Bab 3
*“Hore! Papa pulang!” teriak si bungsu dari arah depan pintu. Ia sedari tadi menunggu kepulangan Bima, karena mamanya bilang papa akan pulang sore ini.“Hai, putri kecil papa!” ucap Bima memberi sambutan untuk putri kecilnya. Ia mengangkat tubuh itu ke udara. “Udah berat, pasti makannya rutin ya?” tebak papanya menggoda Inaya sambil menurunkannya. Gadis kecil hampir berusia delapan tahun itu tertawa karena tebakan papanya benar. Pasalnya ia sering tak mau makan nasi, hanya bermodalkan jajanan di luar, atau paling mentok makan nasi cuma sedikit. Namun, akhir-akhir ini ia sudah rajin makan nasi. Nindita pun, tak kehabisan akal untuk mengolah makanan di dapur menjadi menu yang disukai suami dan anak-anaknya.“Kemarin Inaya malah minta nambah, Mas.” Nindita berkata. Itu artinya ada perkembangan pola makan Inaya.“Wah, hebat!” puji sang papa. Bima mencium pipi Inaya, setelah itu mencium kening Nindita sebagai kecupan rindu karena sudah seminggu tak bertemu.Angga dan Khanza turun dari kamarnya. Mereka berdua menyalami tangan papanya.“Gimana sekolahnya, Ga?” tanya sang papa pada anak pertamanya.“Baik, Pa, lancar.” Angga menjawab dengan tersenyum.“Khanza gimana?” tanya papa lagi, kini pada anak ke duanya. Khanza sudah berumur tiga belas tahun, saat ini ia masih bersekolah di salah satu SMP di Jakarta. Khanza masih duduk di kelas satu SMP.“Baik sih, Pa. Tapi, kemarin Khanza cuma dapat nilai sembilan di ulangan Matematika.” Gadis itu merengut, menampakkan wajah sedihnya mengingat ia yang tak bisa mendapatkan nilai sempurna dalam ulangan.Bima dan Nindita saling menatap, lalu sama-sama tersenyum.“Gak apa-apa, Sayang. Asal kamu punya niat jadi lebih baik.” Bima sedikit menunduk, karena tinggi Khanza bahkan belum mencapai dadanya.“Iya, Pa.” Khanza ikut tersenyum.Bima mengelus puncak kepala Khanza, lalu beralih ke Angga. Saat itu Angga melihat tangan papanya terulur di kepalanya, ia melihat jam tangan itu lagi. Diam-diam ia mengamati, dan dalam pikirannya menyamakan dengan arloji yang ia lihat di video itu.“Pa, donat gulanya mana?” celutuk Inaya di tengah keluarga yang sedang lepas rindu itu.Nindita tertawa mendengarnya. Inaya selalu menunggu sang papa membawakannya donat gula, karena ia sangat menyukainya.“Ah, iya. Papa hampir lupa.” Bima menepuk jidatnya. Ia tadi langsung meletakkan oleh-oleh itu di atas meja di ruang tamu, karena Inaya spontan berlari ke arahnya.“Ini buat Inaya,” ucap papanya mengulurkan satu kotak donat gula untuk putri sulungnya.Inaya tersenyum bahagia, langsung berlari menuju sofa dan menikmati donatnya. Selain Inaya, di rumah itu tak ada yang menyukai donat. Sebab itu, sedikit susah jika Bima membelikan camilan untuk anak-anaknya. Tiga anak itu, tiga rasa dan selera, tapi mereka bersatu dalam masakan mamanya. Mereka suka semua yang dihidangkan oleh Nindita.“Ini buat Kak Angga,” Bima memberikan sekotak pizza untuk Angga.“Ini buat Khanza,” Bima memberikan sekotak burger untuk anak gadisnya yang sudah memasuki usia remaja itu.Setelah mendapatkan hadiah masing-masing, anak-anak makan di depan televisi. Sementara Nindita hanya diam menatap suaminya sambil memanyunkan bibirnya.Bima yang ditatap seperti itu, kembali menatap istrinya dengan tatapan menggoda.“Buatku mana, Mas?” tanya Nindita. Hanya ia yang tak mendapat oleh-oleh.Sejenak Bima mengawasi anak-anak, memastikan mereka tak ada yang ke situ lagi. Lalu, Bima mendekat dan menatap genit pada istrinya. Sejurus kemudian sebuah kecupan hangat mendarat di bibir ranum Nindita.