Share

MENJUAL KEHORMATAN

Siang itu tepat jam makan siang, tak seperti biasanya, Mas Arman justru pulang ke rumah mengendarai mobil yang akhirnya aku tahu bukan fasilitas dari kantornya, melainkan dari atasannya yang bernama Anggita itu. 

 

Saat mobilnya berhenti tepat di depan rumah kami, sebuah mobil lainnya ikut berhenti di belakangnya. Sebuah mobil yang sedikit lebih bagus dari yang di kendarainya saat ini. Lalu sejurus kemudian masing masing pengendarainya turun. Mas Arman dan wanita itu, mereka berjalan beriringan menuju rumah. 

 

Jantungku berdetak cepat melihat prmandangan itu dari balik gordyn ruang tamu. Berani sekali wanita itu kemari. Dan Mas Arman, apa yang sedang dia lakukan ini? Membawa gund*knya ke rumah kami? Jadi ini yang dia maksud kemarin, menyuruhku menunggu untuk tidak pergi? Untuk melihat semuanya ini?

 

Sebelum aku sempat menata hati yang tak karuan, pintu depan terdengar sudah diketuk. 

 

"Assalamu'alaikum, Ray ..." sapa suara Mas Arman.

 

Setelah beberapa kali helaan nafas, aku melangkah menuju pintu dan membukanya perlahan. Wajah Mas Arman dengan senyumnya yang kulihat pertama kali. Dan betapa teririsnya karena disampingnya, wanita itu pun sama manisnya saat tersenyum padaku. Sedangkan aku, tentu saja tidak bisa tersenyum sedikitpun. 

 

"Aku kira Kamu lagi tidur, Sayang," ucapnya sambil melangkah masuk dan mencondongkan tubuhnya berniat hendak mencium keningku seperti biasanya. Tapi sontak aku beringsut mundur. Dan aku yakin gerakanku ini membuat Mas Arman sedikit kaget, karena kulihat raut mukanya nampak memerah entah menahan marah atau malu.

 

"Ada apa? Kenapa pulang jam segini?" tanyaku kaku. 

 

"Kita masuk dulu ya? Duduk dulu dan kita bicara. Ayo Nggi, masuk!" ajak Mas Arman pada wanita itu.

 

Saat Mas Arman mulai melangkah masuk, wanita itu pun bermaksud mengikutinya, tapi tiba-tiba entah kenapa aku mencegahnya. 

 

"Maaf, Mbak siapa? Silahkan tunggu di luar saja," kataku dengan nada dingin.

 

Mendengar ucapanku, Mas Arman segera membalikkan badan menghadap ke arah kami.

 

"Raya, ini Anggi. Yang aku ceritakan kemarin, Sayang. Ingat kan?" 

 

Aku menoleh ke arah Mas Arman, menatapnya tajam. Seolah aku ingin berkata padanya, tanpa kamu berkata pun aku sudah tahu siapa dia, Mas. Tapi bibirku kelu, sulit untuk berkata-kata. Apalagi saat tiba-tiba Mas Arman justru meraih pergelangan tangan wanita itu dan menggandengnya masuk. 

 

Kuiikuti gerakan langkah mereka menuju kursi sudut ruang tamu dengan mataku dari tempat berdiri. Berkali-kali aku menelan ludah getir. Seumur hidup aku bahkan tak pernah membayangkan akan mengalami hal menyakitkan seperti ini, melihat suamiku bergandengan tangan dengan wanita lain di depan mataku sendiri dan di dalam rumah kami. 

 

Saat wanita itu telah duduk dengan anggunnya di kursi ruang tamu kami, Mas Arman menoleh ke arahku. 

 

"Raya, kemarilah, Sayang. Kita bicara," katanya.

 

"Maaf, aku ada urusan, Mas. Aku harus pergi," kataku cepat sambil hendak berlalu menuju ke dalam. Tapi Mas Arman tiba-tiba bangkit dan menghampiriku, menghadang langkahku. 

 

"Kita sudah bahas ini kan Ray, kemarin. Sekarang dengarkan dulu, setelah itu Kamu boleh memutuskan," kata suamiku sambil mengulurkan tangannya. Melihat wajahnya yang sangat tenang saat mengatakan itu, hatiku segera menyadari bahwa dia sepertinya sudah benar-benar siap untuk kehilangan aku. Baiklah, kalau begitu akan kuturuti permintaan terakhirnya kali ini. Meskipun sudah tidak tahan lagi melihat pemandangan itu, aku ingin tahu apa sebenarnya yang mereka berdua inginkan dariku.

 

Sejenak kutoleh wanita yang saat ini sedang duduk dengan anggunnya di kursi sudut rumah kami. Aku baru menyadari betapa wanita ini memang sangat cantik. Dari segi apapun aku kalah jauh dibanding dirinya. Bukan hanya kulit putihnya yang mulus, tapi juga penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki yang membuatku benar benar seperti tak ada artinya di mata suamiku sendiri. 

