Alayya berjengit kaget, hampir saja dia menjatuhkan hair dryer yang sedang dia pakai untuk mengeringkan rambut panjangnya itu di kursi depan meja riasnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan paksa.
“Apa begitu cara orang masuk ke kamar tamu di rumah ini, Tante?” Alayya menyambut Mustika melalui cermin di depannya dengan tatapan sinis meski tangannya masih mengerakkan mesin pengering rambut itu. “Tutup mulutmu wanita tidak tahu diri, aku bukan Tantemu,’’ salak Mustika tanpa basa basi. Langkahnya pun mantap sekali mendekati wanita yang tengah tersenyum mengejek itu. Alayya berdecih sambil meletakkan hair dryer kembali ke atas meja rias. Masih dengan melihat pantulan bayangan Mustika di cermin Alayya pun berkata, “Oke, Nyonya. sekarang katakan padaku apa keperluan Anda datang ke kamarku.”Wanita berusia 58 tahun itu berdecak tak suka. Wajah judesnya kentara sekali sekarang. “Tolong ya, itu mulut dijaga bicaranya. Ini bukan kamarmu tapi milik keponakanku Ibrahim.” Perkataan Mustika membuat Alayya naik darah. Sisir yang ada di tangan kanannya dia hentakkan sekuat tenaga ke atas meja yang mana berhasil membuat Mustika terlonjak di tempatnya berdiri. Sejurus kemudian Alayya memutar tubuhnya menghadap wanita paruh baya itu tanpa beranjak dari kursinya. “Mau Nyonya apa sih? Udah masuk nggak ketuk pintu dulu, sekarang mengkomplain semua ucapanku. Aku yang menempati kamar ini sudah barang tentu akulah pemiliknya, kalau mau protes bilang aja sama keponakanmu yang ganteng itu.”Mustika benar-benar kesal kali ini. Dia sengaja naik ke lantai dua setelah memastikan Ibrahim pergi ke kantornya. Niatnya ingin menyeret perempuan bermata almond ini dari ranjangnya karena sudah siang belum juga bangun, tetapi ternyata Alayya sudah bangun bahkan sudah mandi. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Mustika harus memberi peringatan dan pelajaran pada Alayya agar bisa bersikap selayaknya tamu di rumah ini. Sayangnya, wanita berkulit putih dan berwajah indo ini bukan perempuan yang mudah di lawan. Ucapan Mustika sama sekali tidak membuatnya takut atau segan padahal jelas-jelas dia adalah Tante dari orang yang sudah membawa wanita itu ke mari.“Aku cuma mau kamu tahu, aku juga punya kuasa di rumah ini. Kalau kamu masih aja nggak bisa bangun pagi dan mengikuti semua aturan di sini, aku sendiri yang akan menyeretmu keluar dari kediaman ini juga dari kehidupan Ibrahim, ngerti kamu?”“Kalau aku nggak mau, Nyonya mau gimana?” tantang Alayya dengan tatapan sinisnya pun sudah berdiri dari duduknya.“Bisa apa kamu melawanku?” “Bisa aja. Lagian aku sendiri yang mau datang ke rumah ini, jadi kalau mau pergi, tentu itu juga karena keinginanku bukan karena Anda atau Tuan Ibrahim sekali pun. Sekarang keluar dari kamarku,” tunjuk Alayya pada pintu kamarnya yang masih terbuka lebar. Mustika makin membelalakkan matanya. Selama ini tidak ada yang berani melawannya, tetapi wanita ini? Mustika seperti kehilangan kata untuk sekedar membantah wanita di depannya ini. Maka dengan membawa kekesalan yang amat sangat dalam hatinya. Mustika hentakkan kaki berbalut sepatu heels rendah ke lantai sebelum akhirnya meninggalkan kamar Alayya. Wanita muda itu pun tertawa girang bisa melihat Tante dari Ibrahim itu kesal dan marah bersamaan. Alayya memejamkan matanya saat Mustika menutup pintu kamar sedemikian kerasnya. Tidak ingin terlalu peduli pada nasib pintu bercat putih itu, Alayya pun kembali menatap dirinya melalui cermin oval di meja rias. Dia berdecak untuk kesekian kali karena pakaian yang dia kenakan saat ini bukanlah seleranya. Alayya sudah mencari ke seluruh sisi lemari, tetapi tidak ada satu pun pakaian yang dirasa cocok. Alhasil