“Ayo kita mandi lebih awal, dan menyambut malam yang hangat.”Bima menatap genit pada Nindita seraya menyerahkan sebuah paper bag untuk istrinya.“Apa ini?” tanya Nindita.“Buka saja!”Nindita membulatkan matanya, ia segara memasukkan kembali barang itu ke paper bag setelah ia melihatnya. Ia melihat ke kiri ke kanan, takut anak-anak tiba-tiba datang. Sebuah lingerie merah menggoda sebagai hadiah untuk Nindita, bahkan perempuan itu bersemu dibuatnya.“Kamu udah tua masih genit ya, Mas.” Nindita tersenyum malu pada suaminya.“Genit sama istri sendiri, apa salah?”Nindita menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah suaminya.“Aku sangat merindukanmu, Sayang.” Kembali sebuah kecupan mendarat di pipinya.“Aku juga.” Diakui, Nindita juga begitu merindukan kehangatan itu, meskipun ia malu untuk mengungkapkannya.Umur Nindita hanya terpaut lima tahun dari umur Bima. Bima kelihatan lebih muda dari usianya, begitu juga Nindita, keduanya tampak awet muda. Mungkin sebab itu gairah untuk kehangatan masih menggelora, seolah selalu muda.*Minggu pagi. Nindita dan anak-anak pergi berbelanja, hanya tinggal Bima dan Angga di rumah. Angga berpikir, ini kesempatan terbaik untuk menanyakan semuanya ke papanya.Angga sudah menyiapkan diri dengan apa pun jawaban papa. Ia kerap kali memperhatikan papanya, entah di meja makan, atau saat akan berangkat ke kantor. Semalam papa juga lembur, dan pulang pukul dua belas malam. Angga masih belum tertidur, ia mendengar saat pintu depan terbuka dan mama menyambut kepulangannya.Saat Angga berhadapan dengan Bima, mata itu tak terlepas dari jam tangannya. Tak hanya jam tangan, tapi jarinya juga persis seperti dalam video itu.Angga menghampiri Bima yang pagi itu sedang membaca koran dengan secangkir kopi di hadapannya. Lelaki dewasa itu duduk di belakang rumah, dekat taman belakang dan kolam renang. Di situ terdapat sebuah meja bundar dan beberapa kursi kayu berukir mewah. Semua itu Nindita yang memilihnya, ia yang sepenuhnya andil dalam pembelian perabot rumah, bahkan warna cat rumah. Seleranya membuat Bima bertepuk tangan, perpaduan ornamennya elegan seperti Nindita.“Pa ...,” sapa Angga, dan langsung duduk di hadapan papanya.
“Hei, Angga. Nggak keluar sama teman?” Bima menurunkan sedikit halaman koran yang ia baca, ia tak menyadari kedatangan anak sulungnya jika Angga tak bicara.“Nggak, Pa. Lagi males.” Angga berkata.Bima hanya mengangguk-anggukan kepala. Ia melipat koran yang tadi ia baca, lalu menyesap kopi buatan istrinya. Masih hangat, karena baru beberapa menit lalu diseduh. Rasa manis dan pahit seketika mengalir di kerongkongannya, nikmat. Bagi Bima, tak ada kopi yang lebih nikmat daripada buatan Nindita.“Aku mau nanya sesuatu, Pa,” ucap Angga hati-hati.“Apa itu? Katakan, Ga.” Bima mempersilakan anaknya untuk bertanya. Lelaki itu memang tak pernah mengekang atau membatasi anak-anak untuk bertanya.Angga mengeluarkan ponsel dalam saku celana pendeknya. Ia membuka video hasil d******d beberapa malam yang lalu. Kemudian, ponsel itu ia berikan untuk Bima, membuat laki-laki itu terlihat bingung dengan anak sulungnya.“Apa yang ada di video ini adalah papa?” tanya Angga berani.Sejenak wajah Bima terlihat pias. Ia terkejut saat menonton video beberapa detik itu. Video pernikahan yang telah diedit dan diunggah oleh seseorang di sosial media. Jantung Bima bergetar tak seirama menunjukkan sinyal bahaya dan ketakutan yang mendera.Lalu, Bima memicingkan mata, dan bertingkah normal untuk menutupi gugupnya.“Mana yang kamu maksud papa?” Bima malah balik bertanya pada Angga.“Lelaki yang memakai jam tangan itu. Persis milik papa, kan?” jelas Angga lagi.