Gadis Kecil Teman Anakku
Apa? Gak mungkin! Semua berkas kepemilikan tanah dan bangunan masih atas namaku, serta surat-surat penting lain yang digunakan untuk bahan persyaratan izin usaha restoran masih atas nama Mas Irwan sebagai Direktur utamanya.Jadi ... apa yang wanita itu maskud dengan, "Saya pemilik restoran ini?"Atau jangan-jangan, benar wanita itu adalah istri kedua Mas Irwan yang merasa sudah menjadi bos di restoku? Aarrgh! Kepalaku serasa mau pecah, memikirkan ini semua.Mulanya, aku sempat berpikir jika usaha kami sudah berpindah tangan ke tangan wanita itu. Jujur, aku masih berharap usahaku saja yang berpindah tangan, bukan hati suamiku.Jika begini buktinya, apa yang harus kuperbuat. Kukira, Mas Irwan telah menjualnya pada orang lain, sehingga ia lebih sibuk di resto cabang yang memang tidak memiliki bangunan atas nama sendiri, meliankan sewa.Apa benar, suamiku telah berkhianat dan memberikan restoran itu pada wanita hamil itu, sebagai hadiah mungkin?Masalah satu belum selesai kuselidiki, kini masalah baru sudah muncul ke permukaan. Mengapa juga resto yang di Tangerang harus kebakaran."Astaghfirullah ... ini namanya sudah takdir, Nadia," gumamku, menyesali sesuatu yang sempat terlintas di hatiku.Semua yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Maka dari itu, aku tak perlu takut jika hati suamiku telah berpaling ke lain hati. Artinyaz aku hanya perlu terus berjalan, memperjuangkan hak anak semata wayangku.Ya, aku tak boleh lemah!**Hari sudah sore. Mas Irwan belum juga sampai di rumah. Aku dan Allisya bermain sepeda di sekitar komplek perumahan elit tempat kami tinggal. Di tengah komplek, ada sebuah taman kecil khusus untuk bermain anak-anak komplek sini. Allisya akan sangat senang jika kuijinkan bermain di taman ini, bertemu dengan teman sebayanya. Hanya saja, aku belum berani melepasnya bermain sendiri.Mas Irwan tak juga mengirim pesan. Padahal, ponsel selalu kubawa ke mana pun aku pergi. Meski aku curiga akan dirinya, namun tetap saja hati ini bertaut ingin diperhatikan. Terkadang aku benci dengan rasa ini yang terlalu salam untuknya."Jangan, ini punyaku!""Pinjam, Al!""Aku dulu!"Aku menoleh pada Allisya yang tadi sedang bermain dengan temannya. Mereka berdua berebut sepeda yang tadi Al bawa dari rumah. Sepertinya, teman Allisya ingin meminjamnya."Hey, Sayang. Kenapa?" tanyaku, mendekat dan menundukkan wajah agar sejajar dengan kedua bocah berusia 7 tahun itu."Khiara mau pinjam, tapi maksa. Aku dulu, dong, Ma. Ini 'kan sepadaku," jelas Allisya."Huh, dasar pelit!" dengkus Khiara--teman Allisya. Aku sedikit heran. Mengapa anak ini sering bermain di taman ini sendirian, tanpa didampingi orang tua. Dan satu hal yang membuatku merasa aneh. Anak ini seperti tidak memiliki rasa hormat sedikitpun terhadap orang tua temannya. Beraninya ia mengumpat Allisya di hadapanku.Bukannya aku tidak memaklumi karakter anak kecil. Hanya saja, anak seusianya seharusnya sudah paham cara menghormati orang tua. Minimal, punya rasa takut terhadap orang tua temannya."Khia, main sepedanya gantian, ya. Biar tante yang hitung berapa putarannya, tapi Allisya duluan." Kucoba untuk menenangkan amarahnya."Gak usah, Tan. Khiara memang orang mis_kin. Gak pantas main sepeda bagus kayak punya Al," ketusnya, hendak melangkah meninggalkan aku.Aku menahan pergelangan tangannya. "Siapa yang bicara seperti itu? Apa Al ada bicara yang tidak enak?" tanyaku, terpaksa berjongkok demi