Aku berhenti beberapa langkah setelah keluar dari warung, kemudian melihat sekelilingku yang nampak berbeda dari kampung yang aku kenal. Harusnya jarak antara warung dan rumah tak sampai 15 meter jaraknya. Hanya terpisah oleh pekarangan dan kebun kecil depan rumah, tapi apa yang kulihat ini seperti tempat yang asing.
Tempat yang seharusnya menjadi lokasi rumahku, terlihat hanya sebuah bangunan kosong yang sepertinya sudah lama ditinggalkan yang dimana dinding rumah tersebut sudah banyak yang lapuk dimakan usia, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, atapnya sebagian sudah tidak ada bahkan sebagian sudah berlumut dan ditutupi oleh ilalang serta tumbuhan liar yang merambat melalui tembok.
“Ini dimana?” pikiranku kembali kacau setelah kejadian genderuwo tadi.
Kampung yang kulihat saat ini sungguh berbeda hanya ada jalan lurus yang tak tahu ujungnya, di sisi kanan dan kiri jalan hanya kebun dan hutan. Meskipun begitu cahaya bulan menyinari sehingga aku bisa melihat jelas di sekelilingku.
Aku pun melangkah perlahan menyusuri jalan malam itu. Aku berharap bisa menemukan orang untuk bertanya.
"Apakah ini benar kampungku?"
Tak lama aku berjalan dari kejauhan aku melihat beberapa rumah, yang diterangi oleh lampu minyak yang di gantung di dinding rumahnya. Akupun mempercepat langkahku menuju rumah itu, untuk mencoba sekedar bertanya apakah benar ini masih di kampung Sepuh. Karena pemandangan yang kulihat ini sungguh berbeda dengan pemandangan kampung ketika aku datang siang hari tadi.
Kulihat rumah tersebut berupa panggung yang terbuat dari anyaman bambu dan beratapkan rumbia. Dengan tiang-tiang yang dibuat dari bambu dan diikat oleh tali yang terbuat dari kulit pohon dan diikatkan satu sama lain membentuk rangka rumah.
Rumah yang kulihat ini sudah jarang terlihat di kampung Sepuh. Karena rumah-rumah seperti ini adalah rumah-rumah zaman dahulu yang tidak seperti rumah berdinding kayu dan beratapkan genteng seperti rumahku.
Aku sangat yakin, bahwa ini bukan kampungku tempat dimana aku tinggal, karena bangunannya sangat berbeda. Meskipun di kampung Sepuh adalah kampung terpencil di lereng gunung Sepuh tapi kampungku saat ini sudah dialiri oleh listrik, sehingga tidak mungkin bahwa ada rumah yang masih memakai lampu minyak sebagai penerangnya.
Aku pun terdiam sesaat mencoba mengingat-ingat apakah ada rumah yang seperti ini di kampungku, aku pun mendekat ke arah rumah itu dengan harapan aku bisa bertemu pemilik rumah dan menanyakan tentang di mana sebenarnya tempatku berdiri saat ini.
Aku mendekati rumah itu dan mencoba mengetuk pintunya, kulihat rumah itu sepi sekali seperti para penghuni rumah sedang tertidur lelap. Aku pun pelan-pelan mengetuk pintu rumah itu berharap ada yang membukakan pintu untukku.
Tok tok tok
"Punteun (Permisi)."
Aku mengetuk pintu rumah itu tapi tidak ada tanda-tanda orang yang datang untuk membukakan pintu.
Tok tok tok
"Punteun, Pak, buuu? (Permisi, Pak , Buuu?) "
Aku mengetuk kembali pintu itu dan kali ini aku mengetuknya lebih keras. Tapi tetap tidak ada jawaban dari dalam rumah.
"Sepertinya rumah ini kosong," pikirku. Tapi akupun melihat dinding rumah itu yang diterangi oleh lampu minyak, dan aku pun berpikir tidak mungkin lampu minyak itu akan menyala apabila tidak ada siapapun di dalam rumah.