“Papa pernah bilang itu jam tangan limited edition. Apa itu papa?” tanya Angga lagi.Angga seolah tak memberi ruang untuk papanya berpikir. Namun, bukan Bima namanya jika tak bisa mengelak dari itu semua.“Iya, jamnya persis punya papa. Tapi bukan hanya papa yang memiliki jam tangan seperti itu. Barang kw juga merebak di pasar, Ga.”Bima berusaha tetap tenang. Ia menepuk pundak Angga dan memberi penjelasan.“Itu bukan papa, Ga. Di tengah kesibukan seperti ini, mana sempat papa main tiktok.”“Wanita itu?” tanya Angga lagi. Bahkan kini ia menatap tajam papanya.“Lebih-lebih wanita itu. Papa nggak tau,” Bima menggeleng meyakinkan.Angga diam, tapi pikirannya tetap tak tenang.Bab 4 * “Ma, berangkat ya.” Angga mencium tangan Nindita seraya memberi salam untuknya. Inaya dan Khanza sudah berada di dalam mobil Bima. Lelaki itu yang akan mengantarkan dua anak gadisnya ke sekolah, karena arah kantornya pun sama. Lokasi sekolah Inaya lebih dulu dibandingkan dengan lokasi sekolah Khanza. Setelah itu Bima akan berjalan lurus hingga sampai di gedung perkantoran. Setelah semuanya pamit pada Nindita, mobil meluncur menjauh dari pekarangan rumah hingga hilang dari pandangan Nindita saat mobil memasuki jalan raya. Motor Angga iring-iringan dengan mobil sang papa. Dari semua lokasi sekolah, SMA Angga yang paling dekat. Pemuda itu mencoba memulai harinya kembali setelah semua keresahan yang melanda hatinya. Motor besar Angga sudah memasuki area sekolah, ia membunyikan klakson pada papanya, pertanda bahwa ia sudah sampai di sekolah dan siap untuk belajar. Dari spion terlihat Bima tersenyum dan adik-adiknya yang melambai pada Angga. Angga diizinkan membawa motor karen
Bab 5*“It's a fucking scandal, Pa!” Angga menelan ludah dengan susah payah saat mendapati Bima berdiri di depan pintu kamar dengan tatapan melongo.Bima Pramudya, lelaki yang selama ini terlihat begitu setia. Lelaki yang terlihat sangat harmonis, hingga dengan pesonanya bisa membangun kepercayaan dari anak-anak dan istrinya, bahkan orang lain di luar sana.Tangan itu memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana. Angga menatap tajam pada papanya, tapi perlahan air di sudut matanya luruh seketika.Bibirnya bahkan bergetar tak mampu berkata apa-apa. Ia seolah kehilangan kata untuk kejadian dan suasana yang saat ini ia hadapi.Angga mendekat pada Bima. Kini keduanya berdiri berhadapan. Angga menyeka sudut matanya, sedangkan Bima menatap anak sulungnya dengan wajah pias, malu, juga sulit dijelaskan.Sementara Selly hanya berdiri di belakang Angga, tak berani mendekat pada Bima. Ia takut Angga mendorongnya lagi, bahkan dorongan tadi berhasil membuat punggungnya terasa sakit, juga kepala
Bab 6*Angga keluar dari apartemen itu. Masuk ke dalam lift dan turun ke lantai utama. Di lantai utama terlihat sepi, karena hampir semua orang di bangunan apartemen ini sudah memenuhi lantai empat. Menonton sebuah pertunjukan yang baru saja diselesaikan oleh Angga.Sebelum turun ke bawah, ia sempat melihat raut wajah kesal dari pemilik ponsel yang ia lempar. Wanita itu melotot tajam padanya sambil menahan geram, karena melihat ponselnya teronggok di lantai.Siapa juga yang menyuruh mereka terlalu bersemangat mengambil video orang lain tanpa izin. Ah, mereka berkonten di atas penderitaan Angga. Lalu, akan memposting atas dasar simpati dan perbuatan yang tak patut di contohi? Come on!Angga tentu tak main-main dengan ancamannya, ia akan memberi perhitungan jika ada yang mengupload video itu di sosial media. Bisa saja ia melempar semua ponsel yang kemeranya sedang hidup tadi, tapi Angga melempar salah satu, ia berharap lemparan itu bisa jadi pertimbangan untuk mereka.Angga berjalan lu
