"Keluarlah kamu, Van!" seru Viano. Memang kesalahannya, saat ditanya oleh atasan memberikan jawaban yang tidak masuk akal.Dengan sikap yang masih tenang, Ivan bisa saja berpura-pura. Namun, di dalam hatinya, ia sudah tertawa terbahak-bahak. "Sungguh, saya serius, Pak. Kalau memberikan yang lain, belum tentu digunakan, tapi kalau yang itu, pasti akan digunakan.""Lantas, saya tidak tahu ukurannya!" Viano meradang. "Kenapa kalau terlalu kecil atau terlalu besar, bagaimana coba?""Coba tanyakan dulu, kepada orangnya langsung atau Bapak gunakan ilmu kirologi alias perkiraan."Karena Ivan menyebutkan tentang menggunakan ilmu perkiraan, Viano tanpa sadar malah mulai memikirkan Nesta."Bapak pasti bisa!" bisik Ivan."Ish!" Viano merasa ngeri. Ia merasa jijik dengan pikirannya sendiri. Lalu, untuk apa Ivan memberikan semangat kepadanya?"Keluar, Van, atau saya akan memecat kamu!" Viano benar-benar marah.Ivan tidak bisa menahan lagi, tawanya pun pecah. Bosnya memang keras, tapi bukan tipe ya
Viano pulang dari pekerjaannya. Suasana di rumah terasa biasa saja, tidak ada perubahan apapun. Mia akan segera mengucapkan selamat tinggal untuk pulang jika Viano sudah berada di rumah. Raja sama sekali tidak mengungkapkan bahwa Garseta sempat mampir ke rumah hari itu, begitu pula dengan Mia. Keduanya sama-sama tidak berani mengatakannya, takut akan menimbulkan masalah. Namun, ekspresi muram di wajah Raja tidak bisa berbohong. Saat ditanya mengapa ia begitu pendiam, dia berusaha menutupinya dengan mengatakan tidak ada apa-apa.Sebenarnya, bisa dikatakan perasaan Raja saat ini sangat sakit dan hancur. Meski ia belum dewasa dan kurang memahami apa yang dikatakan oleh neneknya, namun Raja sedikit banyak mengerti maksud dari perkataannya.Selama ini ia sering bertanya siapa ibunya. Namun, Viano tidak pernah bersedia menjawab dengan jujur. Ia selalu mengarang cerita atau mencari alasan lain. Dan tadi, Raja mendengar langsung dari Garseta bahwa seharusnya ia ikut meninggal bersama ibunya.
Mempertimbangkan saran Ivan—yang menyebutkan tentang memberikan hadiah berupa barang yang benar-benar dibutuhkan—Viano memutuskan untuk membelikan Nesta sebuah jam tangan. Bukan jam tangan mewah seperti Rolex atau Richard Mille, hanya jam buatan lokal, namun dengan kualitas yang terbaik.Nesta belum memiliki jam tangan, dia pasti membutuhkannya. Sebaiknya, jam tersebut dilengkapi dengan alarm, agar ia bisa menyadari jika terlalu lama berada di dekat Kevin.Cemburu? Oh, tidak! Viano tidak merasa cemburu terhadap Nesta. Dia hanya tidak suka melihat Nesta bersikap sopan dan berpikir lurus hanya ketika bersama Kevin, sementara ketika dengan dirinya, Nesta selalu bertindak sembrono dan membuatnya kesal.Setelah mencari-cari sejenak, Viano memilih sebuah jam tangan yang tampak etnik, dengan tali jam terbuat dari kayu. Awalnya dia berpikir bahwa itu akan tidak nyaman dipakai, ternyata dia salah. Jam tersebut nyaman untuk dipakai dan tentunya, ia juga telah mendukung program 'Cintai Produk In
Demi apa, Kevin sepanjang malam dipenuhi pikiran tentang Nesta yang mengungkit masalah goyang. Hingga ia pulang kerja tadi, sebelum apa-apa, yang pertama ia lakukan adalah pergi ke depan cermin. Berdiri di sana sambil merenung; kira-kira bagaimana cara Nesta bisa membuktikan pria sesuai dengan kriteria yang diinginkannya, terutama masalah 'goyang' itu.Apakah memang harus praktik terlebih dahulu, baru dianggap sah? Itu kan tidak dibenarkan. Kevin merasa takut dengan hal seperti itu. Tidak ada hubungan seksual sebelum menikah.Lalu, jika Kevin tidak bisa membuktikannya, apakah harus pria lain yang membuktikannya? Berarti Nesta....Aduh, demi apa! Kevin sampai menggeleng-gelengkan kepala sendiri karena kepolosan Nesta yang begitu terang-terangan dikombinasikan dengan sifat Kevin yang mudah terganggu oleh hal-hal sepele, akhirnya menjadi seperti ini.Sungguh, sepertinya Kevin harus bertanya langsung kepada Nesta besok. Jika bisa, memberikan arahan kepadanya agar tidak terfokus pada masal
