Mentari pagi ini, seolah enggan bersinar. Berganti pekatnya tetesan air mata yang terpaksa kusembunyikan di balik senyuman.Mas Danu masih terlelap. Di hari libur, ia banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak-anak. Mengukir kenangan bagi dua balita yang menjadi tumpuan harapan, pewaris masa depan.“Bu, dipanggil Tuan Besar.”Bapak mertuaku bukan tipikal orang yang banyak bicara. Selama menjadi menantunya, tak banyak kata yang ia lontarkan untuk menyapa atau menasihati dengan aneka hikmah kehidupan. Hubungan bapak dengan Mas Danu, juga tak semesra hubungan Mas Danu dengan kedua anak kami. Bapak adalah orang yang banyak merenung, banyak berpikir, serta banyak berkegiatan di luar rumah. Mungkinkah, bapak merasa kurang enak badan sehingga membutuhkanku untuk merawatnya? Mengapa beliau memanggilku?Perlahan, kupenuhi panggilan bapak mertua di teras samping rumah. Tempat di mana ia melihat ikan-ikan piaraannya di kolam. Berenang lincah menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Secangkir weda
“Mbakyu... senang akhirnya bisa bertemu lagi denganmu. Aku penasaran banget, bagaimana seseorang bisa bertahan pada cinta yang menyakitkan. Coba ajari aku?” canda Caca, saat akhirnya aku menghubunginya. Ia datang bertandang kala Mas Danu pergi bekerja.Tersenyum masam mendengarnya. Bagaimanapun ... bagi orang lain, aku hanya wanita bodoh yang menempel pada pria yang sama sekali tak peduli bagaimana perasaanku ini.“Mbak, jangan khawatir. Kita make over mbak ya, jadi dalam sebulan ini, kita buat Mas Danu benar-benar melihat mbak dengan tatapan yang berbeda.” Imbuh wanita dengan lesung pipi manis ala Pretty Sinta.“Apakah cukup dengan mengubah penampilan saja?” Jika iya, rasanya sia-sia. Secantik apapun diriku berdandan, tak akan mampu menyaingi kecantikan Sekar Diandrakusuma.“No.. No.. No..” Caca menggeleng. “Enggak dong. Bapak sudah memberikan posisi buat mbak bekerja di perusahaan. Mbak akan terlihat jauh berbeda setelah bekerja. Wawasan mbak akan kian terbuka. Mbak juga akan terlih
Tugas di kantor bapak mertuaku bener-benar pekerjaan yang ringan. Bisa dibilang aku tidak sungguh bekerja. Tugasku sebagai resepsionis di meja depan. Menyapa orang datang dan pulang. Di sela-sela kerja, aku diberi tugas untuk memperdalam kemampuan berbahasa Inggris dan komputer. Sebelumnya aku sudah minta ijin Mas Danu. Ia diam. Tak mengiyakan juga tak melarang. Namun, protesnya langsung dilayangkan ke mertua.“Kenapa bapak ikut campur urusanku dan Laras?”Aku yang hendak ke ruang kerja bapak mengantar wedang jahe, mendengar percakapan mereka dengan dada berdebar kencang. Rupanya Mas Danu keberatan. Kenapa tak langsung ia sampaikan padaku?“Bukankah sudah waktunya bapak ikut campur? Setelah kamu mencoba bermain gila dengan wanita itu di tempat kerja?”“Hubunganku dengan Sekar, tak akan jadi begini jika kalian tak ikut campur.”“Kalian? Lancang omonganmu Danu. Ibumu bisa menangis mendengar ucapanmu!”“Bukankah aku sudah mengorbankan cintaku untuk berbakti pada ibu? Setelah ibu tiada, m
Bak tawanan menanti hari eksekusi, setiap hari kecemasan memenuhi isi hati. Setiap Mas Danu terlambat pulang, aku dilanda insomnia. Padahal kamar kami berbeda. Namun jika tak kudengar langkah kaki, serasa sunyi tak terperi.Sudah dua hari ia tak pulang. Setiap mencoba meneleponnya, panggilanku dijawab operator ponsel. Apakah ia bersama Sekar? Sampai kapan ia baru bosan pada wanita itu? Konon katanya, pesona wanita simpanan lebih kuat dibanding istri sah. Tetapi, itu tidak akan lama. Prasangka itu terus kutanam agar bertumbuhan. Menghidupkan doktrin bahwa Sekar hanya gulma, dan aku adalah inangnya. Pada akhirnya, inanglah yang menang saat pemiliknya menyadari. Semoga Mas Danu bisa segera sadar dan kembali padaku. Kapan pun itu, ku ‘kan sabar menanti. Hal terberat adalah saat anak-anak bertanya ke mana ayahnya, tak urung jiwaku meronta. Kenapa mereka harus ikut menderita sepertinya ibunya? Kehilangan cinta dari pria yang seharusnya membuat kami utuh dan bahagia.***“Mister Mike, kala
