Share

Bab 5 - Didera Dilema

Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.

Kuambil ponsel di dalam tas, mengetik pesan yang akan kukirim pada Nining.

[Di mana Bapak?]

Lama pesanku tak terbaca oleh Nining. Aku semakin gusar, karena waktu semakin berjalan. Allisya harus segera dijemput kurang dari satu jam lagi. Sementara aku belum bertindak apa-apa. Yang ada, semua mata seolah ingin menelisik penampilanku yang menarik perhatian. His, salah kostum, batinku.

Ponsel dalam genggaman bergetar, segera kubuka pola kuncinya.

[Bapak ke Tangerang, Bu. Memangnya tidak bilang?] balas Nining. Aku tersenyum kecut. Mas Irwan pergi ke Tangerang tanpa meminta ijin padaku, yang jelas-jelas adalah istri sahnya. Siapa yang sudah mendapat permintaan ijinmu sekarang, Mas? bantinku terasa pilu.

Di Tangerang sana, memang ada cabang pertama restoran ini. Tak heran jika ia sibuk bolak-balik Jakarta-Tangerang. Hanya saja, biasanya ia akan mengirim pesan padaku sebelum berangkat.

[Tidak.] Aku membalas singkat pesan balasan dari Nining.

Aku segera berjalan masuk ke area samping dapur, di mana ruangan khusus owner berada. Sambil memerhatikan kesibukan wanita hamil itu, aku melangkah kian masuk ke area dalam restoran.

Aku harus mendapatkannya sekarang juga, seiring berjalannya kecurigaan ini yang semakin menggebu. Lihat saja, Mas, aku tidak akan diam saja kau bohongi.

Wanita hamil itu masih sibuk memeriksa buku kasir, aku memanfaatkan waktu untuk menyelinap masuk. Ah, si_al! Masuk ke ruangan sendiri pun harus mengendap seperti maling. Aku dikagetkan dengan tepukan di bahu, ketika tangan ini sudah memegang tuas pintu ruangan owner.

"Anda siapa? Mau ngapain?" tanya seorang pramusaji, melemparkan tatapan menikam ke arahku. Aku tak punya banyak waktu lagi. Gegas kukeluarkan kartu nama di dalam tas yang selalu kubawa.

Kuangkat kartu nama itu tanpa suara sedikitpun, namun tatapan mata ini membalas menikamnya agar diam.

"Maaf, Bu." Dia menunduk dan aku yakin ia akan bungkam tentang aku yang menyelinap masuk.

Aku mengunci ruangan khusus ini dari dalam, mencari petunjuk tentang apa yang sebetulnya telah Mas Irwan tutupi dariku.

Kusisir seisi ruangan dan belum menemukan apa-apa, sementara jarum jam di dinding ruangan ini terus berputar tanpa lelah.

Kubuka laci meja, kotak berkas bahkan brankas yang ternyata sudah tidak bisa kubuka dengan kode yang kuketahui.

"Mas Irwan sudah merubah kode brankas ini. Keterlalu kamu, Mas!" gumamku, menggerutu akan semua yang telah suamiku lakukan di belakangku. Baru dua bulan saja aku tidak masuk ke dalam sini, ia sudah melakukan segala tindakan di luar sepengetahuanku.

Baiklah. Aku tidak akan memaksa brankas ini untuk terbuka. Lain kali aku kembali, Sayang, batinku.

Gegas kubuka kembali kotak berkas dan laci, mencari beberapa lembar berkas penting yang harus segera berpindah ke tanganku.

Beres! Berkas itu sudah aman di dalam tasku dan aku segera mengendap untuk keluar dari ruangan ini.

Pramusaji tadi masih berdiri di samping pintu. "Aman, Bu," ucapnya, seolah paham jika aku memerlukan penjagaan.

"Terima kasih," ucapku.

Pandangan ini terus tertuju padanya, sehingga aku tanpa sengaja menabrak seseorang.

"Maaf, maaf," ucapku dengan sopan, tanpa melihat wajah yang kutabrak. Namun, mataku tepat terarah pada perut yang buncit dengan pakaian yang sudah kukenali sejak datang pagi ini.

"Tidak apa. Maaf, anda siapa? Mengapa keluar dari arah dapur?" tanyanya dengan suara yang lembut.

"Maaf, Bu. Saya baru saja habis komplen karena ada lalat dalam makanan saya," jelasku berbohong. Bagusnya, masker di hidung dan mulutku masih tertutup dengan rapi.

"Oh, begitu. Saya sebagai pemilik restoran ini, sangat menyesal atas kejadian kurang mengenakan itu, ya, Bu. Saya harap, Ibu tidak akan kapok datang dan makan di restoran kami," ucapnya dengan sangat ramah.