"Ah mungkin, orang di dalam sedang tertidur lelap," aku pun berbalik dan kembali ke arah jalan, dan memutuskan untuk kembali lagi ke arah warung, tapi ketika aku berbalik ke arah yang sebelumnya terlihat hanya ada pemandangan kebun dan hutan di sepanjang jalan. Tidak terlihat cahaya lampu warung di ujung sana.
Aku mencoba melangkahkan kakiku kembali ke warung. Tapi yang kulihat hanya pepohonan di kiri dan kanan jalan. Tak lama aku berhenti, mencoba mengingat-ingat kembali catatan Ibuku, lalu aku pun teringat atas pesan Ibuku yang pertama ketika aku akan menjaga warung.
Jangan sekali-kali menuju rumah dari jam 21:00 malam hingga jam 05:00 pagi.
"Apa semua ini ada hubunganya dengan ini?"
Aku kembali berpikir dengan tenang mencoba mengingat kembali lebih dalam dengan cerita-cerita yang Ibu ceritakan sewaktu kecil, seperti genderuwo tadi yang sepertinya semuanya berkaitan.
"Apa mungkin ini adalah kampung bunian?"
Aku mengingat satu kisah yang diceritakan Ibuku ketika aku kecil. Disana Ibu pernah bercerita tentang sebuah kampung bunian, sebuah kampung dimana kampung tersebut diisi oleh makhluk yang bukan manusia biasanya kampung itu ada di waktu-waktu tertentu. Lalu kata Ibuku ketika kita sudah masuk ke kampung itu, kita tidak bisa kembali dan selamanya akan tetap tinggal di kampung itu selamanya.
"Apakah ini adalah kampung yang diceritakan Ibu?"
Aku mencoba menghubungkan cerita itu dengan keadaanku saat ini. Semuanya terlihat sangat persis, yang membedakan hanyalah suasana kampung ini yang terlihat sepi sekali, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.
"Kalau ini memang kampung bunian. Aku harus kembali ke warung secepatnya."
Aku pun mulai berlari ke arah warung, dan berharap aku bisa keluar dari kampung ini, tapi semakin lama ku berlari keanehan pun semakin menjadi. Aneh sekali aku sendiri yakin, ketika aku keluar warung hanya berjalan kurang dari 5 menit, tapi ketika aku kembali dan berlari lebih dari 15 menit aku masih belum melihat warung, yang kulihat sepanjang berlari hanyalah pemandangan yang asing untukku.
Kulihat kiri kanan jalan yang tadinya kebun dan hutan perlahan-lahan menjadi banyak rumah, semakin lama aku berlari rumah yang berada di sisi jalan bertambah banyak, lampu-lampu minyak menyala dari kedua sisi, jalan yang selama ini gelap dan diterangi cahaya bulan perlahan digantikan oleh cahaya dari rumah-rumah.
Tapi tidak ada satupun dari rumah-rumah itu yang memakai listrik sebagai penerangnya. Yang kulihat disana hanya cahaya dari lampu minyak yang menyala dari rumah-rumah tersebut.
Langkahku sontak terhenti ketika aku melihat rumah besar di ujung jalan, rumah yang megah dengan pagar bambu yang membentang mengelilingi rumah tersebut. Sebuah gapura besar dengan atap rumbia menjadi pembatas antara jalan dan halaman rumah itu.
Rumah itu terlihat megah meskipun dibuat oleh bambu, dengan tiang-tiang bambu yang kokoh menancap ke tanah, menopang rumah itu dengan megahnya. Di setiap tiang-tiangnya terdapat banyak lampu minyak yang menyala semakin membuat rumah itu terang, sehingga rumah itu terlihat paling terang diantara rumah-rumah lainnya.