mensejajari tubuhnya.Meski di mataku ia bersalah, namun ia pantas mendapatkan kelembutan. Siapa sangka, jika di rumahnya mungkin anak ini selalu merasa tertekan, sehingga menjadikannya anak yang kurang sopan santun."Gak ada, sih. Tapi ... ya, bisa saja, bukan semua orang berpikir seperti itu padaku. Sudah, Tan, Khia mau pulang. Takut dicariin Mama!" teriaknya sambil berlari meninggalkan taman.Aku masih berlutut di atas rumput hijau yang membentang di atas tanah seluas sekitar 500 meter kubik ini, menatap kepergian gadis kecil berkulit sedikit gelap itu."Maaf, ya, Mama gak bisa bujuk teman kamu," ucapku pada Allisya."Iya, Ma. Tapi, Al jadi gak enak, deh. Padahal, Al enggak pernah bilang Khiara mis_kin. Lagian, dia juga tinggal di rumah yang sama seperti kita. Di komplek yang sama. Rumahnya besar, kayak rumah kita," jelas Allisya.Aku mengernyit. Betul juga yang Allisya katakan. Bagaimana mungkin anak seorang mis_kin bisa tinggal di komplek perumahan seperti ini. Apa mungkin dia anak asisten rumah tangga di komplek ini? Aku jadi penasaran."Al tau rumahnya?" tanyaku menyelidik. Pasalnya, Allisya tidak pernah kuijinkan main tanpa pengawasanku."Tau. Waktu Al berangkat pakai Bus sekolah, pak sopir selalu berhenti di depan rumah Khiara, Ma."Allisya memang sempat ikut bus jemputan dari sekolah, setiap berangkat dan pulang. Tapi tidak lama, karena aku kasihan padanya harus berangkat pagi-pagi sekali dan berkeliling menjemput teman-teman lainnya."Jadi, kalian satu sekolah? Khia kelas berapa, Nak?" tanyaku. Sebab jika kuperhatikan dari postur dan caranya bicara, sepertinya Khiara berusia di atas Allisya."Kelas tiga, Ma," jawab Allisya terlihat mendung di wajahnya. Benar dugaanku bahwa anak itu lebih besar beberapa tingkat dari anakku."Al kok, sedih?""Allisya gak enak sudah buat Khiara sedih." Gadis kecilku menunduk dengan bibir menyerucut manja."Ya, sudah. Kita susul Khiara ke rumahnya, ya. Pinjamkan sepedamu untuk beberapa hari padanya, nanti biar Mama yang ambil.""Al pulang jalan kaki?" Allisya menunjuk ke arah dadanya."Naik di sini," ucapku, menujuk besi batangan sepeda di depan sadel."Oke, Ma!"Aku jadi semakin penasaran dengan anak itu. Dia mengaku mis_min, tetapi tinggal di komplek perumahan elit dan sekolah di sekolah yang terbilang mahal. Siapa sebetulnya anak itu?Bersambung ....Siapa Gadis Kecil Itu, Sebenarnya?Kami berputar di gang komplek bagian belakang, yang nyaris tak pernah kulewati. Allisya menunjukkan arah setiap kali kami menemukan perempatan.Jauh juga ternyata. Mengapa Khiara lebih suka main di taman tadi, sementara taman di gang belakang pun ada."Ini rumahnya, Ma!" teriak Allisya, ketika aku hampir melewati rumah yang bangunannya sama semua."No. 28?" tanyaku untuk memastikan."Iya, Ma. Itu Khiara!" tunjuknya pada gadis kecil tadi tang baru saja masuk ke halaman samping rumahnya."Khiara!" panggil Allisya tak sabar. Suaranya memekik, membuat gadis kecil itu lantas menoleh ke arah kami berdiri.Khiara berlari ke arah kami masih dengan wajah cemberutnya. "Ada apa, Tan?" tanyanya.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebab ada Allisya yang akan menjelaskan."Aku mau pinjamin sepeda ini buat kamu. Nanti, Mamaku yang ambil kembali ke sini," jelas Allisya dengan lembut."Memangnya, aku enggak boleh, ya, antar sendiri ke rumahmu?" tanya gadis itu se
