“Ini punyaku!”
“Punyaku!”
“Bukan ini punyaku!”
“Kata mami ini punyaku Abira.”
Dua anak gadis sedang rebutan boneka panda di kamar. Mereka adalah Ziona dan Abira. Kakak adik yang terpaut usia hanya setahun.
“Mami!” Abira anak paling besar berteriak memanggil maminya yang sedang menyiapkan makan malam.
“Apa sih ribut-ribut?” Wanita berusia 35 tahun masuk ke kamar.
“Ziona rebut boneka pandaku mi. Ini kan dibelikan untukku.” Abira mengadu pada maminya.
“Biar mami ngobrol sama adik kamu dulu ya sayang.” Mengusap kepala Abira dan mengajak Ziona keluar kamar.
“Mami, boneka panda itu punyaku. Papi yang membelinya kemarin.” Ziona berusaha membela diri meskipun dia tahu harapannya sangat kecil untuk dibela.
“Zio, mami sudah bilang kan untuk ngalah pada kakakmu. Memang papi membelinya untukmu. Tapi kakakmu menyukainya. Tolong mengalah ya demi kakak. Mami nggak mau kalau kakak kamu sakit lagi.”
Ziona menghentakkan kaki karena tidak terima. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Semenjak kakaknya itu didiagnosa mengalami lemah jantung, dia pun dituntut untuk selalu mengalah dan mengutamakan kebahagiaan kakaknya.
“Mami nggak pernah sayang sama Zio. Mami sama papi cuma perduli sama Abira.” Ziona menangis dan berlari ke kamarnya. Boneka teddy bear hadiah dari neneknya menjadi sandaran ketika hatinya butuh tempat untuk berlabuh. Neneknya meninggal tahun lalu. Di situ jugalah penyakit Abira terdiagnosa. Abira pingsan ketika jasad neneknya masuk ke liang lahat. Tubuh kecil Abira dibawa ke rumah sakit terdekat dan ketahuan jika Abira mengalami lemah jantung.
“Zio, Ziona sayang!” Alana memanggil nama putri keduanya sambil mengetuk pintu. “Mami masuk ya?” karena tidak mendengar sahutan, Alana memutuskan untuk masuk.
“Untuk apa mami ke sini? Mami nggak pernah sayang sama Zio. Semua orang yang ada di rumah ini hanya sayang sama Abira.” Tangis Ziona semakin keras. Air mata sudah menganak sungai membasahi wajahnya.
“Mami dan papi juga sayang sama Zio. Tapi kamu tahu sendiri kan apa kata dokter? Kakak kamu nggak boleh sedih dan banyak pikiran. Tolong mengalah untuk kakak ya. Mami takut dia masuk rumah sakit lagi.” Air mata pun menetes di wajah Alana membuat putri bungsunya itu tidak tega.
“Maaf mami. Aku yang salah. Harusnya aku tahu kalau kakak sedang sakit.”
“Makasih sayang. Kamu memang anak mami yang paling baik. Kamu pasti lapar kan? Apa kamu menginginkan sesuatu?” Alana berusaha membujuk putri keduanya.
“Aku mau ice cream rasa coklat.”
“Baiklah. Ayo kita ke dapur dan kita habiskan ice cream yang ada di kulkas.”
Ziona Clarissa Mordekhai putri kedua dari pasangan muda Alana dan Mordekhai. Banyak mengalah demi Abira kakak sulungnya yang sakit. Kata dokter Abira tidak boleh sedih, terkejut, atau kelelahan. Umurnya pun tidak tahu sampai kapan. Menurut dokter sudah sangat bagus jika Alana bisa bertahan sampai usia 25 tahun. Tetapi kemungkinan itu sangat kecil. Itu sebabnya mereka selalu memenuhi apa keinginan Abira.
***
Sekarang usia Ziona sudah genap 16 tahun dan dia sudah menikmati kursi di kelas sebelas atau tingkatan kedua di sekolah menengah atas. Kakaknya pun sudah duduk di kelas dua belas. Ada dua perbedaan yang sangat mencolok di antara keduanya.
Abira sangat dibatasi untuk melakukan banyak kegiatan. Tidak boleh ikut kegiatan ekskul dari sekolah. Untuk belajar mata pelajaran sekolah saja, Abira harus menunggu guru les datang ke rumah. Selain les mata pelajaran, dia juga les piano di rumah. Semuanya dikerjakan di rumah.