Aku rasa rumah itu adalah rumah yang terbesar yang kulihat di malam itu. Dengan rumah utama ditengah dan pendopo yang luas di sebelah kiri, serta ada beberapa bangunan kecil di sekitarnya yang biasanya dipakai untuk menyimpan beras pada zaman dahulu. Di depannya ada pekarangan yang luas dengan tiang-tiang besar yang berdiri dan di atasnya terdapat tempat untuk menyalakan obor.
Kulihat juga ada keramaian di area pendopo, banyak orang yang lalu lalang membawa sesuatu, seperti mempersiapkan hajatan besar, ada yang memasak, ada yang membawa daging untuk dimasak. Disusul banyaknya suara dan canda tawa Ibu-ibu yang saling mengobrol sambil memasak, tapi yang kulihat mereka seperti manusia pada umumnya, yang laki-laki memakai pakaian pangsi berwarna hitam dan wanita memakai pakaian kebaya dengan rambut yang disanggul.
Disana juga kulihat anak-anak yang berlarian yang sedang bermain dihalaman dengan teman sebayanya. Tidak ada kulihat di sana sesosok pocong, kuntilanak, atau genderuwo yang tinggal di kampung bunian seperti yang diceritakan oleh Ibu, semua terlihat normal seperti manusia pada umumnya. Bahkan genderuwo yang tadi datang ke warung pun tidak terlihat sama sekali.
“Ah ada orang,” pikirku
Pikiranku tentang kampung bunian pun sekejap sirna karena aku yakin yang kulihat ini adalah manusia. Aku melangkahkan kaki secara perlahan ke rumah tersebut berharap aku bisa bertanya, sebenarnya aku ada di mana, apakah aku tersesat ketika pulang. Dan ketika beberapa langkah aku berjalan tiba tiba ada suara yang memanggilku dari belakang.
“Jangg, jangg.”
Suara itu adalah suara wanita yang memanggil namaku, aku coba menghiraukan suara itu, karena aku tahu aku tidak mau melihat suara yang aneh, takut seperti genderuwo yang ada di warung dengan suara anehnya, Aku pun melanjutkan melangkahkan kakiku masuk ke rumah besar tersebut.
“Ujaaang.”
Suara wanita itu semakin keras disusul oleh langkah kaki yang mendekat.
Dan tak berapa lama.
Takk
Aku ditepuk dari belakang, reflek aku menengok ke belakang. Aku kaget karena melihat sesosok wanita yang ada di hadapanku berambut panjang, memakai kebaya warna putih dan jaraknya pun sangat dekat denganku.
“Kamu ujang kan?, ini aku Indah masa lupa,” kata wanita tersebut.
“Hah Indah?, ini Indah kelas 2D sewaktu SMP kan,” aku mencoba mengingat-ingat kembali dengan ingatan lamaku.
“Iya Indah, masa lupa.”
Akupun tersenyum malu karena sebenarnya aku sudah lupa dengan temanku sewaktu SMP. Indah yang kulihat dulu ketika SMP terlihat berbeda dengan wanita yang ada di hadapanku sekarang menjadi cantik, dengan rambut panjang di bawah punggung dan memakai kebaya warna putih menambah kecantikannya. Ya mungkin Indah sudah dewasa sekarang sehingga wajar penampilannya pun berubah seperti menjadi kembang desa yang tidak tersentuh oleh hingar-bingarnya perkotaan.
“Eh, Ujang sekarang jadi warga sini juga? ” tanya Indah.
“Jadi warga sini?" jawabku bingung.
“Bukanya kita dari kecil kita sudah tinggal disini, Ndah?” kataku.
Ku Melihat tatapan Indah mendadak berubah, dia seperti terlihat kaget atas jawaban yang aku jawab.
"Bukan, Jang ini beda kampung, kampung Sepuh yang dulu ada di ujung sana, baru 2 bulan ini aku pindah jadi warga kampung ini,” kata Indah sambil menunjuk ke salah satu jalan setapak kecil di tengah-tengah kebun.
“Oh begitu ya, ini berarti beda kampung."
"Berarti kalau aku ingin kembali ke kampungku aku hanya harus menyusuri kebun tersebut?” kataku bertanya pada Indah.