“Datanglah ke peresmian perusahaan baru. Siapkan dirimu! Jangan terlambat!” perintah bapak mertuaku. Ini kali pertama aku diundang acara kantor di luar jam kerja. Mereka bilang, grand opening adalah pestanya orang berada. Semua bisa berdandan dengan aneka gaun mewah layaknya artis yang mendatangi festival film dan berjalan di atas red carpet.Penampilan harus maksimal, karena akan berkumpul banyak orang sukses di sana. Kesuksesan itu tercermin dari busana yang dikenakan. Apakah itu merek terkenal atau bukan? Apakah itu aksesoris mahal atau bukan? Apakah kamu bisa membawa diri dengan anggun atau malah norak? Semua itu dicerocoskan Caca tanpa henti sejak tahu bahwa aku termasuk yang diundang untuk datang.“Enggak semua bisa datang, Mbak. Umumnya karyawan rendah tidak diundang. Semua ditangani EO, jadi rapi. Acara semacam itu tidak melibatkan karyawan yang malah bisa bikin rese. Malah ada yang saking culunnya, sengaja bawa plastik keresek untuk mengantongi makanan. Ha
“Cinta pertama adalah pengalaman paling indah bagi semua manusia. Cinta pertama penuh keindahan, dunia baru yang memenuhi seluruh sisi-sisi kalbu, memenuhi dunia dengan pelangi warna-warni, sehingga ia akan melupakan segala derita rahasia kehidupan ini.” (Kahlil Gibran)***Cinta pertamaku adalah suamiku. Danu Wicaksono. Tak pernah ada yang lain yang menghuni hati ini. Meski ratusan anak panah ditembakkan untuk membunuhku, tak’kan mampu membunuh cintaku. Sementara bagi Mas Danul cinta pertamanya adalah Sekar Diandrakusuma. Ia tak pernah bisa berpaling dari wajah rupawan itu meskipun pernikahan telah menjadi penghalang.“Mbak, jangan nangis lagi. Nanti jelek kalau dirias,” nasihat Caca melihatku terisak di hadapannya.Sebenarnya, tangisku bisa lekas reda andai tidak kepergok olehnya. Entah mengapa, ketahuan Caca dalam kondisi seperti ini membuat luka kian menganga. Seperti orang yang berduka karena kematian orang tercinta, saat pelayat datang untuk menghibur, justru air mata kian deras
Detak menyihir, meramu gelisah yang pekat. Rasa sakit menggerogoti hingga lumpuh raga ini. Tak mampu bergeming. Bahkan sekedar mendongakkan mata, memandang sosok yang kurindukan tiap menit dan detiknya saja tak bisa.Seolah mampu membaca suasana hatiku yang memburuk, Mike berusaha berdehem tipis. “Are you nervous?” bisiknya.Mungkin Mike belum mengenal Mas Danu maupun Sekar. Tapi seperti semua pegawai lainnya tahu, aku adalah wanita miskin yang dinikahi putra pemilik perusahaan tempat kami bekerja. Malangnya, aku adalah istri yang tak diinginkan sehingga suami selingkuh dengan mantan. Rumor itu senter tersebar dengan bumbu-bumbunya. Nyaris semua dinding perusahaan ikut mendengar, karena berita itu merambat cepat bagai api membakar kertas.Beberapa pegawai dari divisi lain bahkan sengaja pura-pura ramah menyapaku hanya agar bisa menggali kehidupan rumah tanggaku. Terkadang, ada yang sengaja sok baik agar bisa dekat denganku dan mendapat kesempatan
“Cinta pertama adalah pengalaman paling indah bagi semua manusia. Cinta pertama penuh keindahan, dunia baru yang memenuhi seluruh sisi-sisi kalbu, memenuhi dunia dengan pelangi warna-warni, sehingga ia akan melupakan segala derita rahasia kehidupan ini.” (Kahlil Gibran)***Cinta pertamaku adalah suamiku. Danu Wicaksono. Tak pernah ada yang lain yang menghuni hati ini. Meski ratusan anak panah ditembakkan untuk membunuhku, tak’kan mampu membunuh cintaku. Sementara bagi Mas Danul cinta pertamanya adalah Sekar Diandrakusuma. Ia tak pernah bisa berpaling dari wajah rupawan itu meskipun pernikahan telah menjadi penghalang.“Mbak, jangan nangis lagi. Nanti jelek kalau dirias,” nasihat Caca melihatku terisak di hadapannya.Sebenarnya, tangisku bisa lekas reda andai tidak kepergok olehnya. Entah mengapa, ketahuan Caca dalam kondisi seperti ini membuat luka kian menganga. Seperti orang yang berduka karena kematian orang tercinta, saat pelayat datang untuk menghibur, justru air mata kian deras