Di rumah, Hanum menunggu dengan gelisah. Saat ini dia sedang duduk di sofa ruang keluarga, sambil memegang handphone di tangannya, menunggu kabar baik dari Dava."Non, minum teh hangat dulu biar lebih tenang." Marni menyerahkan secangkir teh manis hangat kepada Hanum."Terima kasih ya, Bi. Maaf kalau aku sering merepotkan Bibi." Hanum bicara sambil menerima secangkir teh manis buatan Marni."Sama-sama, Non. Bibi ke belakang dulu.""Iya, Bi." Kembali dia menikmati secangkir teh manis di tangannya, dan ia merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.Masih memegang gagang cangkir, handphone yang tadi disimpan di atas sofa saat ini berdering. Hanum mengambil kembali handphonenya, melihat nama ibu mertua pada layar ponselnya, lalu ia pun menjawab panggilan itu walau sedikit ragu."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam," balas Nani. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya mengajukan pertanyaan. "Memangnya tadi Nara ada ke situ?""Iya, Bu. Ada. Nara ke sini cuma mau ambil Abiyu.""Pantesan tad
Fitri berhasil diamankan, karena dianggap biang kerok dari keributan. Setelah Fitri dibawa pergi, Hanum meneteskan air mata sambil menatap wajah Nani seraya memanggilnya dengan suara lirih. "Ibu."Nani menatap lekat-lekat wajah Hanum, lalu mengusap air matanya. "Kenapa nangis?""Ibu membela aku.""Maafkan ibu, Num. Selama ini ibu udah salah menilai kamu. Sungguh maafkan ibu, Num."Hanum menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Ibu nggak salah, aku sebagai anak yang seharusnya mengerti Ibu. Hanum juga minta maaf sempat menentang Ibu, menyakiti perasaan Ibu.""Kamu nggak pernah melakukan itu, Hanum. Ibulah yang udah melakukan itu semua, Ibu sampai malu mau minta maaf sama kamu, hingga akhirnya bapak berhasil meyakinkan ibu untuk tidak perlu takut jika ingin memperbaiki diri dan ibu baru punya keberanian untuk membela kamu," jelas Nani dan penjelasan itu membuat Hanum semakin terharu, tangisnya semakin menjadi."Ibu ...." Suara Hanum bergetar, lalu Nani memeluk Hanum dengan erat. Mulai hari
"Kamu hamil, Num?" ucap Nani masih menatap tidak percaya. Masih menggendong Abiyu, Nani mengambil tespek dari tangan Hanum dan matanya langsung berkaca-kaca. "Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya Allah mengabulkan doa kamu, Num.""Berkat doa ibu juga, Bu," sambung Hanum."Doa kita semua."Hanum mengangguk, lalu merangkul sang ibu mertua dari samping. "Lengkap sudah kebahagiaan aku sama Mas Dava, Bu.""Iya, Num." Selepas bicara dengan Hanum, Nani bicara kepada cucunya. "Abiyu mau jadi kakak. Ye, ye. Punya temen main."Dia yang belum mengerti apa-apa pun merengek sambil berontak minta diturunkan, karena mau bermain lagi dengan mainannya yang banyak berserakan di atas rumput.Nani menurunkan cucunya turun dari pangkuan, membiarkan cucunya bermain di bawah, sementara dia bicara dengan Hanum."Udah satu Minggu kita belum ketemu sama Nara. Kamu mau nggak ajak Abiyu ke sana?" ajak Nani.Tanpa ragu Hanum menjawab, "Boleh. Kapan?""Sekarang, yuk. Dava udah berangkat, kan?""Udah, Bu.""Ya udah ayo
"Hanum, kamu kenapa?" Dava terkejut ketika melihat Hanum, sang istri sedang menangis terduduk di bawah wastafel kamar mandi."Mas, Dava," lirih Hanum sambil mendongakkan kepalanya."Apa yang terjadi, Sayang?" Dava menghampiri Hanum, lalu membawanya ke dalam pelukan. "Kamu sakit? Kamu terluka?""Tuhan nggak adil, Tuhan nggak sayang sama aku. Kenapa Tuhan tega melakukan ini sama aku, Mas. Setiap bulan aku terus menanti kepercayaan. Aku menanti Tuhan menitipkan bayi ke dalam perutku, tetapi sampai sekarang Tuhan belum juga percaya sama aku. Apa aku nggak layak jadi seorang ibu?" Hanum menangis meraung dalam pelukan Dava, Dava Mahendra. Seorang suami yang begitu mencintai istrinya yang bernama Hanum Sabilla."Jangan bicara seperti itu, Hanum. Mungkin memang belum waktunya Tuhan memberikan kita keturunan. Sabar ya, Sayang." Dava coba menenangkan sang istri dengan trus memeluk, mengusap punggungnya dengan lembut."Sampai kapan, Mas. Kita udah menikah selama 3 tahun, tapi sampai sekarang aku
