Share

AMBIL SAJA SUAMIKU

"Gimana, Ray?"

Untuk ke sekian kali Mas Arman bertanya. 

 

"Kamu ingin jawabanku sekarang juga, Mas?" Aku menoleh ke arahnya.

 

"Aku ingin yang terbaik untuk Kamu dan Keanu, Ray. Aku ingin kalian hidup tanpa kekurangan," dalihnya. Aku menanggapi ucapannya dengan senyum kecut.

 

"Oke, baiklah. Aku akan menjawabnya sekarang juga. Sekarang kalian berdua silahkan dengarkan." Aku menarik nafas panjang, mencoba menata kalimat demi kalimat yang akan kusampaikan. 

 

Dalam kondisi seperti ini, jika aku melawan dengan cara kasar, alangkah tidak bermartabatnya aku, tak jauh dengan orang bar-bar. Meskipun Mas Rman adalah suami sahku, tapi aku akui cara wanita ini meminta suamiku dariku sungguh sangat berkelas. Jadi betapa menyedihkannya jika aku membalasnya dengan cara-cara yang kasar. 

 

"Kamu menyukainya, Mas?" tanyaku pada suamiku sambil menunjuk ke arah wanita di depan kami itu. Mas Arman kulihat sedikit gelagapan mendengar pertanyaanku. Mungkin dia tidak terlalu siap dengan pertanyaan seperti itu. 

 

"Aku hanya menginginkan kita tetap bersama, Ray. Itu saja. Kita tidak perlu berpisah karena masalah ini, toh Anggi pun tidak keberatan dengan kondisi kita kan?" jelasnya panjang lebar dengan nada sedikit gugup.

 

"Aku hanya bertanya, apa Kamu menyukainya? Jawab saja 'iya' atau 'tidak', Mas."

 

Agak lama dia terdiam sampai akhirnya dia pun berkata; "Iya, Ray. Aku menyukai Anggi."

 

"Oke, jadi sudah jelas Kan. Kamu menyukainya dan dia pun menyukaimu. Itu sudah cukup untuk aku dan Keanu pergi dari kehidupan Kamu, Mas." Mas Arman menatapku dengan mata membelalak, mungkin dia tidak percaya aku akan mengatakan hal seperti itu padanya.

 

 "Dan Kamu Mbak, sekali lagi aku bilang, aku tidak pernah menjual suamiku. Jadi jika Kamu mau, silahkan ambil. Karena aku tidak membutuhkan suami model seperti ini lagi. Silahkan ambil saja gratis. Dan  terima kasih sudah sangat jujur dan berani mengakui di depanku, istri sahnya. Sekarang, tolong tinggalkan rumah kami. Tunggu aku menceraikan suamiku dan kalian boleh berhubungan sepuas kalian," tegasku.

 

"Raya!!" 

 

Mas Arman segera mencekal lenganku saat aku bangkit setelah mengatakan kalimatku yang panjang tadi. Tapi dengan tegas kutepis pegangannya dengan satu hentakan. 

 

"Kamu juga tidak perlu meminta ijinku untuk bersama dengan dia, Mas. Aku akan membebaskanmu. Suruh wanita ini pergi sekarang agar kita bisa lebih cepat menyelesaikan masalah kita," kataku lagi.

 

Susah payah kutahan air mataku untuk tidak jatuh saat mengucapkan kalimat demi kalimat itu di depan mereka. Bagaimana pun lemahnya aku, tidak akan sedikitpun kubiarkan terlihat di depan mereka. 

 

Tanpa menghiraukan wajah kebingungan Mas Arman, dan entah wajah wanita itu yang seperti apa, aku segera berlalu masuk ke dalam rumah, menuju ke kamar dimana anakku masih tertidur pulas.

 

Tak berapa lama kemudian, terdengar deri suara mobil meninggalkan rumah kami. 

 

"Ray, mas balik ke kantor dulu ya?" Mas Arman sudah berada di pintu kamar kami. Aku hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahnya. Mengemas ulang beberapa pakaianku dan Keanu yang akan kubawa pulang ke tempat orang tuaku.

 

"Kamu beneran mau pergi, Ray?" Tiba-tiba dia sudah berdiri di dekatku. 

 

"Apa aku punya pilihan yang lebih baik selain ini, Mas?" tanyaku sarkas tanpa melihatnya. 

 

"Kalau kamu pergi kamu nggak boleh membawa Keanu!" katanya setengah membentak. 

 

Aku segera membalik badan, marah mendengar ucapannya.

 

"Begitu ya? Coba saja Mas kalau kamu bisa menghalangiku membawa Keanu," kataku sinis. 

 

"Ray, ayolah, jangan kaya anak kecil. Pikirkan lagi tawaran Anggi tadi. Jangan korbankan Keanu. Dia akan kehilangan ayah kalau Kamu nekat mau cerai."

 

"Lebih baik Keanu tidak punya ayah daripada punya ayah kayak Kamu, Mas. Sudah sana pergilah! Jangan lagi mengurusi Kami!" 

 

Aku segera menggendong Keanu dan membawa barang yang telah kupersiapkan di dalam tasku." 

 

"Ray, Raya! Jangan gila Kamu Ray!" Entah omongan apa lagi yang keluar dari mulut suamiku yang terus saja mengoceh mengikuti langkahku menuju keluar rumah. Dan akhirnya tak kudengar suaranya lagi karena aku sudah meninggalkan rumah kami tanpa mempedulikannya yang terus berteriak.

