"Ha!"
Jovanka terbangun dari tidurnya. Dia terkejut melihat ruang yang ia tempati saat ini. Ini ... adalah kamar tidurnya di rumah orang tuanya. Kenapa dia berada di sini? Bukankah seharusnya ia berada di mansion? Tempat dia dan suaminya tinggal setelah lima tahun menikah?
Tapi ... perasaan Jovanka sedikit janggal saat melihat keadaan sekitarnya. Kenapa keadaan kamarnya tampak seperti saat ia masih berusia belasan tahun? Bukankah orang tuanya sudah mendesain ulang kamarnya menjadi lebih minimalis, supaya suaminya bisa menginap dengan tenang tiap kali mereka singgah ke rumah ini.
Apa yang terjadi?
Jovanka menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia berlari ke jendela untuk mengintip keadaan di luar. Kaki Jovanka melangkah mundur, dia shock melihat seorang pria paruh baya yang tengah menyiram tanaman di halaman.
Itu ... itu pak Malik. Bukankah dia sudah meninggal tiga tahun lalu? Tepat dua tahun setelah Jovanka tinggal bersama suaminya. Jovanka bahkan datang ke acara pemakamannya.
Lalu, kenapa pria itu bisa berada di sana?
Jovanka memegang pelipisnya yang pening. Dia jatuh terduduk. Jovanka tidak mengerti apa yang terjadi. Seharusnya dia terbangun di kamarnya yang dingin. Kembali menjalani rutinitas hariannya sebagai istri yang tidak pernah dianggap oleh suaminya sendiri.
Tapi, kenapa sekarang ia justru malah berada di rumah orang tuanya? Seolah waktu telah bergerak mundur ke beberapa tahun ke belakang.
Terhenyak, Jovanka berlari mencari handphone-nya. Seingatnya, dulu Jovanka sering menyimpan handphone-nya di balik bantal. Dia merogoh bawah bantal. Dan betapa senangnya dia menemukan benda itu di sana. Jovanka menyalakan handphone-nya. Matanya melebar saat melihat waktu yang tertera di sana.
Tidak mungkin.
Ini ... Mustahil.
"Aku kembali ke lima tahun lalu," gumam Jovanka tidak percaya. Dia nyaris menjatuhkan handphone-nya.
Jovanka jatuh terduduk di atas ranjang. Pupil matanya bergetar, dia masih shock. Dan tidak lama, bibirnya berkedut. Senyum yang perlahan terlukis, hingga berubah jadi tawa kecil. Jovanka menutup mulutnya dengan tangan.
"Berarti, aku punya kesempatan kedua." Jovanka menyeringai. Perlu diingatkan, menjalani pernikahan yang hanya memberinya tekanan batin, membuat Jovanka menanggung beban batin yang cukup berat. Hingga mentalnya nyaris terguncang. Untungnya dia kuat, meski beberapa kali dia berusaha membunuh dirinya sendiri. Tapi, Jovanka masih cukup waras. Paling-paling, dia hanya membunuh orang lain sebagai gantinya.
Tidak terhitung para pelayan yang hilang di mansion suaminya setelah Jovanka melenyapkan mereka hanya untuk mempertahankan kewarasannya.
Jovanka akan diam seolah tidak mengetahui apapun saat suaminya berusaha menyelidiki apa penyebab menghilangnya para pelayan di mansion miliknya.
"Kali ini aku tidak akan jadi perempuan bodoh lagi. Aku tidak akan termakan wajah busuk pria bajingan itu," ucap Jovanka penuh tekad.
****
Bagaimana Jovanka bisa lupa? Jika tepat di hari ini adalah hari di mana pria yang menjadi suaminya dulu, datang ke rumahnya untuk meminang.
Menjijikan!
Bahkan ketika Jovanka melihat wajah pria itu, rasanya Jovanka ingin mencakarnya hingga puas. Pria itu adalah alasan kehancuran mental Jovanka. Dia yang awalnya hidup dengan normal, harus mengalami banyak gangguan setelah menikah dengan pria itu.
Awalnya Jovanka merasa senang karena dia bisa menikah dengan pria yang ia cintai sejak dulu. Tapi, Jovanka akhirnya sadar jika pria itu tidak pernah sedikit pun menyukainya. Pria itu menikah dengannya karena terpaksa. Dia berkata jika ia memiliki seorang kekasih yang sangat ia cintai. Tapi, karena hubungan mereka tidak direstui, pria itu terpaksa menikahi Jovanka. Pria itu tetap menikahi kekasihnya, dan Jovanka hanya ada untuk menutupi pernikahan siri mereka.