AktingEnggak! Aku tidak terima. Usia Khiara dua tahun di atas anakku. Tidak mungkin Mas Irwan menikahiku setelah menikah dengan wanita itu. Jika benar, artinya aku si pe_la_kor itu? Enggak! Enggak mungkin!"Gak mungkin!" ucapku sedikit lirih, seraya menjambak rambutku yang memang kubiarkan tanpa penutup. Jika di dalam rumah, aku selalu menanggalkan hijabku."Mama kenapa?" tanya Allisya bagai udara yang menguap begitu saja.Bayangan bahagia di hari pernikahan kami kini berputar kembali bagai film yang tersiar di televisi.Mas Irwan bukan berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memang memiliki kemampuan yang sangat baik di bidang tata boga. Kabarnya, Mas Irwan memang sangat ingin menjadi seorang koki. Hal itu terlaksana ketika ia menikahiku. Papa membiayai kuliahnya ke jurusan tata boga, hingga pada akhirnya Mas Irwan menjadi koki terkenal di Ibukota ini.Dua tahun pernikahan kami, saat usia Allisya baru satu tahun, ada seorang teman yang mengajaknya membuka usaha kuliner. Tapi sayan
Sedikit Hukuman"Kok, menjauh?" selidiknya."Aku masih haid!" tukasku."Iya, tau. 'Kan cuma mau peluk," lirihnya."Gak usah. Nanti ujung-ujungnya minta juga. Aku malas debat," ucapku, menarik bed cover dan membawanya ke sofa di kamar kami."Lho, mau ke mana?""Sini. Mas tidur di sini, biar aku di kasur," panggilku setelah menyiapkan bed cover ke atas sofa."Kenapa? Aku gak minta, janji!" Dia mengangkat dua jari ke udara dan aku hanya tersenyum sinis."Gak tau. Bawaannya aku malas tidur seranjang, Mas. Udah, sini. Atau aku tidur di kamar Al?""Oke. Ya, udah, kamu tidur di sini biar Mas di sofa." Pria itu akhirnya beringsut pindah ke sofa dan aku segera pindah ke ranjang kami yang besar.Tatapannya terus saja memindai ke arahku, sepertinya bingung dengan sikapku."Mas kayaknya besok masih harus ke Tangerang, ya. Yang di sini, biar sama Badrun," ucapnya yang sudah mulai memejamkan mata. Aku menoleh bak busur panah yang siap menancap. Mana ada Badrun bunting, Mas! batinku ingin marah."Ok
Semua Aman di Tangan Nadia"Jangan-jangan, kamu sudah mengganti kodenya?" tudingku.Mas Irwan menoleh, bibirnya memaksakan senyuman seraya menggaruk tengkuk."Emm ... iya, Sayang. Bosan aja pake kode lama. Jadi, Mas ganti dengan kode baru," cicitnya masih menggaruk tengkuknya."Bosan, kamu bilang? Itu tanggal pernikahan kita, Mas! Kamu bosan dengan pernikahan kita? Atau jangan-jangan, kamu ganti kode brankas kita dengan tanggal pernikahan keduamu? Iya?" tudingku lagi, tak kuasa menahan gemuruh di dadaku."Sayang ... kamu ngomong apa, sih? Sudah, ah, gak usah dibesar-besarkan. Malu, dilihat Allisya. Lagi pula, kodenya pake tanggal lahir Allisya, kok," desisnya dengan nada nyaris tak terdengar.Apa? Tanggal lahir Allisya? Mengapa kemarin aku tidak terpikir ke sana. Apa aku hanya terlalu mencurigainya saja?Aku tak menjawab lagi. Gegas menyusul Allisya yang sudah duduk menunggu di dalam mobil. Aku bahkan malas mengucap pamit lagi padanya.**Sesampainya di resto, aku tak melihat kehadira
Tertangkap BasahWanita itu menoleh dan seketika membulatkan mata, hingga bibirnya pun terbuka. Tangan kanannya ia angkat untuk menutup bibirnya.Aku tersenyum tipis, lantas terkekeh hingga ia semakin lama semakin memucat."Eh, Ibu. Ma-maaf, saya bukan siapa-siapa. Iya, 'kan, Bu?" jawabnya, tergesah-gesah mencubit lengan Ibunya."Heh, kamu gimana, sih?" bisik sang Ibu seraya membolakan mata. Sementara aku, masih menatap keduanya secara bergantian. Bahkan posisiku masih tetap sama dengan tangan bersilang di depan dada, agar terkesan santai, tetapi mencekam bagi mereka berdua."Kalau bukan siapa-siapa, kenapa harus memarahi koki saya? Mereka sedang bekerja, sedang berusaha memberikan yang terbaik untuk pelanggan kami." Aku mencoba mengomelinya namun tetap dengan nada yang santai."Ka-kami juga laper. Sudah nunggu dari tadi, ya, Bu." Sang anak masih saja menoleh pada Ibunya, seolah mencari dukungan. Tetapi, agaknya sang Ibu tak mau mendukung. Terlihat wanita setengah baya itu justeru mel
