Share

PENGAKUAN YANG MENYAKITKAN

[Ini Raya?] 

 

Sebuah pesan masuk ke aplikasi hijauku saat aku baru selesai menidurkan Keanu siang itu. Sebuah nomer tidak dikenal.

 

[Siapa ya?]

 

[Gilang, teman Luna.]

 

[Oh, Mas Gilang. Ada apa, Mas?]

 

[Aku ada info buat Kamu, Raya. Tadinya mau aku kirimkan ke kakakmu tapi dia bilang suruh hubungi Kamu langsung.]

 

[Ooh gitu. Iya Mas Gilang, nggak papa. Ada apa, Mas?]

 

[Aku kirimin sesuatu ya, buat info aja. Katanya kemarin kalian nyari info kan?]

 

[Oh iya, Mas. Makasih sebelumnya.]

 

Tak lama kemudian Mas Gilang mengirimiku beberapa pesan berupa video. 

 

Dengan hati berdegup, aku membuka video yang dia kirimkan itu satu persatu. Dan hatiku hancur saat kulihat video pertama, Mas Arman sedang bergandengan dengan seorang wanita yang sama dengan yang kulihat waktu itu bersama Mbak Luna. 

 

Lalu video selanjutnya menunjukkan adegan mesra mereka saat sedang berada di ruangan, seperti sebuah kantin. Nemun dari semua video itu, yang terakhir yang paling membuatku shock. Video itu berisi adegan tak senonoh yang dilakukan oleh suamiku dengan wanita itu di sebuah toilet.  Dan aku sangat yakin semua kejadian yang direkam itu berlangsung di area kantor. 

 

Hatiku perih. Tak pernah terbayangkan aku melihat dengan mataku sendiri bagaimana suami yang aku banggakan selama ini bermesraan dengan wanita lain. Meskipun hanya di dalam sebuah video, tapi rasanya begitu menyakitkan. 

 

Kurasa mungkin bukan hanya aku saja yang tak akan bisa menahan ketika melihat perbuatan serong suami yang begitu nyata tergambar jelas di depan mata. Hingga kuputuskan untuk segera men-dial nomer ponsel Mas Arman dengan raut mukaku yang mungkin sudah tak karuan saat ini. 

 

"Halo Ray, ada apa?" SUARA Mas Arman dari seberang.

 

"Pulang jam berapa?" tanyaku tanpa basa-basi. Tak ada lagi kata sapaan 'Mas' atau 'Pa' yang biasa aku sebutkan. Rasanya diri ini sudah telalu jijik dengan lelaki yang berada di seberang telepon itu. 

 

"Ada apa? Tumben nelpon nanya pulang jam berapa? Ya seperti biasa lah, Ray. Ada apa sih?"

 

"Aku tunggu di rumah sore ini. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan, Mas. Tolong jangan pulang terlambat, atau Kamu nggak akan melihatku di rumah lagi."

 

Entah apa yang membuatku mengatakan itu, tapi rasanya aku sudah tidak kuat lagi menutupi rasa ini. Terlalu sakit untuk berpura-pura tidak tahu apa yang telah dia lalukan, padahal semuanya sudah sangat jelas. 

 

"Ada apa sih, Ray?"

 

Klik!! 

 

Dan aku segera mematikan telepon tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dahulu. 

 

 

Seberapa kerasnya aku mencoba untuk tidak menumpahkan air mata, aku tetaplah seorang wanita biasa yang. Di depan mataku sudah tidak ada lagi rumah tangga yang aku banggakan selama ini. Tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki semua kehancuran yang telah terjadi ini. Bahkan tidak ada sedikitpun niat untukku memaafkan kelakuan Mas Arman yang ternyata sudah sangat sekeji itu di belakangku. 

 

Dengan linangan air mata yang tak mau berhenti, aku menata pakaianku dan Keanu ke dalam tas besarku. Tekadku sudah bulat ingin mengakhiri rumah tanggaku yang sudah jelas sangat bobrok ini. Tidak kuat rasanya harus membagi cinta suamiku dengan wanita lain.

 

 

Dan sore harinya sebelum jam menunjukkan pukul 5, akhirnya kulihat mobil Mas Arman terparkir di halaman rumah. Dia tidak terlambat. Mungkin dia khawatir dengan apa yang tadi aku ucapkan. Aku sendiri sudah bersiap di kamar tamu menyambut kedatangannya.

 

Melihatku hanya duduk saat dia datang, wajah Mas Arman nampak dipenuhi tanya. Dia pun segera menghampiri dan duduk disebelah kursiku.

 

"Kamu kenapa, Ray?" 