"Oke. Hari ini saya maafkan. Tapi, jika lain kali ada kejanggalan lagi dalam restoran ini, saya tidak akan segan-segan memviralkannya. Anda sebagai pemilik, seharusnya bisa lebih upgrade pengetahuan, agar pelanggan selalu puas dan betah makan di sini!" balasku. Aku sengaja menggertaknya. Sekalian saja, mumpung dia tidak mengenali siapa aku.

 "Jangan begitu, Bu. Saya benar-benar minta maaf," ucapnya seraya menunduk takut.

"Oke. Tak apa." Aku melenggang sombong meninggalkannya. Dada ini terasa panas ketika mendengar dirinya menyebut sebagai pemilik restoran ini.

"Bu, Bu! Jangan pergi dulu. Sebagai permintaan maaf, ijinkan saya memberikan satu porsi makan gratis untuk Ibu. Pilihannya bebas," mohonnya, setelah mengejarku beberapa langkah.

"Maaf. Saya bukan orang mis_kin yang suka dengan barang gratisan, ataupun diskon. Makanan gratisnya buat pengemis saja," ucapku sedikit menunduk ke arah telinganya yang memang tidak setinggi tubuhku.

Ia menunduk lemah, seolah tersinggung dengan ucapanku.

"Kalau anda ingin menebus kesalahan, silakan perbaiki kepemimpinan anda terhadap restoran ini. Ingat, yang dibutuhkan pelanggan adalah kepuasan, bukan gratisan yang enggak mutu!" tegasku lagi. Kali ini aku benar-benar pergi meninggalkannya. Ternyata dia betul-betul tidak mengenaliku seperti kemarin sempat ketakutan.

Aku yakin, kemarin Mas Irwan yang sudah memberitahunya tentang kedatanganku. Bagus juga kostum norak dengan warna ngejreng ini untuk mengelabui wanita itu, yang tidak pintar-pintar amat.

"Sombong! Sana aja pergi, gak usah datang lagi." Aku masih bisa mendengar gerutunya dari jarak beberapa meter. Kulengkungkan senyuman merekah atas keberhasilanku hari ini, meski belum sepenuhnya berhasil. Setidaknya, untuk hari ini sudah cukup membuat jantungnya berdebar.

**

Di dalam mobil, kuhapus make-up aneh yang kupakai tadi di rumah. Masih ada banyak waktu. Jangan sampai Allisya melihatku dengan dandanan yang super heboh ini. Bagaimana pun juga, ia tidak boleh tahu masalah apa yang sedang terjadi pada kedua orang tuanya.

Sesampainya di sekolah, kusempatkan mengganti pakaian ini dengan pakaian sederhana yang biasa kukenakan di dalam toilet sekolah. Allisya bisa heran, jika aku tetap mengenakannya.

Gadis kecilku sudah keluar dari kelas, tepat di saat aku selesai dari toilet.

"Mama!"

"Sayang."

"Mama, kok, pucet? Mama sakit?" tanyanya, setelah menyalami punggung tanganku.

Aku menggeleng, menjawil ujung hidungnya yang bangir. "Enggak. Mama sehat, kok."

**

Allisya sudah tidur siang setelah tadi kutemani makan siang. Seketika bayangan Mas Irwan tengah bermain dengan perempuan lain, tiba-tiba membayang menakutkan.

"Astaghfirullah," gumamku.

Kusambar ponsel yang tergeletak di atas meja kamar Allisya, lalu keluar dari sana agar tidak menganggu.

Tidak ada pesan dari Mas Irwan seperti biasanya, yang selalu bertanya apakah aku dan Allisya sudah makan siang atau belum. Isi w******p-ku bahkan benar-benar kosong, tak ada satu pun pesan yang masuk.

Entah mengapa, aku jadi merasa kehilangan. Mas Irwan, kamu sedang apa? Di mana?

Baiklah. Aku akan coba mengirim pesan lebih dulu.

[Mas, sudah makan?]

Tidak berapa lama, pesanku terbalas.

[Sudah. Kalian sudah makan? Maaf, ya, Papa agak sibuk hari ini.]

[Sibuk apa?]

[Restoran yang di Tangerang kebakaran, sebagian area dapur hangus terbakar. Maaf, Mas tidak memberitahu sebelumnya, takut kamu syok. Yang penting, sekarang semua baik-baik saja.]

"Astaghfirullah ... jadi, ini alasan Mas Irwan sibuk seharian tak memberi kabar. Bakhan dia pergi ke sana tanpa seijinku," gumamku.

"Apa aku sudah salah paham padanya? Tapi, siapa wanita hamil yang sudah mengaku sebagai pemilik resto itu?" Aku bermonolog, dengan deraian air mata yang kian menderas.

Sebaiknya segera kucek berkas yang tadi sudah kudapatkan. Semoga dengan itu, aku bisa mendapatkan jawaban atas semuanya.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status