Genderang PerangPoV Author'Kurang aj*r sekali wanita ini. Dia tidak tahu bagaimana pengorbanan Papa untuk mendapatkan dan memberikan ini semua padaku. Seenaknya dia ingin kepemilikan restoran ini menjadi nama anaknya,' batin Nadia."Jangan harap!" balas Nadia. "Terserah, siapapun kalian. Yang jelas, saya tidak akan menyerahkannya seujung kuku pun. Bahkan sendok di restoran ini pun, tidak akan saya biarkan menjadi milik kalian." Membalas menunjuk wajah keduanya.Mereka pun keluar, meninggalkan Nadia dengan dada yang amat bergemuruh. Sepertinya, diam di sana pun tidak akan ada gunanya, sebab hati Nadia teramat sakit atas apa yang selama ini Irwan lakukan.Nadia mengekor di belakang, bukan untuk mengikuti mereka, melainkan menemui Allisya yang mungkin sedang makan.Wanita cantik itu sudah tak sabar, ingin bertemu dengan Irwan dan mempertanyakan semuanya dengan beberapa bukti yang sudah ada di tangannya."Cepat makannya, Sayang." Nadia mengelus punggung gadis kecilnya, menunggu dengan p
Langkah Selanjutnya"Kamu ini bicara apa, sih, Sayang? Apa kamu tega, melihat Allisya bersedih karena pertengkaran kita? Apalagi jika aku sampai dipenjara. Apa, sih, sebetulnya yang membuatmu semarah ini padaku?" tanya Irwan, menurunkan nada bicaranya. Tangannya terulur hendak mendekap tubuh sang istri.Dengan kasar, Nadia menepis kedua tangan suaminya. "Jika dulu kedua tanganmu seperti selimut pelindung bagiku, tapi tidak dengan sekarang. Bagiku, kedua tanganmu adalah maling yang sedang menyamar sebagai peri.""Ya Allah ... tambah ngaco ngomongnya. Sudah, ya, Mas sedang pusing. Masalah di Tangerang belum selesai, jangan kamu tambah-tambahi dengan masalah tidak jelas ini. Plis, Sayang, kamu hanya terlalu kebanyakan nonton drama," pungkas Irwan, melemaskan tubuhnya seperti sedang menahan diri dari banyaknya permasalahan."Ya. Kamu benar. Karena kebanyakan nonton drama, aku jadi sepintar ini dan tidak akan rela terlalu lama kau bohongi. Sekarang juga kuminta, pergi dari sini!" tegas Nad
Pertarungan DimulaiPoV AuthorDi dalam tas besar yang Nadia bawa, ada beberapa berkas aset miliknya sebelum menikah, pemberian orang tua dan ada sedikit aset yang dibeli usai menikah juga. Nadia beruntung, barang berharga yang ia amankan di bawah tempat tidur, tidak ditemukan oleh suaminya.Tak hanya berkas aset. Nadia juga sudah mengamankan seluruh surat ijin membuka usaha restoran yang ditandatangani suaminya ketika itu. Jangan lupakan buku nikah yang juga ia selipkan di antara berkas-berkas penting itu."Mama, kita mau ke mana?" tanya Allisya lagi, sedikit lemah."Kita ketemu teman Mama, sebentar, Sayang. Al yang sabar, ya. Kalau ngantuk tidur saja, Sayang." Nadia menoleh ke jok belakang di mana sang anak sudah mulai meringkuk karena bosan.Allisya bukan anak yang sulit diantur, itu sebabnya, Nadia sangat jarang berbicara dengan nada yang keras. Cukup diberi pengertian, maka Allisya akan menurut.Pada akhirnya, Allisya benar-benar tertidur, membuat hati sang Mama merasakan sesak y