 

Tak ada sepatah katapun yang aku ucapkan pada suamiku, hanya tanganku yang mengulur menunjukkan padanya video tentang kemesraanya dengan wanita itu di ponselku.

 

Mata Mas Arman nampak membelalak saat melihat ke layar ponsel yang masih kupegang itu.

 

"Dari mana Kamu dapat ini, Ray?" 

 

"Kamu masih sempat menanyakan dari mana aku mendapatkan ini, Mas? Kamu benar-benar tidak punya malu ya, Mas?" Aku menatapnya tidak percaya. Bagaimana mungkin justru kalimat itu yang keluar dari mulutnya, bukannya kata penyesalan atau permintaan maaf karena telah melakukan hal seperti itu.

 

"Lhoh, apa salahnya sih aku bertanya seperti itu? Kamu mengikuti aku? Membuntuti aku sampai ke kantor? Atau jangan-jangan kamu menyuruh seseorang untuk memata-mataiku di kantor ya?" katanya dengan nada sedikit gusar.

 

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang kudengar ini. Bisa bisanya dia justru mengomel tidak jelas padaku padahal nyata-nyata dialah yang bersalah. 

 

"Mas! Apa sih pedulimu bagaimana caraku mendapatkan semua ini? Kamu bahkan tidak malu istrimu mengetahui semua ini? Kamu tidak menyesal? Kamu tidak merasa bersalah?"

 

Raut muka Mas Arman yang kuharapkan ternyata jauh dari bayanganku. Kupikir tadinya Mas Arman akan menyesal, meminta maaf padaku setelah aku mengetahui kebusukannya itu. Tapi apa ini? Dia justru tersenyum sinis seperti sedang mengejek dan menertawakanku. 

 

"Lalu sekarang mau kamu apa, Ray? Pisah? Trus mau apa Kamu setelah pisah? Apa Kamu lebih bangga menjadi janda?" katanya dengan angkuh.

 

"Mas ... Astaghfirullah, tega sekali Kamu bicara seperti itu. Kamu benar-benar tidak menyesal sama sekali telah melakukan ini padaku?"

 

"Dengarkan aku, Raya! Sekarang Kamu yang seharusnya berpikir sebelum mengatakan ini pada suamimu. Kamu punya apa? Kalau Kamu berpisah dariku, lalu Kamu mau apa? Pikirkan dulu sebelum Kamu bertindak, Raya." Kembali Mas Arman tersenyum sinis. 

 

"Ya Allah, Mas. Tega Kamu Mas ngomong kayak gitu ke aku."

 

"Tunggu! Dengarkan dulu aku ngomong. Baru Kamu boleh memutuskan," katanya tiba-tiba.

 

Akhirnya aku terdiam demi melihat reaksi Mas Arman yang mendadak serius. 

 

"Ray, dia ini boss aku. Manajer di tempatku bekerja. Dia kaya, punya jabatan, dan dia tergila-gila sama aku. Aku nggak perlu cerita lah pasti kamu juga sudah tau apa yang sudah dia kasih ke aku. Sekarang apa? Kita nggak pernah lagi kekurangan apa-apa kan? Bukannya itu fair buat keluarga kita?"

 

"Maksud kamu apa, Mas? Fair bagaimana?" 

 

"Tenang dulu lah, jangan emosi. Kamu itu dikit dikit emosi aja. Dipikir aja lah Ray, Kamu pikir aku bisa naik jabatan jadi supervisor ini karena siapa? Aku bisa punya mobil itu karena siapa?" Mas Arman nampak terdiam sejenak seolah menunggu reaksiku. "Dia yang memberikan semua itu, Ray. Fasilitas yang aku dapat selama ini, dia semua yang ngasih. Lalu apa? Kamu tinggal ikut menikmati saja kan? Beres."

 

"Ya Allah, Mas. Kamu mau aku ikut menikmati hasil dari kamu menyenangkan wanita lain? Begitu maksudmu? Dan kamu mau aku diam saja?"

 

"Kalau tidak begitu mau gimana? Pisah? Yakin Kamu mau menjanda? Mengurusi Keanu sendiri? Pikir, Ray!" Mas Arman menunjuk pelipisnya sendiri berusaha menunjukkan padaku bagaimana aku memikirkan ulang keputusanku untuk pergi darinya.

 

"Aku lebih baik jadi janda daripada punya suami seperti Kamu, Mas. Mencari uang dengan cara seperti itu. Menyakiti hati istri." Jantungku bergemuruh. Darahku sudah mendidih sampai ke ubun-ubun melihat sikapnya yang seperti itu. 