 

Perlahan aku melangkah mendekat ke arah kursi, tak kuhiraukan tangan Mas Arman yang sejak tadi terulur bermaksud hendak menggandengku untuk duduk. Jijik rasanya melihat tangan yang baru saja digunakan untuk menyentuh wanita lain itu. Dengan wajah yang kutahu sedikit kecewa, Mas Arman segera mengekor berjalan di belakangku dan di luar dugaan, ternyata dia memilih untuk duduk di sebelahku, bukan wanita itu. Tapi bagaimanapun, rasa hormatku padanya sudah hilang. Jadi itu tidak berarti apapun lagi bagiku.

 

"Bicaralah! Akan kudengarkan," kataku setelah kami semua duduk. Aku dan Mas Arman berhadapan dengan wanita itu. 

 

"Raya, perkenalkan aku Anggi, atasannya suamimu di kantor," katanya dengan penuh percaya diri. Bahkan bibir tipis di wajah yang berbau perawatan mahal itu menyunggingkan senyumnya yang sangat manis. Lagi-lagi aku menelan ludah getir. Tak heran bagaimana suamiku begitu kepincut dengannya. Ternyata seindah ini wanita yang telah menggantikan tempatku itu. Apalah aku yang hanya berpenampilan ala kadarnya ini dengan seragam dasterku seperti biasa dan juga tanpa make up. 

 

"Apa yang kamu inginkan?" tanyaku.

 

"Aku kesini untuk menawarkan hal yang saling menguntungkan untuk kita, Raya. Bukan begitu Arman?" Dia melirik ke arah lelaki yang duduk di sebelahku. Senyum manisnya itu benar-benar membuatku sangat jijik. 

 

"Langsung saja, tidak perlu berbelit belit, Mbak," ucapku mulai jengah.

 

"Ray, jangan begitu, yang sedikit sopan," kata Mas Arman lirih di sebelahku. Bisa dibayangkan betapa muaknya aku dengan lelakiku ini?

 

"Baiklah, jadi gini Raya. Terus terang saja, aku dan suamimu memliki hubungan khusus. Aku sangat menyukai suamimu dan aku rasa dia pun begitu."

 

Kurang ajar sekali wanita ini, berani berbicara seperti ini di depan istri sah dari lelaki yang dia kencani. 

 

"Aku tau dia sudah punya keluarga yang dia cintai. Dan aku tidak keberatan dengan itu. Karena jujur saja, aku tidak bisa menolak perasaanku ini. Jadi sebagai gantinya, aku ingin menawarkan kerjasama sama Kamu. Aku akan mencukupi kebutuhan kalian, Kamu dan anak Kamu. Sementara itu, Kamu ijinkan aku untuk tetap berhubungan dengan suami kamu? Bagaimana?"

 

Aku tertawa sinis mendengar ucapan wanita di depanku ini. Rasanya aku seperti orang gila di sini. Tertawa sendirian diantara mereka berdua yang memandangku begitu serius.

 

"Begitu ya?" tanyaku. 

 

"Iya, Ray. Gimana, kamu setuju kan?" tanya Mas Arman penuh antusias di sebelahku.

 

Aku tak mengindahkannya, namun aku justru menatap wanita di depanku itu dan berkata; "Maaf, Mbak, tapi aku tidak menjual suamiku." 

 

Kulihat wajahnya bersemu merah, nampak sedikit tersinggung dengan kata-kataku. Mas Arman yang sepertinya menyadari hal itu segera memegang lenganku. 

 

"Raya, maksud Anggi bukan seperti itu. Dia berbaik hati sama kita. Dia akan menuruti segala kemauan kita, terutama keinginan Kamu. Begitu kan, Nggi?"

 

"Ya," jawabnya dengan gaya manja. Ya Tuhan aku benar-benar sangat muak dengan ini semua. 

 

"Anggi akan melunasi rumah kita segera, Ray. Mobil yang aku pakai itu juga akan menjadi milik kita. Lalu, setiap bulan dia akan memberimu uang. Bagaimana, adil kan?" Lagi-lagi perkataan Mas Arman membuatku shock.

 

Wajahku rasanya seperti terbakar mendengar ucapan suamiku sendiri. Betapa tidak tahu malunya dia. Rela menjual diri hanya untuk harta. Bahkan sekarang dia melibatkanku dengan masuk ke dalamnya. Mas Arman, aku sungguh tak menyangka kamu telah dibutakan oleh harta dan kecantikan wanita sampai separah ini, Mas. 

 

***

 

To be continued ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sadar diri aja raya. kamu g punya apa2 selain otak yg g berguna. drama sampah mu g laku.
goodnovel comment avatar
Fatihah82
karakter ceweknya...superrr g asuka. Lemahhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status