Indah pun mengangguk yang menandakan ini bukan kampung Sepuh tapi memang ada kampung lain dan tidak sengaja aku tersesat masuk kesana. Pantas ketika aku berlari hampir 15 menit aku belum sampai ke warung, sepertinya memang aku salah belok ketika berlari sehingga tersesat di kampung ini.
Indah pun mempersilahkan aku masuk, Tapi aku menolak karena takut mengganggu kegiatan yang ada di rumah besar itu, kemudian Indah mengajakku duduk di kursi di dekat gerbang rumah itu.
Akhirnya aku mengobrol dengan Indah di malam itu, ngobrol tentang kegiatan Indah sesudah SMP hingga akhirnya dia pindah kesini. Awalnya aku malu-malu karena sudah lama tidak bertemu dengan Indah terakhir semasa SMP.
Namun akhirnya aku tahu bahwa selepas SMP Indah tidak melanjutkan sekolahnya, dia lebih memilih untuk membantu kakaknya di kota dan bekerja di sana. Karena kakaknya mempunyai perusahaan yang terbilang sukses di kota dan hanya setiap sebulan sekali kakaknya itu pulang ke kampung Sepuh.
Selama beberapa tahun Indah membantu kakaknya di kota, 2 bulan yang lalu akhirnya Indah memutuskan untuk pindah ke kampung ini dan menetap di sini. Ketika aku tanya kenapa pindah ke kampung ini, Indah hanya menggelengkan kepala seakan tidak tahu kenapa ada di sini.
Tapi menurutnya dia merasa nyaman tinggal di sini karena orang-orang yang ada disini sangat baik kepada Indah. Sehingga tak ada niatan bagi Indah untuk kembali ke kampung Sepuh ataupun kembali membantu kakaknya ke kota.
Akhirnya aku terlarut dengan obrolan tentang masa sesudah SMP hingga aku kuliah di Bandung dan mengobrol tentang teman-teman yang kita kenal. Aku juga bercerita tentang kehidupanku selepas SMP hingga aku kuliah dan wisuda di kota Bandung.
Malam itu kami larut dengan obrolan tentang kenangan kita berdua, sehingga tak terasa 30 menit pun berlalu begitu cepat.
"Waduh malah keasikan ngobrol, maaf Indah sepertinya aku harus pulang," kataku mengakhiri obrolan di malam itu.
“Kenapa harus buru-buru pulang, mendingan masuk aja dulu ke dalam rumah dari tadi mengobrol di halaman rumah,” jawab Indah sambil memegang tangan mengajakku masuk ke dalam rumah besar tadi.
“Waduh Indah maaf, paling besok saya main deh ke rumah kamu, soalnya saya sedang jaga warung dan sudah dibiarkan lama, nanti kalau ada yang rampok gimana?” jawabku dengan bercanda sambil perlahan melepas tangan Indah yang sedang memegang tanganku.
“Oh ya sudah kalau begitu, cuman hati-hati ya di jalannya ya jang, soalnya gelap kalau jalan malam, terus kalau ujang melihat sesuatu jangan coba-coba mampir ya, ujang langsung pulang aja,” kata Indah.
“Ahsiaaap,” kataku sambil sesekali bercanda.
Aku pun pamit ke Indah dan aku janji aku akan mengunjunginya lagi besok, Indah pun tersenyum dan masuk ke rumah besar, akupun mulai berjalan ke arah kebun melewati jalan kecil di sela-sela kebun.
Aku menyalakan senter hp ku lagi untuk menyinari jalan di kebun. Tidak ada cahaya selain cahaya senter HP yang menerangi jalan itu, kulihat pohon-pohon besar di kiri dan kanan yang terlihat menyeramkan karena suasananya pun sangat gelap.
Apalagi jalanan setapak yang apabila terkena hujan jalanan itu akan menjadi becek dan berlumpur. Tak jarang suara-suara hewan malam menambah kengerian di jalan yang aku lewati.