dia pilih gamis A line berwarna merah marun yang longgar, tetapi pas membalut tubuh langsingnya. “Sampai kapan aku harus memakai baju seperti ini? Siapa sebenarnya Nisa itu, kenapa pakaiannya longgar dan panjang-panjang seperti ini? Gerah kan, ini. Mana sumpek di kamar terus,” gerutunya sambil berjalan mondar-mandir. Saat itulah dia baru teringat akan ponselnya. Benda pipih itu semalam diminta paksa oleh Ibrahim. Laki-laki itu tanpa sopan santun menggeledah tas Hermes miliknya di dalam mobil. “Saya ambil ponselmu, besok saya akan membelikan yang baru untukmu,” ujar Ibrahim tadi malam. Dia bahkan tidak menggubris penolakan Alayya. “Kenapa harus di ambil? Semua nomor teman-temanku di situ.” “Juga nomor-nomor pelangganmu bukan?” Alayya bungkam. “Itu sebabnya kenapa ponselnya aku simpan dan akan aku musnahkan, carilah teman baru dan relasi yang lebih baik lagi nanti.”“Eh, Tuan ….” tangan Alayya sama sekali tidak dia biarkan menyentuh ponselnya yang akhirnya masuk kantong jas mahal Ibrahim. “Sial! Sial! Sial! Ibrahim sialan!” umpatnya ketika bayang kejadian saat perjalanan menuju rumah ini tadi malam kembali hadir di benaknya.“Sekarang aku harus gimana? Aku butuh ponsel itu!” Gerak kakinya bukannya berhenti, tetapi makin cepat bolak-balik. Alayya panik. Tentu saja, selain bos tempat dia bernaung–Darel– juga ada sahabatnya Ghania yang pasti sangat khawatir karena tidak mendapatkan kabar apa pun darinya sejak semalam. Tanpa mau menunda waktu, Alayya menuju pintu kamar dan membukanya. Namun, langkah lebarnya terhenti saat seorang pria menyapanya. “Nona mau ke mana?” Cepat Alayya berbalik. Dia heran kenapa ada pria di depan kamarnya. Dilihat dari pakaiannya, pria ini sama seperti pria-pria yang ada di dekat Ibrahim semalam, sontak wanita itu memukul dahinya sendiri, dia lupa kalau kamarnya dalam penjagaan. “Aku mau ketemu Tuan Ibrahim, kamu siapa?” tanya Alayya dengan wajah polosnya. “Kenalkan Nona, saya Bembi, saya salah satu penjaga kamar Anda. Maaf, Tuan Ibrahim ada di kantor, Anda tidak bisa menemuinya sekarang,” terang pria jangkung berambut cepak dan berkumis itu. “Tapi aku butuh ketemu sekarang!” Keukeh Alayya yang sudah kembali memutar tubuhnya bersiap untuk melangkah pergi, tetapi lagi-lagi Bembi mencegahnya. “Nggak bisa, Nona. Turuti saya atau Anda akan membuat saya dalam masalah,” pinta pria yang usianya jauh lebih tua dari Alayya itu. Wanita itu mendengkus kasar. Sial sekali dirinya bertemu dengan manusia bernama Ibrahim. Semua aktifitasnya dibatasi, kebebasannya dikurangi, habis ini apalagi? gumam Alayya dalam hati. “Baik, kalau gitu hubungi Tuan Ibrahim, saya butuh bicara padanya. Sekarang!” titahnya dengan wajah yang sudah berubah serius. Tentu saja Bembi segera merogoh ponselnya yang ada di saku celana bahannya itu, lalu menghubungi nomor sang atasan. “Halo.” akhirnya Ibrahim mengangkat panggilan Bembi di dering ketiga. “Maaf, Tuan. Nona Ayya ingin bicara pada Anda. Apa Anda berkenan?” tanya Bembi hati-hati.“Berikan ponselmu padanya.” Segera saja perintah Ibrahim dilaksanakan. Benda pintar itu kini sudah ada di tangan Alayya.“Tuan di mana?” “Ada apa? Waktu saya nggak banyak.” Decakan Alayya beri pada pria bercambang tipis itu. “Aku butuh ponsel saat ini juga, cepat berikan ponselku,” jelas Alayya segera. “Nggak hari ini. Besok saya akan berikan ponsel baru untukmu, bersabarlah.”“Apa! Halo … halo …” Bersambung …Alayya kesal bukan main, sambungan teleponnya diputus begitu saja oleh Ibrahim. “Kurang ajar banget sih ini orang!” Alayya menggerutu sambil menatap layar ponsel yang kembali hitam. Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor yang tadi, tetapi hasilnya nihil. Ibrahim sama sekali tidak menggubris dering telepon darinya.