Detektif Gadungan Kah?Aku menegang manakala salah seorang detektif sewaan Papa Emir menunjuk wajah Dareen. Apa benar, 3 tahun lalu Dareen menjadi tersangka atas sebuah kecelakaan lalu lintas?"Emm, sorry. Saya kenal pria ini sudah hampir 4 tahun. Bagaimana mungkin saya tidak tahu tentang kecelakaan itu. Pasti anda salah orang," belaku. Ah, bukan. Aku bukan sedang membela Dareen, hanya ingin memastikan saja bahwa selama ini dia tidak pernah membohongiku, kecuali soal Khiara."Baik. Sebentar." Teman lelaki yang menuduh Dareen, mengeluarkan ponsel dalam saku jaketnya. Terlihat dia sedang mengotak-atik benda itu, lalu menunjukkannya padaku."Silakan.""Dicari! Pria ini telah membu nuh istriku yang sedang hamil. Dia pelaku balapan liar yang hari itu, kabarnya sedang diburu polisi. Dia menab rak istriku dengan sangat ganas. Saya tunggu itikad baiknya untuk bertanggung jawab."Tubuhku seketika melemas. Foto besertakan tulisan dalam postingan 3 tahun lalu itu jelas-jelas Dareen. Ya, aku tid
Maula Azka HamamAllisya menghentikan langkah. Ia menoleh ke arah tiga orang detektif itu yang sedang mencari-cari petunjuk tentang korban Dareen pada kecelakaan 3 tahun lalu."Ini, Pak. Kabar terakhir yang kami dengar, suami korban mengalami depresi."Tertarik dengan berita yang didengarnya, Allisya pun mendekati ayah sambungnya untuk melihat ponsel yang milik salah satu dari mereka."Azka?" Allisya merasa sangat mengenal lelaki itu, meski pot ongan rambut dan gayanya berbeda dengan Azka yang hari ini baru dia kenali."Azka, siapa, Nak?" tanya Emir, penasaran."Mirip aja, apa iya, ya? Coba lihat," pinta Allinya, meminjam ponsel itu untuk memperbesar gambar lelaki itu.Emir tak lagi bertanya, memahami jika sang anak sedang menelisik lebih dekat gambar pria di ponsel detektif sewaannya."Gimana, Nak? Apa Al kenal sama suami korban?" tanya Nadia, yang sejak tadi hanya diam menyimak. Wajah berkerutnya kini ditambah dengan gurat penasaran."Ini Azka," kata Allisya, menoleh pada kedua oran
Cerita Bu AniyahDemi mengusir rasa penasarannya, Allisya terus merayu gadis kecil itu agar mau diantarkannya. Lambat laun, Ziya pun luluh dan mau menemui neneknya dengan Allisya."Lho, Nak Allisya? Kenapa ke sini lagi? Apa Nak Al kerja di sekitar sini?" tanya Bu Aniyah, merasa heran dengan kedatangan Allisya di tempat yang sama seperti kemarin."Emm, kebetulan lewat sini, Bu. Kalau boleh, saya mau antar kalian." Dengan ragu Allisya mengutarakan."Jangan, Nak, enggak usah. Biar kami jalan kaki saja, lebih aman." Bu Aniyah menolak dengan halus, seperti yang sudah-sudah."Bu, siapa bilang jalan kaki lebih aman? Yang punya kehendak atas segala musibah yang terjadi pada manusia itu, hanya Allah. Semua sudah menjadi kehendakNYA, bahkan sejak kita masih di dalam kandungan. Begitu, menurut Ustadz yang sering saya dengar." Allisya terpaksa harus menceramahi.Pasalnya, peraturan di rumah Ziya terdengar terlalu berlebihan. Semua hal yang berhubungan dengan kendaraan, seolah sangat dihindarkan.
