor, Abi sudah menghidupkan mesin motornya dan mendekat ke arahku. Tentu saja, ini menimbulkan tanda tanya. "Mau kemana, Bi?" tanyaku seraya memakai helm.
"Anterin kamu. Nggak baik pulang sendirian."
"Lo buang waktu, Bi. Tidur kan enak."
"Sayangnya, aku nggak bisa begitu." Terserah Abi, maka aku membiarkannya mengantarkanku pulang hingga rumah dengan kendaraannya sendiri. Bahkan saat Mama membuka pintu rumah, Abi sempat mencium tangan Mama dan meminta maaf karena mengajakku main terlalu lama.
Mas Irza : Bagaimana pertemuan kamu dengan papa? Cerita ke Mas lewat telepon, atau ketemuan? Membacanya saja, aku sudah tersenyum lebar, apalagi saat mendengarnya langsung, mungkin aku bereaksi lebih dari sekedar tersenyum. Segera saja, aku mengetikkan balasan. Tapi, melihat jam di sudut atas ponsel membuatku urung melakukannya. Dengan tergesa, aku mengambil tas ransel yang sudah kumasuki laptop, buku dan berkas lain-lainnya. Lalu, asal mengambil kaos kaki yang ada di laci almari, memakainya lalu menarik sepatu yang ada di rak. Untungnya, motor sudah lebih dulu ku keluarkan dari bagasi rumah, tinggal menggunakannya. Tapi, usai menggunakan helm dengan baik dan benar, getaran ponsel di dalam saku membuatku berdecak karena telah menganggu aktivitasku pagi ini yang amat sangat tergesa. "Pagi. Hallo?" kataku sopan setelah menerima panggilan ponsel tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel terlebih dahulu. "Pagi, Gen. Aku udah di per
Pertanyaannya adalah, apa aku berhak marah dan ngambek karena hal ini? Apa aku boleh mendiamkan Mas Irza hanya karena sikapnya kali ini? Jika di sudut pandang mama aku nggak berhak marah apalagi ngambek, tapi dalam sudut pandangku berbeda, marah bukan hal tabu untuk menyikapi sikap Mas Irza yang benar-benar menyebalkan malam ini.Tapi, kemarahanku nggak ada artinya karena nggak akan mengembalikan keadaan membaik, apalagi sesuai dengan harapanku. Namun, tetap saja aku kesal dan menggerutu karena sikap Mas Irza yang begini. Tak bisakah ia menepati janjinya sebagai seorang pria dewasa?Mas Irza : Nggak papa kan berangkat sendiri? Mas ada acara mendadak, mama maksa banget.Pesannya semakin membuatku jengkel. Dengan mudahnya ia bilang begitu, padahal aku butuh dia untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan papa malam ini, alasannya agar aku nggak merasa menjadi orang asing di pesta nanti. Tapi nyatanya? Zonk.Ini memang bukan sepenuhnya salah Mas Ir
Ini kedua ketiga kalinya aku menelpon Abi dengan panggilan lewat aplikasi chatting, statusnya berdering tapi belum juga diangkat, dan tak kunjung diangkat. Harusnya aku menelpon Abi lewat telepon seluler, tapi sayangnya pulsaku habis. Sebelum kembali menelpon Abi ke-empat kalinya, aku menghela napas.Semoga, Abi merespon. Semoga, Abi sedang tidak sibuk. Semoga, rasa kasihan Abi masih tersisa malam ini.Dan, aku bersyukur serta bernapas lega ketika Abi merespon panggilan. "Hallo. Kenapa, Gen?""Jemput gue, di Klinik Husada, yang deket sama SMP Negeri. Bisa nggak, Bi?""Loh!" Nada Abi terdengar terkejut, dan aku sudah menebak sebelumnya."Kamu ngapain di klinik? Bukannya datang di resepsi pernikahan papa kamu?""Nggak datang, karena kecelakaan. Jemput ya, Abi. Minta tolong banget.""Kecelakaan kenapa?"Hembusan napas kesal keluar dari hidung lagi, tapi sebentar karena tak sengaja tangan kanan ikut berg
Kalau ditanya bagaimana pagimu kali ini, maka aku akan menjawab menderita dan sangat-sangat menderita. Jawabannya, pergerakanku terbatas, ingin meregangkan badan usai bangun tidur harus mikir dua kali, padahal meregangkan badan adalah sesuatu yang mempunyai nikmat tersendiri. Tak hanya itu saja, masalah kamar mandi, ganti baju, duduk dan berdiri dengan baik dan benar bukan lagi kebiasaan, melainkan masih tahap belajar agar terbiasa. Mau bagaimana lagi, selain menerima dan sabar.Nggak kebayang, gimana rasanya jika kakiku ikut-ikutan patah tulang atau cedera, mungkin 99 persen kehidupanku berada di atas ranjang terus. Itu makanya, ada seribu satu alasan untuk aku harus selalu bersyukur, kata mama. Asalkan, kita nggak memandang sesuatu dari satu sudut pandang, karena banyak sudut pandang yang mesti kita tilik.Abimanyu : Aku on the wayAbimanyu : Ke rumah kamu.Kelar urusan kamar mandi, aku memilih keluar kamar dan duduk di sofa ruang tengah ser