Sementara Ziona punya dunianya sendiri. Dia terlibat di berbagai kegiatan sekolah. Seperti basket, kelas renang, bakti sosial, bahkan mengisi acara di radio khusus milik sekolahnya. Berkat kekayaan orang tuanya, mereka berdua memiliki kesempatan untuk sekolah di international school yang sangat bonafit.
“Nih aku bawain coklat kesukaanmu.” Ziona memberikan sebatang coklat dengan bungkusan plastik biru pada kakaknya.
“Makasih adikku sayang.” Abira langsung memeluk adik satu-satunya itu.
Sejujurnya mereka saling menyayangi. Tetapi dalam waktu bersamaan mereka juga saling iri. Ziona iri pada Abira karena kedua orang tuanya selalu mengutamakan keinginan kakaknya itu. Sementara Abira iri karena tubuh sehat saudaranya itu membuat dia bebas melakukan apa saja. Contohnya sekarang. Ziona baru saja menyelesaikan lomba balap sepeda bersama teman-temannya.
“Gimana hasil lomba kamu?” tanya Abira sambil menikmati coklat yang tersisa setengah.
“Hanya dapat juara 2.” Ziona memasang wajah lesu.
“Bagus dong. Juara 2 pasti membuat kamu semakin terkenal di sekolah.”
“Tapi papi pengen aku juara pertama.” Ziona seperti menanggung beban yang sangat berat hingga napasnya saja dibuang kasar.
Kedua orang tuanya selalu menuntut Ziona menjadi yang terbaik. Harapan satu-satunya untuk meneruskan perusahaan keluarga adalah dirinya. Mereka tidak mungkin berharap banyak pada Abira.
“Jangan terlalu dipikirin. Paling papi hanya marah sebentar.” Dengan santainya Abira menasihati.
Kakak sulungnya itu tidak pernah merasakan bagaimana hidup harus sesuai kehendak orang tua. Andai saja posisi mereka bisa ditukar sehari saja. Pasti Ziona akan meminta apa saja yang diinginkannya. Tetapi itu tidak mungkin. Tuhan sudah memilih mereka dengan beban masing-masing.
***
Alana menyiapkan makan malam karena suaminya memberi kabar akan makan malam di rumah. Hampir tidak pernah mereka merasakan makan malam bersama Mordekhai. Tetapi itu satu keuntungan tersendiri untuk Ziona karena dia bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan ayahnya yang selalu menginterogasi pendidikannya.
Mordekhai pulang dan langsung melepas jas hitamnya. Tasnya pun di letakkan begitu saja di atas sofa. “Di mana anak-anak?” tanyanya ketika melihat hanya ada istrinya di meja makan.
“Belum turun pi. Biar mami panggilkan dulu.” Alana berjalan menuju kamar kedua putrinya yang bersebelahan. Mengetuk kamar yang sulung lalu beralih pada kamar si bungsu.
“Papi bawa apa hari ini?” Bak anak kecil Abira bergelayut manja di lengan ayahnya. Hal yang tidak akan pernah dilakukan Ziona. Bahkan pada ibunya saja dia enggan melakukannya. Semenjak Abira menjadi yang utama, Ziona memutuskan untuk tidak melibatkan kedua orang tuanya dalam perasaan ataupun masalah-masalahnya.
“Hai pi.” Sapa Ziona sebelum mendaratkan tubuhnya di kursi.
“Bagaimana lomba kamu? Apa kamu mendapat juara pertama?”
“Juara kedua pi.”
“Hanya juara kedua? Kamu berlatih hampir tiap hari dan kamu hanya juara kedua? Bagaimana dengan hasil ulangan kamu?” Pertanyaan yang paling tidak disukai Ziona. Secara akademis kakaknya lebih pintar darinya. Tetapi sayangnya tubuhnya lebih sehat daripada saudaranya itu.
“Nilai 8 papi.”
“Hanya nilai 8? Kamu belajar nggak sih? contoh dong kakak kamu. Setiap pelajaran selalu mendapatkan nilai 10.”
“Mi, Zio nggak lapar mau belajar dulu.” Ziona langsung meninggalkan kamar tanpa minta izin pada Mordekhai.
“Lihat anak kamu! Dinasihati malah kabur!” Mordekhai melampiaskan kemarahannya pada Alana.
“Jangan terlalu keras sama Ziona pi! Dia sudah berusaha semampunya.”
“Kurangi kegiatannya yang kurang penting. Dia hanya fokus pada sekolah saja. Tidak ada kegiatan sosial dengan komunitasnya yang nggak jelas itu.”