Jujur aku takut, takut tiba tiba muncul lagi makhluk-makhluk yang menyeramkan seperti genderuwo tadi. Apalagi kondisi jalan setapak yang membuat ku susah untuk berlari, sehingga aku hanya bisa berharap keluar dari jalan ini dan segera kembali ke warung.
Akupun terus menelusuri kebun tersebut hingga aku dikejutkan oleh beberapa orang yang lewat sambil membawa obor dari sela sela kebun.
“Punteun (permisi),” ujar salah satu Bapak-bapak yang membawa obor.
“Ah mangga kang (ah silahkan kang),” ucapku.
Awalnya aku kaget, aku takut bahwa itu adalah makhluk-makhluk yang bukan manusia yang menyapaku. Tapi setelah aku melihatnya dengan seksama yang kulihat ini adalah manusia.
Aku mencoba meyakinkan bahwa itu memang manusia, aku sampai melihat sepatu mereka untuk memastikan bahwa mereka tidak melayang, dan memang kulihat mereka manusia, mereka memakai jaket dan memakai kupluk.
Beberapa dari mereka pergi sambil membawa istri serta anaknya yang masih kecil. Terlihat raut riang dari mata mereka seperti mereka telah mengunjungi tempat yang membuat hati mereka senang.
Semakin aku berjalan terlihat seperti ada keramaian seperti pasar malam, terlihat banyak stan-stan di kedua sisinya dengan banyaknya orang yang berlalu lalang yang membeli makanan atau hanya sekedar jalan-jalan di sana.
“Kok ada pasar malam di tempat ini?" aku pun heran.
Pasar malam yang kulihat ini seperti pasar malam yang ada di waktu-waktu tertentu di kampung, di sisi kanan dan kiri jalan berjajar stan makanan yang menggugah selera sembari diterangi obor dan lampu minyak. Stan makanan yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia dengan bangku dan meja kecil tempat pengunjung stan duduk dan menikmati makanan di malam itu. Orang-orang yang hilir mudik kesana kemari menikmati suasana pasar malam, mereka saling bercengkrama satu sama lain dan di iringi oleh sesekali tawa senang dari pengunjung. Di ujung deretan stan terdapat satu panggung kecil yang terbuat dari kayu dengan penerangan obor di kedua sisinya di atasnya terdapat satu panggung kecil yang tertutup oleh kain berwarna hitam dan batang pisang di atasnya, dan di belakangnya terdapat dalang yang sedang melakukan pagelaran wayang golek dan diiringi oleh gamelan khas Sund
“Ujang tidak kenapa-kenapa kan?” tanya Indah. “Hmmm, iya, Ndah tidak kenapa-kenapa kok,” jawabku. Aku berbalik melihat ke pasar malam tadi, tiba-tiba yang kulihat malah pemandangan yang berbeda. Yang di hadapanku ini hanyalah sebuah lahan kosong yang membentang luas disertai pohon-pohon besar di kedua sisinya, tidak ada tanda-tanda bahwa tempat tersebut adalah pasar malam yang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Hanya lahan kosong dengan ilalang yang dikelilingi pohon besar. “Bukanya tadi di sini ada pasar malam Indah?” tanyaku kepada Indah. “Itu memang pasar malam jang, tapi bukan pasar malam untuk manusia.”