H-1 menjelang hari Minggu."Coba sampaikan, bisakah dia berpikir tidak? Saya ini ingin mengajak bertemu hari Minggu karena ingin memberikan hadiah. Namun, anak itu sungguh sulit diajak. Berbagai alasan muncul untuk pergi bersama Kevin."Ivan berada di depannya, mendengarkan dan terus mengangguk. Itulah kebiasaan bosnya, ketika marah tidak menggunakan jeda. Membuat yang mendengarkan kehabisan napas."Jangan hanya mengangguk saja, Van.""Jadi, saya harus menggeleng-geleng?"Viano menatap tajam. "Berikan solusi dong!"Viano merapikan rambutnya. Sampai malam tadi, dia masih mendapatkan jawaban 'tidak' dari Nesta. Sungguh membuat frustasi!"Kalau begitu, Pak, kirimkan saja hadiahnya menggunakan jasa kurir. Selesai, bukan?""Tapi itu tidak bisa. Bagaimana kalau nanti rusak?""Ya Tuhan, Pak, celana dalam tidak akan rusak kok,"Viano maju dan mengetuk meja, sambil menatap tajam berkata, "Saya tidak sebodoh itu, sampai-sampai harus memberikan hadiah underwear kepada seorang wanita!"Ivan terse
Nesta memberitahukan kepada Kevin bahwa kakinya terluka. Otomatis, rencana pergi menjadi batal.Mengetahui Nesta mengalami kecelakaan, tanpa berpikir panjang, langsung berkeinginan untuk menjenguknya. Bagi Nesta, itu tidak masalah. Hanya saja, Kevin harus menerima bahwa kosannya cukup berantakan dan ia juga tidak bisa masuk ke dalam. Pasalnya, tempat itu khusus untuk wanita. Paling, ia hanya bisa duduk di teras.Kevin tidak keberatan tentang hal itu. Yang penting, ia bisa melihat sendiri bagaimana keadaan Nesta saat ini.Baru saja selesai urusan dengan Kevin, ingin melanjutkan berbaring, tiba-tiba sudah ada panggilan masuk. Dengan wajah menyeramkan di bagian depan layar handphone. Siapa lagi kalau bukan Viano.Dia mengeluh karena Nesta tidak langsung memberitahu tentang kecelakaannya.Sebenarnya, siapa dia?Dia ingin menjenguk, oh tidak! Dengan mulut besarnya itu, yang ada bukan kesembuhan yang didapat, malah tambah sakit kepala.Si Bospret itu, meskipun sudah diberi kode penolakan, t
"Nesta, kamu masih bisa bertahan hingga minggu depan, bukan?" Sebuah pertanyaan dari Viano yang membuat Nesta terpaksa mengucap istighfar berkali-kali."Saya ini hanya terkilir. Bapak berbicara seolah-olah saya terkena kanker otak!" Ya Allah... berikanlah kekuatan kepada Nesta.Kini giliran Nesta yang bertanya kepada Viano."Minggu depan, Bapak masih bisa bertahan hidup? Mengingat Bapak selalu menyakiti orang. Mungkin saja Bapak terkena guna-guna.""Kamu berencana untuk mengguna-guna saya?" ucap Viano dengan nada datar.Dijawab dengan ledakan emosi dari Nesta. "Tidaklah, Pak! Walaupun begitu, saya memiliki iman. Saya menolak menggunakan jasa dukun!""Oh!" Viano mengangguk pelan. "Selama kamu tidak memiliki niat untuk mengguna-guna saya, berarti selama itu pula saya bisa terus hidup sampai waktuku tiba untuk meninggal."Ya Tuhan, selalu saja Nesta yang menjadi sasaran. Apakah maksud Viano, dia adalah tersangka guna-guna?Bosan sekali, selalu menang."Ayah, guna-guna itu apa?" Keseruan
Lusi mendatangi kediaman Garseta. Mengutarakan keluh kesahnya tentang Viano yang selama dua minggu ini sama sekali tak bersedia untuk pergi bersamanya."Tante tahu tidak, sih?" Dia mengeluh setelah pembantu rumah tangga menyiapkan teh. Sambil duduk bersama di taman belakang yang disinari langit cerah, dia membicarakan hal yang membuat suasana hati Garseta menjadi tidak enak. "Kemarin, di pagi hari Lusi sengaja pergi menemui Viano karena susah dihubungi lewat telepon.""Lalu?""Dia malah memilih untuk pergi ke rumah mantan OG yang tidak waras itu!"Sambil menyesap minumannya, Garseta menghela napas lembut setelah cangkirnya diletakkan kembali."Lusi ingin mengajaknya makan siang bersama. Tapi ...." Tangannya terbuka lebar. "Viano tetap saja memilih untuk pergi bersama Nesta!"Garseta menggenggam tangannya erat, merasa panas di hati mendengar semua cerita dari Lusi. Tidak, dia tidak akan membiarkan sejarah Aldi terulang kembali dengan Viano.Lusi melanjutkan bicaranya. "Tante tahu tidak