“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ”
Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal.
Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku.
Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya.
Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini.
“Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Extra bab ini akan menceritakan tentang aku sebagai penulis yang berkunjung ke kampung sepuh pada akhir februari kemarin dan disana pula aku mendapatkan beberapa masukan untuk cerita baruku setelah warung tengah malam ini tamat dan mungkin saja itu akan menjadi cerita kedua dari series warung tengah malam ini ditunggu saja ya hingga akhir, semua pertanyaan kalian akan terjawab semua disini (PREQUEL WTM SUDAH ADA, SILAHKAN CARI KUTUKAN LELUHUR DAN RASAKAN SENSASINYA)
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Malam sangat sunyi di depan warung yang ku jaga ini hanya ada jalan yang sepi tidak ada lalu lalang kendaraan sama sekali di seberangnya hanya ada kebun milik warga tanpa diterangi oleh cahaya sedikitpun sehingga hanya lampu dari warung lah yang menerangi malam itu. “Masih jam 23.00 malam.” Aku melihat jam dinding di salah satu sudut warung, untuk mengusir sepi aku mengambil earphone di salah satu sudut etalase rokok yang ada di depanku untuk kupakai memutar musik di HP. Maklum di sini aku sendiri tidak bisa browsing internet karena terkendala sinyal, kalaupun ada harus ke bukit di ujung jalan dulu supaya bisa browsing atau W* sama temen-temen alumni tempat kuliah ku dulu sehingga hanya MP3-lah satu satunya menemani ku ketika jaga warung. Tak Lampu warung mendadak mati, suasana m
Tubuhku tiba-tiba langsung merinding, angin malam tiba-tiba berhembus ke dalam warung. Hawa dingin yang tidak biasa, yang membuatku bergidik merinding. Hawa yang tadinya tenang dan hanya terdengar suara binatang malam berubah menjadi hawa yang mencekam. Suara tersebut semakin mendekat dan menjadi jelas dan mengusik keheningan di malam itu. Malam yang tadinya hening dalam sekejap berubah menjadi malam yang menyeramkan. Senter di hp rupanya tidak terlalu membantu karena suara itu masih ada dan terdengar dengan jelas, suara sesosok makhluk yang seperti berjalan mendekat ke arah warung dengan nafas yang berat di seberang jalan. “Duh mana ya lilinya ko ga ada,” pikirku dalam keadaan panik pada malam itu. Sreeet, Sreeet, HEEEH, HEEEH
Aku berhenti beberapa langkah setelah keluar dari warung, kemudian melihat sekelilingku yang nampak berbeda dari kampung yang aku kenal. Harusnya jarak antara warung dan rumah tak sampai 15 meter jaraknya. Hanya terpisah oleh pekarangan dan kebun kecil depan rumah, tapi apa yang kulihat ini seperti tempat yang asing. Tempat yang seharusnya menjadi lokasi rumahku, terlihat hanya sebuah bangunan kosong yang sepertinya sudah lama ditinggalkan yang dimana dinding rumah tersebut sudah banyak yang lapuk dimakan usia, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, atapnya sebagian sudah tidak ada bahkan sebagian sudah berlumut dan ditutupi oleh ilalang serta tumbuhan liar yang merambat melalui tembok. “Ini dimana?” pikiranku kembali kacau setelah kejadian genderuwo tadi. Kampung
Pasar malam yang kulihat ini seperti pasar malam yang ada di waktu-waktu tertentu di kampung, di sisi kanan dan kiri jalan berjajar stan makanan yang menggugah selera sembari diterangi obor dan lampu minyak. Stan makanan yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia dengan bangku dan meja kecil tempat pengunjung stan duduk dan menikmati makanan di malam itu. Orang-orang yang hilir mudik kesana kemari menikmati suasana pasar malam, mereka saling bercengkrama satu sama lain dan di iringi oleh sesekali tawa senang dari pengunjung. Di ujung deretan stan terdapat satu panggung kecil yang terbuat dari kayu dengan penerangan obor di kedua sisinya di atasnya terdapat satu panggung kecil yang tertutup oleh kain berwarna hitam dan batang pisang di atasnya, dan di belakangnya terdapat dalang yang sedang melakukan pagelaran wayang golek dan diiringi oleh gamelan khas Sund
“Ujang tidak kenapa-kenapa kan?” tanya Indah. “Hmmm, iya, Ndah tidak kenapa-kenapa kok,” jawabku. Aku berbalik melihat ke pasar malam tadi, tiba-tiba yang kulihat malah pemandangan yang berbeda. Yang di hadapanku ini hanyalah sebuah lahan kosong yang membentang luas disertai pohon-pohon besar di kedua sisinya, tidak ada tanda-tanda bahwa tempat tersebut adalah pasar malam yang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Hanya lahan kosong dengan ilalang yang dikelilingi pohon besar. “Bukanya tadi di sini ada pasar malam Indah?” tanyaku kepada Indah. “Itu memang pasar malam jang, tapi bukan pasar malam untuk manusia.”