“Tapi pi,”
“Nggak ada tapi-tapian. Aku rasa Ziona terlalu banyak main sama teman-temannya itu. Kamu harus lebih tegas sama dia. Umurnya sudah 16 tahun. Dia harus mempersiapkan diri masuk universitas terbaik di Singapura.”
***
Ziona memeluk boneka teddy bear kesayangannya. Air mata tidak berhenti mengalir. Sakit hatinya bertumpuk. Sudah sakit karena dituntut terlalu banyak, semakin sesak karena dibandingkan dengan kakaknya.
Seorang anak laki-laki berusia 19 tahun berteriak-teriak memanggil bundanya. Di tangannya ada surat pengumuman. “Bunda aku diterima kuliah di salah satu kampus di Singapura. Bukan hanya itu saja. Aku lulus tes untuk mendapatkan beasiswa.” “Wah selamat ya Nak.” Bunda Tabita memeluk anak remaja yang berdiri di depannya. Anak laki-laki yang menawarkan jasa payung padanya kini sudah tumbuh tinggi dan sangat pintar. “Dari awal bunda yakin kalau kamu pasti lulus. Cepat ke ruangan ayah kamu. Pasti dia juga senang mendengarnya.” Zefanya berubah total dari kehidupannya yang dulu. Sangat pintar dan tampan. Tidak ada lagi kesan gelandangan karena kulit dan tubuhnya terawat dengan baik. Zefanya mengetuk pintu dan dia masuk ke sebuah ruangan. “Ayah aku lulus.” Anak remaja itu memberikan kertas di tangannya pada pria paruh baya yang duduk di kursinya. “Selamat ya nak.” Charles bangkit dari ku
Bandara Soekarno Hatta menjadi salah satu tempat yang tidak akan pernah mati. Selama 24 jam lokasi itu selalu terisi dengan orang-orang yang berlalu Lalang. Baik itu kru pesawat, setiap staff yang bekerja atau pekerja restoran yang bertengger di sana. “Ayah sudah menghubugi teman di sana. Katanya kamu boleh tinggal di apartemennya dan membantunya di cafe miliknya. Dia akan memberimu uang tambahan tanpa mendaftarkan kamu sebagai pelayan di restorannya. Anggab saja kamu ngebantu sebagai saudara.” Charles menjelaskan sebelum anak asuhnya itu terbang ke nagara tetangga. “Makasih ayah. Aku pasti kembali dan membuat ayah bangga.” “Harus itu.” Charles memberikan amplop berisi uang dolar Singapore. “Bijak-bijaklah mengelola uangmu. Kalau ayah ada rejeki pasti akan ayah kirimkan untukmu.” Charles memeluknya erat. Zefanya tidak tahu harus bilang apa lagi selain ucapan terima kasih. Dia berjanji kelak akan me
“Dari mana kamu?” Suara Alana menggelegar hingga memekakkan telinga Ziona yang mendengar.“Mi, ngomongnya jangan terlalu kenceng. Sakit nih telinga Zio.”“Kamu dari mana Ziona? Nggak usah mengalihkan pertanyaan mami.”“Habis ketemu teman mi.”“Laki-laki atau perempuan.”“Mati aku!” dalam hati Ziona merutuki dirinya sendiri. Bisa bahaya kalau dia berkata jujur. Bukan fasilitas saja yang akan diambil darinya tetapi selama seminggu dia tidak akan bisa melakukan apapun selain sekolah. “Perempuan kok mi.” Terpaksa lidahnya berbohong. Sepertinya dia harus membiasakan lidah tak bertulangnya itu untuk berkata dusta.“Cepat masuk kamar. Kalau papi sampai tahu kamu pulang jam segini pasti kamu akan dimarahin.” Tangan Alana bersedekap memberi peringatan.“Jangan laporin ke papi ya mi. Zio janji akan melakukan
Mordekhai meminta salah satu bawahannya untuk menemani Ziona mendaftarkan diri di kampus barunya. Jangan harap Mordekhai akan meluangkan waktu untuk mendaftarkan putri bungsunya itu. Masih banyak hal yang harus dia urus. Padahal jika menyangkut Abira pasti dia rela meninggalkan urusannya sepenting apapun itu. Lagi-lagi alasannya usia Abira yang tidak tahu sampai kapan.“Non, isi formnya dulu.” Laki-laki bernama Mandala memberikan pulpen tinta hitam dan tiga lembar kertas yang dia terima dari pihak kampus.Meski berat hati Ziona tetap mengisinya. Satu tujuannya hanya untuk mendapatkan perhatian. Tetapi apa yang dia terima? Ayah biologisnya itu justru meminta Mandala untuk menemaninya. Sebenarnya salah satu teman SMPnya juga tinggal di negara itu dan memberi kabar jika dia akan mengunjunginya di sana. Kebetulan atau tidak, temannya itu juga kuliah di tempat yang sama dengannya.“Man, aku mau ke toilet dul