Hanum melupakan pesan yang dikirim oleh sang ibu mertua. Saat dia mencari obat di dalam laci nakas, ponselnya kembali berdering tanda pesan masuk. Dari layar terlihat kalimat, "Ada pesan dari mertua bukannya bales, ini malah cuma diliat doang.""Oh, iya. Aku lupa bales," gumam Hanum sambil menahan sakit ia membuka pesan dari sang mertua, lalu mengetik balasan."Maaf, Bu. Hanum baru baca pesan dari ibu. Hanum ada di rumah, ada apa ya, Bu?""Antar ibu ke pasar!" balasnya singkat, jelas, padat."Maaf, Bu. Bukan Hanum nggak mau, tapi perut Hanum lagi sakit, sakit banget malah. Buat jalan aja ini susah.""Kenapa? Kamu datang bulan lagi?"Tidak langsung membalas. Bukan tidak mau, hanya saja Hanum merasa takut mengatakan yang sebenarnya. Dia pasti kena marah dan parahnya lagi niat sang mertua yang sudah sejak lama menginginkan putranya Dava menikah dengan wanita lain demi keturunan akan semakin bulat. Namun, jika berbohong pun tidak ada untungnya sehingga Hanum mengatakan hal yang sebenarnya
Nani sudah merencanakan sebelumnya yang memang ingin menikahkan putranya Dava dengan Nara sang sekretaris. Rencana itu sudah cukup lama ia pikirkan, hanya saja belum sempat ia bicarakan dengan keduanya karena masih menunggu Hanum yang hamil. Tetapi, tadi saat mengetahui Hanum datang bulan lagi, Nani pun mengatakannya dan ia rasa saat ini adalah waktu yang sangat tepat."Apa maksud Ibu bilang kayak gitu?" Dahi Dava mengerut. Dengan tegas ia katakan, "Aku udah punya istri, Bu. Namanya Hanum dan aku sangat mencintai istri aku.""Wanita mandul itu?" hina Nani terhadap sang menantu yang beruntungnya sedang tidak ada di sana. Jika ada, entah bagaimana perasaan Hanum yang selalu mendapatkan hinaan dari sang mertua."Hanum nggak mandul, Bu," bela Dava."Kalau nggak mandul, kenapa sampai sekarang belum juga hamil? Tiga tahun loh kamu menikah sama Hanum dan belum punya anak. Pernikahan macam apa tidak menghasilkan keturunan? Tujuan menikah itu punya keturunan, Dava."Dava menggelengkan kepalany
Setelah Nara pergi, perdebatan masih saja terjadi antara Dava dengan sang ibu. Dava terus menolak untuk menikahi Nara, sedangkan Nani terus memaksanya."Ibu ini apa-apaan? Kenapa ibu minta Nara nikah sama aku, pake acara tes kesuburan segala. Ibu mikirin perasaan kita nggak sih?""Dava, apa ibu nggak salah denger kamu bilang gitu sama ibu? Kamu minta ibu mengerti perasaan kamu. Kamu sendiri apa mengerti perasaan ibu? Ibu pengen cucu dari kamu, Dava. Keturunan dari darah daging kamu.""Tapi aku maunya Hanum yang mengandung, Bu. Bukan perempuan lain. Coba ibu bayangkan gimana perasaan Hanum saat tau Ibu memaksa aku menikah sama Nara, yang mana Nara sendiri sahabat Hanum. Ibu bisa bayangkan bagaimana sakitnya dia?""Ibu tau ini sakit, tapi Hanum juga harus tau diri. Tiga tahun ibu menunggu keturunan dari kalian, tapi mana? Nggak ada, kan?""Ibu sabar dong, Bu. Kami juga lagi berusaha." Dava coba bicara dengan lembut."Kenapa sih kamu itu nggak paham-paham? Kurang sabar apa ibu nunggu sel
Malam hari. Dava yang baru saja sampai di rumah, masuk ke dalam langsung mencari keberadaan Hanum. Dia melihat sang istri sedang berada di dapur, berkutat dengan masakannya yang entah sedang membuat apa.Dava meletakkan tas kerjanya di atas sofa, berjalan menuju dapur sambil melepaskan kancing lengan, lalu menggulung bagian lengannya sampai sikut. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah. Berilah kepercayaan kepada kami untuk memiliki keturunan, hamba tidak tega kalau harus mengikuti keinginan ibu hamba. Kami hidup berkecukupan, kami sangat menyukai anak-anak, usia kami sudah cukup matang, apakah itu semua belum cukup, Ya Allah?"Terus ia bergumam. Berjalan menaiki dua anak tangga sebagai pembatas antar ruang keluarga dengan ruang makan. menghampiri istri tercinta, memeluknya dari belakang secara tiba-tiba, hal itu sontak membuat Hanum terkejut."Mas Dava, ngagetin aja deh. Untung adonannya nggak jatuh." Hanum bicara seraya melihat wajah wajah Dava dari samping."Namanya juga kejutan." Setel