Setiap hari, Jovanka harus kuat saat menyaksikan dua insan itu bermesraan di rumahnya. Bahkan tak jarang dia melihat mereka memadu kasih, tak tahu tempat. Tidak ada kata lain selain menjijikan untuk menggambarkan kedua orang itu.
Melihat wajah pria itu lagi, rasanya Jovanka ingin meludah ke arahnya.
"Kami ke sini datang dengan maksud yang baik," Ibu dari pria itu bicara. Dia adalah mommy Amanda. Dia wanita yang pernah menjadi mertua Jovanka. Dia sangat baik, dan juga menyayanginya. Tapi, sayangnya dia selalu lebih membela anaknya dari pada Jovanka. Bahkan ketika anaknya berbohong, dia akan lebih percaya pada anaknya dari pada menantunya.
Jovanka sedikit tidak menyukai wanita itu.
Apalagi, setelah wanita itu mengetahui keberadaan istri siri anaknya, dan menerimanya dengan tangan terbuka.
Jovanka tidak pernah lupa apa yang dikatakan mertuanya itu padanya.
'Kamu tidak boleh egois. Karena suamimu mencintai perempuan itu. Kamu seharusnya bisa berhubungan baik dengan istri keduanya. Kalian harus akur.'
Bahkan hingga akhir, Jovanka masih menaruh benci pada perempuan yang menjadi istri siri suaminya itu.
"Kami ingin melamar Jovanka untuk menjadi istri Revan."
Sudah ia duga. Jovanka menahan untuk tidak berdecih sinis. Apa mereka buta? Tidakkah mereka lihat seberapa tajam tatapan pria yang berusaha mereka nikahkan dengannya? Bahkan siapapun bisa melihat, betapa tidak sudinya pria itu datang ke sini.
Tatapannya tidak lepas dari Jovanka, menyiratkan rasa benci yang kental. Dan Jovanka mengabaikannya sejak tadi. Karena dia memang tidak peduli.
"Kami menghargai niat baik kalian. Tapi, keputusan tetap berada di tangan putri saya. Karena dia yang akan menjalani pernikahan ini." Ucapan ayah Jovanka, sama seperti dulu. Dia memasrahkan keputusan padanya.
Meski begitu, orang tuanya yakin jika Jovanka akan menerima. Karena mereka tahu betapa tergila-gilanya Jovanka pada Revan, dulu.
"Aku menolak."
Jawaban Jovanka mengejutkan mereka. Bahkan Revan pun memasang wajah kaget. Siapa yang menduga jawabannya tidak akan seperti apa yang mereka pikirkan?
Jovanka tidak ingin mengulang kebodohannya. Dia akan membuang Revan jauh-jauh dari kehidupannya. Bahkan jika bisa, dia ingin mencabik-cabik tubuh pria itu dan dijadikan makanan anjing.
"Kenapa, Nak? Bukankah kamu mencintai Revan?" tanya Mommy Amanda heran. Dia melirik Revan yang juga menunggu jawaban Jovanka.
"Apa tante tidak lihat? Tatapan Revan jelas-jelas menunjukkan kalo dia memang tidak menyukai Jo." Jovanka menunjuk ke arah Revan.
Revan tersentak, karena sekarang tatapan semua orang tertuju padanya.
"Dia bahkan terlihat sangat membenci Jo."
"Tidak, sayang. Kamu bicara apa?" Mommy Amanda terlihat panik. Dia tidak tahu jika Revan sejak tadi menunjukkan ekspresi seperti itu. Wanita itu melirik tajam pada Revan, memperingati putranya itu. Dan akan lebih baik jika Revan ikut bicara untuk meyakinkan Jovanka.
Revan berdehem. Dia sedikit takut saat melihat kemarahan mommy-nya. Ini semua karena perempuan itu. Bisa-bisanya dia mengadu jika Revan menatapnya tajam sejak tadi. Memang apa masalahnya? Dia memang membenci perempuan itu.
"Kamu salah. Aku ... Tidak membenci kamu. Karena aku ke sini untuk melamar kamu, berarti aku memang menyukaimu."
Jovanka menahan diri untuk tidak mendengus sinis saat mendengar bualan Revan. Dia tahu pria itu hanya berbohong. Kata-katanya omong kosong.