Masuklah ke Hatinyapov 3Allisya melamun di kursi ruangan khusus pemilik restoran yang terletak tak jauh dari area dapur. Pikirannya terus teralihkan pada Ziya, bocah kecil yang baru kemarin ia kenal namun sudah berhasil membuatnya selalu rindu.Kejadian siang tadi di rumah Ziya, menambah besar rasa ingin dekat dan melindungi gadis kecil itu."Maksud Ibu? Ibu membawa dia untuk menggantikan posisi Adinda? Tidak akan, Bu!" Ucapan Azka tak kalah santer terngiang di telinganya."Bu--bukan begitu, Nak. Ibu cuma mau, Ziya punya teman. Nak Allisya ini baik, cocok dengan Ziya.""Enggak ada yang cocok berteman dengan keluarga kita. Ziya tidak boleh dekat dengan perempuan mana pun, selain bundanya," kata Azka, tadi. Allisya mengusap wajah tatkala mengingat ucapan-ucapan Azka tadi. 'Azka ini terlalu bucin atau memang gi_la? Segitunya mengekang anak sendiri, sampai-sampai anaknya enggak punya teman,' batin Allisya."Ayah jangan begitu. Oke, Ziya tidak akan berteman dengan siapa pun dan dekat de
Tekad Allisya"Ada apa, anak kecil cantik?" tanya Emir, setelah berdiri di belakang putri sambungnya yang saat ini tengah memandangi air mancur kecil di belakang rumahnya."Eh, Papa. Allisya menoleh sejenak, mengulas senyuman singkat dan kembali pada tatapan awalnya. "Udaranya sejuk. Aku suka," kata Allisya kemudian."Ada yang kamu pikirkan?" Emir bertanya dan berdiri mensejajari Allisya.Allisya hanya menggeleng tanpa menghapus jejak senyuman di wajahnya. Kedua tangannya saling bertaut, mencoba tetap tenang dalam gundah yang melanda. Ada perasaan aneh di dalam hatinya, seolah diri ingin selalu berada di tengah-tengah keluarga yang baru saja dikenalnya."Mama sudah cerita semuanya. Kalau boleh, Papa mau bertemu dengan Maula." Suara Emir terdengar pelan, namun sukses membuat jantung Allisya bertalu lebih keras."Maula Azka Hamam?" ulang Allisya dengan kedua alis saling bertaut."Ya. Papa rasa, dia tidak seburuk yang kamu lihat dan mama ceritakan. Papa merasa, memang ada sesuatu yang me
Sebuah TawaranAllisya tersenyum bahagia ketika tangan lembutnya menyentuh wajah kecil milik Ziya. Gadis kecil yang berhasil mencuri hatinya, pun merasakan hal yang sama. Seolah rindu telah menemukan muaranya. Keduanya saling menatap penuh gembira."Akhirnya, Ziya bisa ketemu sama Kakak cantik lagi. Ziya takut banget gak bisa ketemu Kakak lagi, karena ayah ..." Seketika wajah mungil Ziya merunduk sendu."Jangan sedih, dong. Yang penting sekarang kakak ada di sini, di dekat Ziya. Ya, walaupun kita harus sembunyi-sembunyi seperti ini. Maafkan kakak, ya, Zi." Lagi, tangan halusnya menyentuh bagian puncak kepala Ziya."Apa menurut Kakak, sebaiknya ayah dirawat di rumah sakit saja?" tanya Ziya, menatap wajah Allisya hingga mendongak sebab dirinya terlalu kecil untuk sejajar dengan lawan bicaranya.Gadis cantik bermata indah itu tak lantas menjawab, melainkan merangkul anak kecil di pangkuannya. Butuh perjuangan besar baginya untuk bisa bertemu dengan Ziya.Ketika dirinya tak menemukan Ziya
"Mas, hari ini biar aku saja yang ngecek resto yang di sini. Mas ada jadwal memantau resto yang di Bandung, 'kan?" tanyaku, masih tak ingin melepaskan tubuhnya.Sejak dua tahun lalu, Mas Irwan--suamiku--membuka cabang restorannya di beberapa kota besar. Salah satunya di Bandung.Jarang Jakarta-Bandung tidak terlalu jauh, itu sebabnya, suamiku tak perlu menginap di sana. Berangkat setelah subuh pun bisa, dan akan kembali ke rumah tengah malam."Gak usah, biarkan saja si Badrun yang urus. Kamu di rumah saja, istirahat," ucapnya, mencium dahiku sejenak, lalu kembali fokus pada dasi yang melingkar di lehernya."Aku setiap hari di rumah. Ngurus rumah, Allisya dan cek aplikasi pesan antar. Sesekali aku mau juga berada di tengah-tengah kesibukkan para koki dan pramusaji, Mas."Suamiku terdiam sesaat, seperti berpikir sesuatu yang aku sendiri tidak tahu."Baiklah. Tapi ingat, tugas utamamu hanya mengurus Allisya," tukasnya. Aku melihat raut jawahnya sedikit kurang bersahabat. Apa mungkin, Mas
Kuperhatikan terus wanita hamil berpakaian ketat itu dari kejauhan. Dari gelagatnya, wanita itu seperti sudah terbiasa berada di sini. Pasalnya, para koki dan pramusaji di sini tidak ada yang berani menjawabnya."Ma, laper," rengek Allisya. Gegas kuminta ia untuk diam sebentar, dengan cara menempelkan jari telunjuk di bibir."Mama kenapa, sih?" tanya gadis kecilku sedikit berbisik."Ya, sudah. Kita ke sana aja, yuk. Tapi dipakai maskernya," ajakku, ketika melihat wanita hamil itu seperti hendak menuju ke arahku. Aku bergegas menarik tangan Allisya agar segera duduk di kursi pengunjung.Sayangnya, sudah tidak ada meja yang kosong. "Permisi, saya gabung, ya. Soalnya penuh semua," ucapku pada seorang Ibu dengan anaknya yang kebetulan sebaya dengan Allisya."Oh, silakan, Bu. Kami juga tidak sedang menunggu siapa-siapa." Ibu itu menyambut dengan sangat ramah.Kulirikkan mata ke arah wanita hamil yang kian mendekat. Ia berhenti di samping kasir, berdiri seraya memerhatikan sekeliling restor