“Benar-benar menyebalkan!” Gerak tangan Alayya yang akan melempar ponsel itu menggantung di udara saat terdengar Bembi berseru, “Tunggu Nona! Itu, kan, ponsel saya!” Hampir saja benda pipih itu menyapa lantai kalau saja Bembi terlambat mencegah apa yang akan wanita itu lakukan barusan. Alayya mendelik, sedetik kemudian dia menyadari kesalahannya.“Maaf …,” ucapnya ketus seraya mengulurkan kembali ponsel itu pada sang ajudan. Dia pun kembali masuk ke kamar dengan rasa kesal yang menyesakkan dadanya. “Nggak! Aku nggak mau terkurung di sini! Aku harus bisa keluar dari rumah ini secepatnya!” ujarnya be
Ibrahim mengalihkan tatapan matanya pada objek di depan mobilnya sambil menjawab, “Saya Ibrahim. Mulai saat ini, Ayya akan tinggal bersama saya, jadi kamu tidak perlu menunggunya pulang atau pun mencarinya.” “Kenapa begitu?” sela Ghania cepat. “Ayya sahabat saya, saya harus tahu di mana dia dan siapa Anda sampai bisa membawanya pergi? Apa Anda tidak tahu kalau Tuan Darel pasti akan marah dan mencari dia?” Ucapan Ghania berhasil menarik perhatian Ibrahim. “Darel? Siapa dia?”Wanita yang bibirnya masih berpoles lipstik merah menyala itu berdecak. “Sudah saya duga Anda pasti nggak tahu dia.” Ghania memiringkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Ibrahim yang mana dress-nya tersingkap memamerkan paha atasnya yang mulus. Bersyukur Ibrahim bukan pria mata keranjang. Suguhan tiba-tiba itu tidak mempengaruhi konsentrasinya sama sekali. “Tuan Darel Agustino adalah pemilik klub tempat kami bernaung. Dan saya beritahukan pada Anda,
Alayya tidak pernah menyangka kalau dia akan mengalami kejadian seperti ini. Memalukan sekaligus menyedihkan itulah dirinya sekarang ini. Bagaimana tidak. Seusai dirinya makan siang tadi, dia sudah berencana kembali ke kamarnya, tetapi melihat suasana rumah yang sepi apalagi tidak ada Nyonya Lampir (ini panggilan Alayya pada Mustika) jiwa ingin tahu Alayya pun meronta-ronta untuk dipuaskan. Perempuan yang dua bulan lagi berumur 24 tahun ini beranjak dari kursinya di ruang makan, bukan lantai dua tujuannya, dia ingin melihat-lihat isi rumah Ibrahim di lantai satu sembari mencari celah kalau-kalau ada jalan untuknya keluar. “Non, mau ke mana?” Christy bertanya saat Alaya baru saja menginjak pintu keluar menuju kolam renang“Hai, Chris. Aku mau jalan-jalan di luar sebentar. Boleh ya?” tanya Alayya dengan wajah berseri. Tidak ada kecurigaan sedikitpun pada diri Christy terhadap sikap Alayya, maka tanpa ragu wanita paruh baya itu
“Chris, apa Tuan Ibrahim udah pulang?” Alayya bertanya pada Christy yang sedang mengganti perban di lututnya. Sejak pulang marah-marah tadi siang, pria itu belum terlihat lagi olehnya.Sambil menggunting plester, Christy pun menjawab. “Tuan nggak akan makan malam di rumah hari ini, Nona.”“Oh, ya? terus biasanya pulang jam berapa, Chris?” entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawtirkan Ibrahim. “Nggak tentu, Non. Kadang jam sepuluh malam kadang lewat tengah malam.” Christy bangkit dari duduknya dengan kotak P3K ada di tangannya. “Non tenang aja, saya akan bawakan makan malam Anda ke sini. Saya permisi dulu, ya?’Alayya mengangguk saja. Namun, baru dua langkah berjalan, pertanyaan Alayya membuat kakinya berhenti bergerak. “Aku mau lihat foto Nisa, apa boleh, Chris?’Christy menengok. Wajah Alayya terlihat serius sekali menatapnya. “Maaf, Non. bukan saya yang bisa memutuskan hal itu karena jujur saja semu