 

 

***

 

 

Seminggu setelah aku kembali ke rumah orang tuaku, sepertinya sama sekali tidak ada penyesalan dari suamiku. Dia bahkan tidak mengirimkan pesan hanya sekedar untuk menanyakan kabar anaknya. Dia pasti sekarang sudah merasa bebas. Tidak perlu lagi khawatir akan ada yang marah saat dia bertemu dengan gund*knya itu. Dan aku memang sudah siap untuk semua itu. Tidak ada lagi Mas Arman dala. hidupku dan Keanu. 

 

 

Bagaimanapun beratnya hidup sendiri tanpa suami, tapi semua harus kujalani dibanding setiap hari aku harus tersiksa dengan kelakuan Mas Arman jika saja waktu itu aku  menerima tawaran mereka untuk hidup dalam bayang-bayang wanita kegatelan itu. 

 

 

Tiga bulan setelah itu, aku dan Mas Arman resmi bercerai. Walaupun keputusan di pengadilan mengharuskannya untuk tetap menafkahi Keanu, tapi aku bertekad untuk jadi mandiri. Aku harus bangkit untuk membuktikan bahwa tanpanya aku juga bisa membesarkan anak kami dengan baik. 

 

Untuk menyambung hidup, aku diminta Mbak Luna membantunya bekerja di konveksi milik suaminya, Mas Denny. Bayaranku memang tidak seberapa, tapi setidaknya aku tidak terlalu membebani bapak dan ibu meskipun saat ini aku dan Keanu tinggal di rumah mereka. Sambil aku terus berusaha memasukkan lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan sesuai bidang pendidikanku waktu itu. 

 

"Gimana, Ray? Belum ada panggilan juga?" tanya Mbak Luna siang itu saat kami sedang beristirahat makan. 

 

"Belum ada, Mbak. Nggak tau nih, udah banyak padahal lamaran yang aku masukin."

 

"Sabaar, kalau sudah rejeki nanti pasti datang panggilannya," kata Mbak Luna membesarkan hati. 

 

"Lun, anak-anak bordir nanti mau lembur. Beliin camilan gih ke minimarket, aku mau benerin mesin yang rusak dulu!" Mas Denny tiba-tiba menghampiri kami dan menyodorkan beberapa lembar uang pada istrinya. 

 

"Oke, Boss," sahut Mbak Luna santai.

 

"Biar aku aja Mbak yang beliin. Sekalian mau beliin susu buat Keanu, habis," tawarku. 

 

"Bener nggak papa?"

 

"Iyaaa."

 

"Ya udah ini uangnya. Pake motor Mbak aja tuh, kuncinya udah disana," tunjuk Mbak Luna ke arah motornya.

 

Bergegas aku menuju ke minimarket  yang berjarak sekitar 5KM dari rumah Mas Denny dan Mbak Luna. 

 

***

 

"Raya?!" Tiba-tiba seseorang memanggil namaku saat aku sedang memilih-milih kue basah untuk camilan. Saat aku menoleh kulihat sesosok pria jangkung kurus berkulit sedikit gelap dengan wajah jenaka sedang menghampiriku. 

 

"Mas Gilang?" Aku agak lupa wajahnya, tapi sepertinya itu memang dia. 

 

"Iya, aku Gilang. Masa' lupa? Kamu ngapain disini?" tanyanya setelah kami bersalaman. 

 

"Ini ... beli kue sama susu buat anak. Mas sendiri ngapain?" 

 

"Biasa, ajudan. Nganterin boss, tuh!" tunjuknya pada seorang lelaki paruh baya berstelan jas  yang sedang berdiri di depan kasir. 

 

"Ooh." Aku mengangguk mengerti. 

 

"Lang, ayoo!!" Tiba-tiba terdengar lelaki itu memanggil Mas Gilang sambil memberi kode untuk keluar. 

 

"Aku duluan ya, Ray. Mo keluar kota dulu," katanya berpamitan. Lalu berjalan menuju ke arah lelaki yang memanggilnya tadi. Sementara si lelaki memandang ke arahku sekilas dan tersenyum sebentar sebelum akhirnya berjalan bersama Mas Gilang keluar dari minimarket. 

 

*** 

 

"Tadi aku ketemu Mas Gilang Mbak di minimarket," ceritaku ke Mbak Luna saat sampai di rumahnya lagi. 

 

"Oya, kemarin aku juga habis ketemu dia. Lagi sibuk kayaknya dia. Bossnya mau mantu."

 

"Lah, bossnya yang mantu kenapa dia yang sibuk?"

 

"Lho kamu nggak tau? Dia tuh sama boss dia ceritanya udah kayak Ce-es ... deket banget udah kayak keluarga. Menurutku sih dia itu bukannya sopir, tapi orang kepercayaan gitu. Enak kayaknya dia, gajinya gede," celoteh Mbak Luna.

 

"Ah, sok tau kamu, Mbak!"

 

"Dia sendiri yang bilang. Eh ngomong-ngomong, si Gilang itu ternyata belum punya istri lho, Ray. Mau apa kucomblangin?" 

 

"Hiiih, Mbak Luna apa-apaan sih?" 

 

"Serius, Ray. Siapa tau kamu mau. Yaa .. dia sih memang tampangnya gak se-keren mantan suamimu ... tapi setidaknya kan dia nggak brengsek kayak si Arman," kata Mbak Luna menggodaku.

 

Aku mencubit lengannya gemas sampai dia mengaduh.

 

"Baru juga kemarin mbak cerai. Udah ah, belum kepikiran ke arah situ aku."

 

Tapi demi mendengar kelakar Mbak Luna, akhirnya aku jadi kepikiran juga. Bukan kepikiran dengan Mas Gilang, tapi kepikiran apakah aku akan selamanya sendiri karena traumaku atas rumah tanggaku sebelumnya? Akankah setelah ini aku bisa menjalani kehidupan rumah tangga lagi tanpa rasa takut akan disakiti?

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status