 

"Terserah lah ya ... kalau kamu tetap tidak mau dibilangin. Tapi dengar Ray, aku sudah nyaman dengan dia. Kamu lihat dong!" 

Tiba-tiba Mas Arman merampas ponselku, lalu kembali memutar video yang seharusnya dia malu untuk melihatnya itu. 

 

"Kamu lihat ini!" Dan dengan bangganya dia menunjukkan video itu padaku tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Coba bandingkan dengan Kamu! Siapa yang lebih cantik diantara kalian? Kamu nggak ada apa-apanya lho Ray sama dia. Kalau kamu pisah dari aku, kamu nggak akan untung apa-apa. Sebaliknya, dengan Kamu pergi, kamu justru akan lebih membuatku bebas."

 

"Tapi jika kamu diam saja. Bersikap wajar saja seperti biasa. Kamu dan Keanu nyaman, kecukupan. Toh aku juga nggak pernah lupa memberikanmu nafkah batin kan? Dia pun juga nggak keberatan aku masih sama Kamu kok. Itu adil kan?"

 

"Astaghfirullah Mas. Sudah Mas, Cukup!! Aku tidak bisa. Aku akan pulang sekarang. Kamu sudah keblinger, Kamu sudah terlalu jauh keluar dari jalur. Aku tidak bisa menuruti kata-katamu." 

 

Aku segera bangkit bermaksud menuju kamar untuk membawa Keanu dan mengambil barang-barang yang sudah kumasukkan ke dalam tas tadi siang. 

 

"Raya! Mau kemana Kamu? Jangan bodoh!"

 

Di luar dugaan, Mas Arman ternyata bangkit mengejarku, lalu menarik pergelangan tanganku. Sepertinya dia memang tidak benar-benar ingin membuatku pergi. Mungkin apa yang dia katakan tadi hanya bermaksud menakutiku, mengancamku. Entahlah.

 

"Kamu benar-benar ingin kita pisah?!" tanyanya sedikit menghardik. 

 

"Apa kamu pikir aku masih mau bersamamu setelah pengakuanmu yang menyakitkan ini, Mas? Jangan mimpi!" 

 

Mendengar aku marah, Mas Arman justru tertawa lebar.

 

"Setelah kujelaskan panjang lebar seperti tadi, kamu masih belum mengerti juga, Ray? Coba lah pikirkan lagi. Pikir sekali lagi! Apa untungnya jika Kamu pergi? Jika kita pisah?"

 

"Yang jelas aku tidak akan lagi merasa sakit seperti ini, Mas. Lepaskan tanganku!" Aku berusaha melepaskan cekalannya, namun gagal. Dia jauh lebih kuat dariku. 

 

"Lalu Keanu? Kamu akan membiarkannya berpisah dari ayahnya hanya karena keegoisan kamu?" 

 

"Egois kamu bilang? Siapa yang Egois, aku apa Kamu, Mas?" 

 

Aku mulai kehilangan kesabaran. Kenapa dia justru menekanku? Seperti inikah yang dialami wanita-wanita di liar sana dengan suami berkhianat yang tak punya daya apa-apa? Bahkan justru disalahkan atas kesalahan yang tidak pernah dia lakukan? Justru dibodoh-bodohkan dengan keputusan yang dia ambil?

 

"Oke, oke, begini saja. Mungkin penjelasanku belum bisa membuatmu puas, Ray. Tolong Kamu tunggu sampai besok. Aku akan memberikanmu alasan kenapa kamu harus tetap disini. Tetap bersamaku."

 

"Aku tidak mau Mas."

 

"Jangan bilang tidak mau. Kamu lihat dulu besok. Beri aku kesempatan sampai besok, ok? Aku akan buktikan bahwa kita lebih baik tetap bersama dibanding berpisah."

 

"Apa yang mau Kamu lakukan?" tanyaku curiga.

 

"Tunggu besok. Kamu akan tau sendiri, Ray. Dan aku yakin kamu pasti akan berpikir ulang jika mengetahui ini langsung."

 

"Aku tidak bis...."

 

"Plis Ray, sekali ini saja. Dengarkan aku sampai besok. Setelah itu kamu bisa memutuskan. Apapun keputusanmu, aku sudah tidak akan bisa mencegahnya." 

 

Sebenarnya aku sudah sangat muak dan jijik dengan suamiku ini. Tapi rasa penasaranku membuatku untuk sedikit bersabar. Apa sebenarnya yang akan dia lakukan? Apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya itu hingga dia berpikir aku akan berubah pikiran setelah dia menunjukkan sesuatu padaku?

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status