“Apa Anda bisa menemani saya ngobrol Tuan? Saya belum ngantuk soalnya,” seru Alayya dengan beraninya dari atas balkon padahal dia tahu malam semakin larut dan Ibrahim baru saja kembali.Namun, bukannya marah, pria tampan itu sejenak berpikir lalu tanpa ragu dia pun menjawab, “Tunggu saya di dalam, saya akan segera datang.”Ucapan itu tentu saja membuat Alayya merekahkan senyumnya. Manis sekali, untuk sesaat Ibrahim merasa melihat senyum sang istri di sana. cepat dia menggeleng agar menghilangkan bayangan itu dari pikirannya, lalu dia pun bergegas masuk ke rumah. Melihat ibrahim tidak lagi berada di teras, Alayya pun memutar tubuhnya dan kembali berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Sesuai ucapannya, lima belas menit kemudian ibrahim yang sudah melepas jas meninggalkan kemeja putih yang digulung hingga siku mengetuk pintu kamar Alayya. Pria itu pun masuk setelah si empunya kamar memberinya izin. “Saya pikir A
Untuk pertama kalinya dalam hidup Alayya, Dia bisa bangun pagi, bahkan lebih pagi dari yang pernah dia lakukan selama ini, tepat saat adzan subuh Ibrahim berhasil membuat wanita muda itu bangun dari tidurnya“Anda benar-benar resek, ya, Tuan! Orang masih enak-enak tidur disuruh bangun,” gerutu Alayya yang sudah duduk di atas ranjangnya. Matanya masih separuh terpejam.“Nanti kamu juga akan terbiasa. Pertama memang seperti itu, sangat berat membuka mata dan nggak nyaman sekali. Makanya harus dibiasakan,” ucap Ibrahim masih dari sisi ranjang. “Dih, males banget! Nggak deh. Mending Tuan aja, ya? Saya baru tidur Tuan. Mata saya berasa lengket. Saya mau tidur lagi, ya?” “Eh … Kok malah balik tidur lagi?” Ibrahim menahan lengan alayya yang akan kembali berbaring di tempat tidurnya.“Bukannya semalam kamu tidur lebih awal? Kenapa masih nggak bisa juga bangun pagi?” tanya Ibrahim dengan nada kesal, karena seingat dia, lampu kamar Alayya sudah mati pukul sebelas malam.Alayya mendelik heran.
“Tante kenapa? Apa ada yang sakit?” Mustika terkesiap. Tidak menyangka kalau Ibrahim sedang memperhatikannya. Mustika berdehem sejenak hanya untuk melonggarkan tenggorokannya yang dirasa tercekat. “Nggak ada kok, Ibrahim. Tante baik-baik aja, karena supnya masih panas aja jadi Tante diam,” jelasnya yang sudah pasti berbohong. Ibrahim hanya mengangguk saja, lalu melanjutkan makannya, sedangkan Alayya tak peduli. Dia dengan lahap menyantap semua yang disediakan Christy di depannya. Segera menyelesaikan sesi sarapan ini dan kembali ke kamarnya adalah hal yang sangat ingin dia lakukan saat ini. “Lukamu bagaimana, Ya? Perbannya udah diganti?” tanya Ibrahim yang mengalihkan tatapannya pada Alayya. “Udah, pakai plester aja kok,” jawab Alayya dengan mulut yang penuh makanan.Ibrahim terkekeh. “Salep lebamnya udah dikasih juga?” Kali ini Alayya mengangguk. Malas bicara. Sandwich-nya terlalu enak untuk diabaikan.Akan tetapi, kehadiran
“Nggak usah cari perhatian kamu, Ayya. Ibrahim nggak akan tertarik sama wanita bekas orang kayak kamu ini.”Alayya mendelik tak terima dengan sindiran Mustika. Dia benar-benar kesakitan sekarang. Salahnya juga karena terburu-buru mau bangkit dari kursinya, lutut yang masih lebam dan terluka itu terantuk bibir meja makan bagian bawah. Bukannya membantunya, Mustika malah menuduhnya yang bukan-bukan. Jadi jangan salahkan kalau akhirnya Alayya menepis tangan Ibrahim yang ingin menyentuh kakinya. “Nggak perlu, Tuan. Saya bisa sendiri,” ucap Alayya dengan nada ketus. Ibrahim tidak memaksa, tetapi tangan yang berhenti di udara itu pun dia kepalkan dengan erat. Kesal? Bukan. Ibrahim sungguh mengkhawatirkan Alayya. Namun, wanita itu sudah tidak ada di kursinya. Pria yang pagi ini memakai jas abu-abu itu menengok ke belakang punggungnya, Alayya berjalan dengan tertatih sambil memegang lututnya yang terluka. “Kenapa Tante bicara seperti tadi?” Pelan, tetapi cukup untuk menyentil perasaan Mus