Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Cinta ini adalah cinta buta, yang tak memandang kurangnya, hanya fokus pada lebihnya. Cinta ini adalah cinta buta, cinta yang selalu memaafkan meski berulang kali terluka. Cinta ini adalah cinta buta, yang selalu menerima meski terus berurai air mata. Cinta ini adalah cintaku untuknya, suamiku, pusat gravitasi di hidupku. Dialah sumber kekuatanku untuk bisa tegar mencinta, meski belati ditusukkan ke dada.***“Aku pulang telat nanti, makan malam duluan saja. Kalau ngantuk langsung tidur. Enggak usah nunggu aku,” pamit Mas Danu, suamiku. Aku hanya mengangguk kelu. Mencium tangannya seperti biasa dan membukakan pintu pagar untuknya.Setelah ia pergi, air mata bergulir di pipi. Aku tahu kenapa Mas Danu sering pulang telat padahal jam kantornya hanya sampai sore. Bahkan aku tahu, ke mana ia menuju. Namun aku tak berani menegurnya, apalagi menanyakan hal itu. Karena aku terlalu takut mendengar pengakuannya. Di mana hatiku jika yang kutakutkan ternyata terbukti? Aku takut mendengarnya berka
Setelah ibu tiada, rasa hampa merajah seperti anak panah. Di rumah yang besar, hanya ada aku, kedua anak kami, bapak mertua yang sibuk dan jarang di rumah seperti Mas Danu, serta dua orang pembantu. Ibu meninggal setahun lalu karena kanker darah. Hanya 4 tahun kebersamaan kami.Ibu sengaja merahasiakan penyakitnya karena tidak ingin mempengaruhi kesehatan bapak mertua yang mempunyai riwayat penyakit jantung. Sungguh, ia panutanku dalam ketegaran dan kesabaran.“Tahu kenapa aku memilihmu dibanding Sekar?” tanya beliau sebelum pergi untuk selamanya.Hanya gelengan kepala yang kuberikan. Merasa diri ini begitu bodoh karena tidak tahu apa-apa.“Karena kamu perempuan sejati. Yang tidak hanya mementingkan penampilan namun juga meresapi arti pengabdian. Wanita memang harus banyak mengalah setelah menikah. Membunuh ambisinya demi membangun surga dalam rumah. Berkorban siang dan malam untuk melayani kebutuhan keluarga. Wanita sejati adalah rumah ternyaman
“Maafkan aku Laras. Malam itu, entah ada apa dengan diriku. Namun aku begitu menginginkannya. Jika bukan padamu, pada siapa lagi kusalurkan?” ucap Mas Danu saat mengantarku kontrol kandungan.Aku terdiam. Pasti ia menyesal, karena melakukan sesuatu di bawah pengaruh obat. Rahasia itu terus kusimpan hingga ibu meninggal.“Laras, jika kamu menginginkan sesuatu, katakan saja. Kamu sudah berkorban untuk ibuku. Merawatnya sedemikian rupa. Bahkan aku, anak tunggalnya, tak bisa setelaten kamu untuk merawat ibu,” ujar Mas Danu setelah anak pertama kami lahir.Aku tengah sibuk mengurus bayi satu tahun, namun tak abai pada ibu mertuaku yang sakit keras akibat sel kanker menggerogotinya.“Apa lagi yang kuinginkan? Selama Mas di sini, itu sudah cukup.”Pria tampan itu menunduk.“Mungkin, kamu ingin memperoleh kebebasan?”Itukah yang bermain di benaknya?Aku menggeleng halus. “Tidak Mas, bahkan sampai mati, aku ingin mati se
“Aku selalu bisa memaafkanmu, Mas. Bukankah kamu sudah tahu itu? Berapapun banyaknya air mata yang kau pinta dariku, aku rela. Akan kuberi semua yang kupunya dengan sukacita.” Walau aku sadar, aku tak punya apa-apa.“Kenapa harus menyiksa diri? Kita berhak bahagia. Namun, kita tidak akan bisa bahagia jika terus bersama.”“Bahagiaku jika ada di sisimu. Mas tak perlu melakukan apa-apa. Cukup izinkan aku terus di sisimu. Itu sudah lebih dari cukup.”“Jangan memaksa, Laras! Mari kita akhiri saja.”Aku menggeleng kuat-kuat. Air mata terus terburai. “Apa salah ku, Mas? Kenapa kamu tak mengizinkanku? Jika Mas ingin menikahi dia, nikahilah, Mas. Tapi aku tak mau bercerai darimu!”“Kenapa kamu sebodoh itu, Laras? Wanita mana yang sanggup dimadu?”“Jika itu satu-satunya jalan agar aku bisa mempertahankan pernikahanku, maka aku sanggup, Mas. Akan kulewati setiap badai demi keutuhan rumah tangga kita.”Bagiku madu itu lebih baik dar
Dia melihat padaku, bangkit berdiri, tersenyum dan memberi salam dengan menundukkan kepalanya singkat. Kenapa ia bisa santai menghadapiku, sementara aku langsung panas dingin gara-gara kedatangannya. Apakah ia sedang meninjau istana yang akan jadi singgasananya? Seketika aku takut dan berharap semua yang ia lihat hanyalah keburukan, sehingga ia tak berhasrat merenggut apa pun dari kami.Mengerahkan segenap kekuatan yang ada, kuingin tegar menghadapi apa pun sebagai konsekuensi tanggung jawabku sebagai istri, ibu, serta menantu yang membuat mertuaku bahagia di ujung menutup mata. Aku tak boleh lemah ataupun goyah, karena kebahagiaan anakku dipertaruhkan. Juga demi wasiat mertua agar aku bertahan menghadapi setiap cobaan.“Maaf mbak, aku datang pagi-pagi sekali. Bisakah kita bicara sebentar? Ini penting,” pintanya dengan suara yang merdu mendayu.Sekar Diandrasukma memiliki semua yang diinginkan seorang pria pada wanita. Bagaimana aku bisa mencegah Mas Danu berhenti mencintainya, jika w