"Lihat, sayang! Revan itu serius mencintai kamu. Kamu tidak bisa menilai Revan seperti itu." Ibu Jovanka membela Revan. Revan cukup senang karena wanita itu mau membantunya keluar dari masalah ini. Akan tetapi, rasa kesalnya pada Jovanka masih belum hilang. Perempuan itu bisa-bisanya membawanya ke dalam situasi merepotkan seperti ini.Dia pasti sengaja."Kamu serius?" tanya Jovanka pada Revan. "Tapi ... kenapa aku melihat kamu seperti terpaksa?" lanjutnya ekspresi polos.Revan merapatkan bibirnya. Jika tidak ada orang tuanya dan orang tua perempuan itu, Revan pasti sudah menampar Jovanka karena sikap sok polosnya itu. Bagaimana pun juga, Revan tahu perempuan itu memang berniat mempersulit Revan, dan membuat Revan tersudut oleh keadaan."Aku tidak terpaksa. Aku serius melamar kamu." Revan tidak mengatakan yang sesungguhnya. Jelas, dia berbohong. Jika dia diijinkan berkata jujur, dia akan berteriak dan mengatakan, 'Ya, aku terpaksa! Mana sudi aku menikah dengan kamu!'"Oh. Tapi aku ma
Revan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di salah satu kursi cafe. Wajah perempuan itu sudah terlihat kesal. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu. Wajar saja, Revan terlambat sepuluh menit dari waktu janjian mereka.Karena tidak ingin membuatnya semakin kesal, Revan memutuskan untuk mempercepat langkahnya."Maaf, sayang. Aku terjebak macet tadi," ucap Revan penuh sesal. Dia sudah berusaha sampai di tempat ini dengan cepat, tapi keadaan benar-benar tidak berpihak padanya. Revan harus menunggu sampai arus lalu lintas kembali lancar.Perempuan itu tidak menjawab. Raut wajahnya tidak berubah. Tampaknya dia belum bisa meredakan rasa kesalnya pada Revan.Melihat itu, Revan menghela napas. Dia meraih tangan perempuan itu, menatapnya penuh sayang."Savira, aku minta maaf." Tangan Revan terangkat untuk mengusap kepala kekasihnya itu. Tidak satu pun orang yang tahu jika Revan masih berhubungan dengan kekasihnya. Sejak orang tuanya menentang hubungan mereka, Revan tidak lantas memut
Jovanka benar-benar tidak berhenti mengatakan sumpah serapah di dalam hatinya. Karena Ayah-nya benar-benar serius saat mengatakan dia akan menerima lamaran Revan. Padahal Jovanka sudah melakukan banyak cara dalam membujuk kedua orang tuanya supaya mereka berpikir ulang untuk menerima lamaran Revan. Jovanka tidak ingin kembali terjebak dalam pernikahan yang sama. Bersama Revan, ia tidak akan pernah bahagia. Pria itu hanya akan membuatnya sengsara seumur hidup.Jovanka benci saat ia melihat Revan tepat di depan rumahnya. Pria itu datang menjemputnya untuk mencari gaun pengantin dan membicarakan segala hal tentang persiapan pernikahan mereka. Ini bukan pernikahan yang Jovanka inginkan, sehingga sulit baginya untuk tersenyum. Bahkan sejak tadi, wajahnya tertekuk tidak senang. Jovanka terpaksa ikut dengan Revan karena desakan orang tuanya. Tidak lupa mereka juga melayangkan ancaman yang membuat Jovanka tidak bisa berkutik.Raut wajah Jovanka sudah masam sejak tadi. Dia masuk ke dalam mobi
Savira berusaha tegar. Dia datang ke pernikahan kekasihnya sendiri. Sejak tadi, senyum di wajahnya terlukis dengan paksa. Dia menunjukkan jika dia baik-baik saja, padahal hatinya hancur melihat pemandangan di depan mata. Teman-temannya yang mengetahui suasana hati Savira yang sebenarnya, berusaha menenangkannya. Mereka mengelilinginya, dan memberinya banyak ucapan penyemangat. Mereka tidak ingin Savira bersedih karena ditinggal menikah oleh pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu."Aku heran, kenapa Revan malah memilih menikah dengan perempuan lain?" tanya Marissa sinis. Dia menatap tak suka ke arah mempelai wanita yang duduk di atas podium tepat di samping Revan.Meski Marissa akui, perempuan itu cantik, tapi paras tidak berarti apa-apa jika dia perebut pacar orang."Lihatlah, mukanya yang busuk. Ah, aku sangat ingin mencakar wajahnya itu." Marissa menghela napas dengan kasar.Satu teman di sampingnya menyenggol bahunya untuk memperingati. "Hati-hati kamu kalo bicara. Jika