“Di mana?” Suara cempreng dari seorang perempuan terdengar melalui ponsel yang menempel di telinga Ziona. “Aku udah kirim alamatnya kan? Aku di 1000 tasty restaurant. Cepat ke sini! GPL. Gak pake lama! Buruan!” “Sabar dong! Memangnya aku bisa menerbangkan MRT nya? Tungu! 10 menit lagi aku nyampe.” Temannya itu mematikan panggilan tanpa minta izin terlebih dahulu. “Nggak pernah berubah dari dulu.” Gerutu Ziona. “Gimana hari pertama masuk kampus?” Zefa yang baru keluar dari dapur langsung duduk di depannya. “Kamu nggak kerja?” Ziona memperhatikan pakaian laki-laki itu. Seingat dia, kemarin Zefa memakai kaos kuning dengan tulisan 1000 tasty restaurant. Namun kali ini laki-laki itu memakai kaos putih dibalut jacket denim dan celana jeans. “Sebentar lagi aku ada kelas. Makanya aku berpakaian seperti ini. Lagipula aku di sini hanya bantu-bantu aja.” Riko memang
“Kenapa kamu menghindariku?” Ziona memdekat dan memukul dada laki-laki itu. Air mata pun mengalir di pipinya. “Kamu jahat! Kamu yang mengajakku berteman. Tapi kamu yang menghindar kayak gini.” Ziona seakan dipermainkan apalagi dia tidak punya siapa-siapa di Singapura.“Zi, jangan kayak gini! Kenapa kamu nangis?” Menahan tangan Ziona yang terus memukulnya.“Aku ke sini untuk minta maaf. Tapi kamu sengaja menyuruh orang lain yang melayaniku.” Isak tangis menemani setiap kata yang terucap dari mulut manis Ziona.“Iya-iya. Aku yang salah.” Zefanya langsung menarik tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya. “Maafin aku. Nggak seharusnya aku tersinggung sama ucapan kamu.” Masih memeluk dan tangannya mengusap lembut rambut gadis itu.“Kalau aku salah bilang!” kesal Ziona namun tangannya mempererat pelukannya di tubuh Zefa.“Iya
Ziona benar -benar tertidur hingga Zefa tidak tega untuk membangunkannya. Makanan sudah ada di atas meja. Tadinya dia ingin pulang setelah makanan itu datang. Dia memperhatikan wajah yang terlelap itu.“Kamu benar-benar cantik.” Menyelipkan sulur rambut Ziona yang berantakan ke belakang telinga.Zefanya duduk di karpet berbulu sambil terus memandangi wajah perempuan itu. Hatinya senang dan damai melihat Ziona tertidur pulas. Tanpa sadar dia juga tertidur dengan kepala bertumpu di sofa sementara posisi tubuhnya duduk di depan sofa. Tenaganya terkuras habis ketika menggendong tubuh Ziona dari stasiun MRT Bugis sampai ke kondonium.“Rasanya capek banget.” Ziona menggeliat setelah kedua matanya terbuka. Baru sadar jika dirinya tidur di sofa dan dia tidak sendirian.“Zefa,” Dia mengoyang bahu Zefa dengan pelan. “Zef bangun! Ini sudah malam.” Sekali lagi
Ziona mengantuk lagi setelah mereka memutuskan untuk menonton film. Jelas dia mengantuk. Energinya terkuras habis hanya untuk bergadang dan menyelesaikan satu judul drama korea.“Aku tidur duluan ya. Kamu tidur di sofa. Awas kalau sampai masuk kamar!” Ziona mengancam dengan jari telunjuknya membuat laki-laki itu tertawa melihat kelucuannya.“Ya sudah tidur sana! Mata kamu udah merah.”Ziona masuk kamar dan langsung tidur terlentang. Tetapi dia ingat jika di luar belum ada selimut. Ziona menurunkan kakinya lagi dan beranjak ke lemari. Mengeluarkan selimut putih tebal dan mengambil satu bantal dari ranjang.“Kenapa kamu keluar lagi?” tanya Zefanya ketika perhatiannya teralihkan dari layar televisi.“Kamu nggak punya selimut. Cuaca lagi dingin. Pakai ini ya!” Sambil menguap Ziona meletakkan bantal dan selimut di sofa.“Makasih Zi. C