"Ini kebetulan. Saya main di rumah, Genna mau pergi ke kamar mandi, Tante.""Main doang kan? Jangan lebih dari main lho!""Tante bisa percaya dengan saya!"Sayup-sayup, aku mendengar pembicaraan dengan suara yang familiar di telinga. Segera saja aku membuka mata perlahan-lahan yang rasanya masih sedikit berat, karena masih setengah tertidur. Dugaanku ternyata benar, Abi adalah pelakunya. Ia tengah berbincang dengan ponselku yang menempel di telinganya.Tunggu! .... Ponselku. Berarti, Abi menelpon siapa?Pelan-pelan, aku bangun lalu beralih menjadi duduk dan menyenderkan punggung pada senderan sofa. Ketika Abi menoleh, aku menaikkan alis sebelah sebagai kode tanda tanya 'siapa?'"Tante bisa percaya saya, teman baik Genna yang sampai sekarang masih berteman baik."Kutebak, Abi sedang berbicara dengan mama, kentara ia yang menyebut kata tante. Malas menyerobot ponsel untuk berbicara dengan mama s
Mungkin Abi salah pergaulan selama tidak dekat denganku bertahun-tahun, sehingga membuatnya bersikap tidak sopan seperti orang tanpa pendidikan. Begini ceritanya, sia-sia lah ia keluar banyak uang dan tenaga guna menempuh pendidikan magisternya.Ya, aku tahu dan boleh memahami bahwa ia tengah bercanda. Tapi yang namanya bercanda juga mikir situasi dan kondisi juga kan? Dan menurutku, candaan Abi barusan adalah sebuah kesalahan karena timing yang tidak pas.Seperti barusan, wajahnya yang dadakan muncul di layar vidio call, mengundang kemarahan tersendiri untuk Mas Irza. Setelah Abi pergi ke depan, Mas Irza hanya bilang 'itu pria kemarin kan?' mendoakan cepat sembuh, dan besuk sore baru bisa menjengukku karena malam ini ia harus menghadiri sebuah acara perkumpulan teman lama. Begitu saja, sudah. Tanpa bertanya-tanya kronologi kejadian, atau meminta maaf karena tidak bisa menjenguk sekarang.Jelas, Mas Irza marah, kentara dari ucapannya yang amat sangat
Love Is Sweet, menjadi pilihan drama yang kami tonton kali ini di ruang tengah. Sebelum mengetikkan keyword di kolom pencarian, aku ngotot milih serial drama yang tokoh utamanya adalah dokter. Tapi Abi, dengan segala kesadisannya menekan salah satu drama yang ada di beranda asal-asalan, dengan dalih, 'Yang penting ada manis-manisnya.'Aku melengos. Namanya juga drama genre romansa, mustahil amat kalau nggak ada adegan manis-manisnya."Tonton aja. Kalau udah end, kamu tinggal pilih sesuka hati," katanya seraya menenteng totebag khas supermarket dari dalam kamarku.Aku meliriknya malas. Nunggu serial drama ini end pasti keburu magrib. Ya, sama aja bohong. "Sini-sini, udah mulai," kataku malas seraya menepuk-nepuk karpet empuk di sampingku.Dari pagi, Abi sudah di sini hingga siang tadi pukul dua belas, pulang ke rumahnya setelah usai makan siang. Tapi pukul dua siang, ia mengganggu tidurku, datang membawa totebag dari supermarket yang aku
"Kenapa?""Karena nggak ada mama di rumah, Mas. Mas nggak boleh nginap. Entar dikira orang kita ngelakuin hal yang enggak-enggak."Kedatangan mas pacar ternyata menjadi bencana tersendiri bagiku, ya walaupun sebelumnya aku teramat sangat senang akan kehadirannya. Hal menjadi bencana adalah banyak.Pertama, mengapa Mas Irza harus datang ketika Abi sedang di rumah, parahnya lagi tengah mengikat rambutku. Tentu ini menjadi point buruk di mata Mas Irza, sekalipun ia nggak bilang bahwa ia marah, tapi perlakuannya yang benar-benar cuek adalah tanda kemarahannya.Kedua, kami bertiga harus berbicara sungkan-sungkan, formal banget. Kalau di antara mereka berdua tidak ada di sini, aku bisa berbicara dengan lancar. Sungkannya, lebih dari sekedar rapat para guru ketika membahas sesuatu. Seperti saat tadi sore, kami bertiga menyantap nugget dan sosis goreng di meja makan dengan obrolan kaku.Ketiga, Mas Irza jadi sosok yang menyeba