"Aku gak mau seranjang sama kamu!" pekik Jovanka.Mereka kini berada di kamar pengantin. Kamar yang sudah dihias sedemikian rupa itu tidak membuat suasana hati sepasang pengantin baru itu berbunga-bunga. Mereka justru malah bersitegang di malam pengantin mereka.Revan melonggarkan dasinya dengan gerakan kasar. Dia cukup lelah, dan kini masih harus menghadapi sikap menyebalkan istrinya."Kamu tidak perlu membuat keributan di malam pengantin kita," ucap Revan geram. Dia sedang tidak ingin bertengkar. Dia hanya ingin beristirahat. "Untuk malam ini saja, tolong jangan mempersulit keadaan. Aku lelah." Revan menghela napas. Dia beranjak ke kamar mandi.Tapi ucapan Jovanka membuat langkahnya berhenti."Kamu tidur di sofa. Dan aku akan tidur di ranjang.""Jovanka!""Aku tidak mau tidur denganmu. Dan aku juga tidak mau jika harus tidur di sofa." Jovanka merebahkan tubuhnya di ranjang, bersiap untuk tidur. Jovanka tidak peduli pada kemarahan Revan saat ini. "Jadi kamu yang harus mengalah."****
Revan keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Kantung hitam dengan jelas menghiasi kedua matanya. Revan berjalan dengan lelah, aura suram mengelilinginya, hingga tidak ada yang berani mendekat atau bahkan menyapanya.Hingga dia tiba di ruang makan. Di mana keluarganya dan keluarga istrinya sudah berkumpul untuk sarapan."Pagi.""Pagi," balas mereka semua. Mereka sama-sama menyimpan tanda tanya karena ekspresi Revan yang tidak biasa."Kakak terlihat lelah," cetus Adik Revan, bernama Venetta. Gadis berusia 17 tahun itu biasa dipanggil dengan sebutan Netta."Semalam aku tidak bisa tidur," jawab Revan. Pria itu menutup mulutnya dengan punggung tangan saat menguap. Dia masih belum cukup tidur, tapi hari ini ia harus mau bangun pagi. Pekerjaannya tidak boleh ditinggalkan. Apalagi Revan sudah memiliki seorang istri sekarang."Begadang, kak?" Netta menaik turunkan alisnya, berniat menggoda Revan. Tapi dia justru malah dihadiahi sentilan di dahinya.Netta mengaduh, dia cemberut pada ayahnya y
Hari ini, sepasang pengantin itu pindahan. Revan menjemput Jovanka di sebuah Caffe, mengajaknya untuk mengurus semua keperluan rumah. "Apa kamu sudah melihat apartemen yang akan kita tempati?" tanya Jovanka. Dia sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Revan yang sedang mengemudi. Sebenarnya dia cukup malas bersama pria itu. Tapi, Jovanka terpaksa membiasakan diri. Karena ke depannya, dia pun akan sering terlibat interaksi dengannya. "Ya. Bagiku cukup nyaman," jawab Revan seadanya. Dia sudah mempersiapkan apartemen itu seminggu sebelum pernikahannya. Untuk berjaga-jaga, jika orang tua mereka meminta mereka tinggal bersama. Revan memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Jika dia sudah mempersiapkan rumah untuknya dan Jovanka, baik orang tuanya maupun orang tua Jovanka, tidak ada yang bisa memaksa. Revan bebas tinggal bersama Jovanka di rumah mereka sendiri. "Akan lebih bagus jika kamu bisa membereskan tempat itu." "Kenapa aku?" Jovanka tampak keberatan. "Apa kamu semiskin
Savira lekas mendekati Revan saat melihat pria itu datang ke kantor. Sudah cukup lama Savira menunggu, dia akhirnya bisa melihat pria itu."Revan."Savira tertegun. Dia baru bicara, tapi Revan langsung mengangkat tangannya, memberi instruksi pada Savira untuk diam tidak bersuara.Savira mungkin seharusnya berusaha mengerti, karena dia melihat Revan tengah menerima telepon dari seseorang. Tapi entah kenapa, dia tetap merasa sakit. Tujuannya menemui Revan adalah supaya Revan tidak lagi mengabaikannya. Tapi bahkan tindakan sekecil ini pun mampu membuat Savira sakit."Revan." Savira tidak menyerah. Dia menarik ujung pakaian Revan, berharap pria itu mau melihat ke arahnya. Tapi Revan menyingkirkan tangan Savira, dan tetap fokus dengan teleponnya.Savira mengepalkan kedua tangannya. Apa kini dia sudah bukan prioritas utama pria itu lagi? Kenapa Revan bisa-bisanya mengabaikan Savira seperti ini?"Ada apa? Apa kamu tidak lihat aku sedang menerima telepon?" cecar Revan setelah selesai dengan p