Kondisi warung tampak tidak karuan, seluruh dagangan di atas etalase yang awalnya tertata rapi terlihat berantakan. Semua jajanan telah hilang dan berhamburan hingga keluar warung, seperti ada sesuatu yang datang dan memakan makanan yang ada di warung hingga dibawa keluar. Tetapi ada hal aneh, di lantai banyak berserakan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Uang tersebut berserakan di sekitaran warung. Aku mengambil salah satu uang yang tercecer di lantai tersebut. “Apa ada perampok yang mencoba mencuri warung?” pikirku. Aku pun berlari ke dalam warung dan mengecek rak uang, aku membuka perlahan rak tersebut untuk melihat dalamnya. Karena ditakutkan bahwa uang yang berserakan adalah uang yang ada di dalam ra
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Tiba-tiba terdengar suara wanita itu memesan kopi kepadaku. “Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Wanita itu mengulang ucapannya kepadaku, tapi ketika wanita itu berbicara tiba-tiba badanku merinding. Seakan-akan ada aura mistis yang menakutkan terpancar dari wanita itu. Wanita duduk dan menghadap ke arah jalan sehingga aku hanya melihat punggung nya dengan rambut panjang yang hampir menyentuh lantai. Dengan baju putih yang lusuh dan rambut panjang yang kusut terlihat beberapa daun kering yang menempel di rambutnya semakin membuatku semakin yakin bahwa wanita itu bukan manusia. Wanita itu duduk terdiam tanpa sesekali menggerakan tanganya, s
"Jang, Jang bangun bangun bangun,” Ibuku mencoba membangunkanku. Aku yang pingsan di lantai pada waktu itu perlahan bangun, aku membuka mata secara perlahan dan aku melihat Ibuku yang sedang berusaha membangunkanku dengan wajah yang nampak panik. Aku perlahan-lahan bangun dan duduk di lantai, akupun melihat gelas kopi yang pecah di sisiku dan air kopi yang telah mengering menyisakan bubuk kopi yang berserakan di lantai tercampur dengan pecahan-pecahan gelas. “Ujang tidak apa-apa kan,” kata Ibuku. “Ibu tau akhirnya akan jadi seperti ini, makanya kemarin Ibu tidak yakin kalau Ujang ingin jaga warung di malam hari,” kata Ibuku s
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu sosok laki-laki tua berjubah putih yang duduk sambil memandang pemandangan di bawahnya. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali sepasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapapun yang menginjakan kaki di sana. Tapi yang dilakukan oleh kakek-kakek itu hanya terdiam duduk menyandarkan tubuhnya ke
Aku terbangun dari mimpiku siang itu, dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku dan belakang kepala yang panas seperti seseorang yang baru sembuh dari kesurupan. Kulihat mencoba duduk dan bersandar di dinding kamar, memikirkan arti dari mimpi itu. Semuanya terlihat sangat nyata seperti memutar waktu kembali ke masa lalu, masa di mana kampung ini masih hutan belantara. Aku kembali melihat sekeliling kamar yang tampak kosong pada siang itu, hanya angin berhembus dari jendela kamar menggerakan tirai jendela merah tua yang sudah lama dipasang. Aku lalu berdiri menuju ruang tengah mencoba mencari tahu sosok yang ada di mimpi itu dengan mencarinya di arsip-arsip keluargaku yang disimpan oleh almarhum Bapak di lemari kamarnya. Ketika aku keluar ternyata Ibuku sudah menungguku, dia duduk terdiam seperti menungguku bangun. Di sampingnya ada tas carrier yang sepe
Aki Karma sosok yang dituakan di Kampung Sepuh saat ini, dia adalah sosok yang sering diminta untuk menjadi penasehat apabila ada musyawarah di kampung. Selain itu Aki Karma adalah teman dekat Bapak. Sepeninggal Bapak, Aki Karma sering membantu Ibu apabila Ibu kehabisan stok dagangan. Dengan menyewakan satu-satunya kendaraan pick up miliknya dan berangkat ke kota untuk membeli barang dagangan untuk stock di warung. Aki Karma sebenarnya bukan penduduk asli Kampung Sepuh, dia adalah penduduk asli salah satu kampung di utara kota Bandung. dan ketika dia memutuskan untuk tinggal di Kampung Sepuh satu-satunya teman Aki Karma pada waktu itu adalah Bapak. Karena Bapak yang dulu membantunya dan akhirnya Aki Karma pun seperti mempunyai hutang budi kepada Bapak. Aki Karma dulunya adalah pemimpin salah satu kelompok pa