Bab 7.Setelah kepergian Angga, Bima mendekat pada Selly yang terlihat ketakutan dengan amukan Angga. Bima meminta semua kerumunan itu untuk melerai dan pergi dari depan pintunya. Termasuk satpam yang bertanya apa yang terjadi.“Ini hanya masalah keluarga,” ucap Bima dan para satpam itu mengangguk mengerti. Menjaga privasi orang-orang yang tinggal di sini.Ancaman Angga untuk tak memperheboh berita di sosial media, ada gunanya juga untuk Bima. Paling tidak, namanya tidak tercemar karena menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda dan seksi. Meskipun sebenarnya orang-orang tak berhak menghakimi hidupnya, tapi tetap saja ia yang akan disudutkan nantinya.Bima menutup pintu, ia butuh privasi dan menenangkan diri juga Selly.“Ini akan sulit,” ucap Selly pada Bima. Ia tak pernah melihat orang mengamuk seperti itu, bahkan mantan suaminya jarang mengamuk meskipun ia memakai obat-obatan terlarang.Bima menggeleng. Ia tak bisa membiarkan istrinya bersedih dengan kelakuan Angga. Ia memeluk S
Bab 8*Siang hari Angga pulang ke rumah. Ia memperkirakan pulang saat jam pulang sekolah agar mamanya tak curiga. Ia sengaja menunduk saat berjalan masuk ke rumah, agar Nindita tak melihatnya. Sedikit lega hati Angga saat ia menginjakkan kaki di dalam rumah, sepi. Mungkin mamanya sedang membereskan dapur setelah tadi memasak. Aman. Angga menghela napas lega. Namun, harapan Angga sia-sia, karena saat ia baru saja menapaki tangga pertama, ia dipanggil oleh Nindita.“Ga, makan dulu ya.” Nindita berkata.“Iya, Ma.” Angga menoleh ke kanan di mana mamanya berada, ia masih sedikit bisa menyembunyikan wajah lebamnya karena mama berdiri menyamping.Angga lekas naik ke kamar ingin mandi, karena terlalu gerah. Bukan hanya tubuhnya yang gerah, tapi juga hatinya masih terasa sangat panas.Angga melempar tas di atas kasur, kamarnya terlihat sangat rapi, karena Nindita selalu mengajarkan anak-anaknya untuk membersihkan kamar sendiri, tak peduli cewek ataupun cowok, katanya kebersihan tidak hanya di
Bab 9*Angga baru saja memarkirkan motornya di teras rumah saat Inaya berteriak dari dalam memanggil namanya.“Kak Angga!” teriak Inaya bersemangat.Angga berdiri di depan pintu menatap adik bungsunya yang ceria itu.“Kenapa?” tanya Angga pada adiknya.Bukan menjawab, Inaya malah masuk ke dalam dan membawa seorang bocah perempuan yang sebaya dengannya. Anak itu terlihat pemalu atau mungkin pendiam, Angga hanya melihat ia tak seceria adiknya, tapi tetap tersenyum lebar saat melihat Angga.“Kak, kenalin ini teman Inaya.” Inaya antusias mengenalkan temannya pada sang kakak.Angga sampai tersenyum dibuatnya. Apa sepenting itu adiknya mengenalkan temannya padanya. Lucu aja sih! Tapi, tak heran, tingkah Inaya memang menggemaskan seperti itu.“Hai, teman Inaya!” ucap Angga menunduk sambil membelai rambut bocah itu.“Kok memanggilnya teman Inaya sih, Kak?” protes Inaya seolah temannya tak memiliki nama.“Kan kamu nggak kasih tau namanya,” gurau Angga.“Enzy, Kak. Enzy namanya!” ucap Inaya se
Bab 10*Bel tanda istirahat baru saja berbunyi, anak-anak berhamburan keluar dari kelas dan menuju kantin. Termasuk Angga dan beberapa teman-temannya. Ada Edi, Dinda, dan Raka. Hingga saat tiba di kantin, Angga bertemu dengan Sam yang baru keluar dari kelas IPS.“Sekolah lu hari ini?” ejek Angga pada Sam yang sudah duduk di meja.“Iyalah. Emangnya lu yang suka bolos,” balas Sam yang disambut tawa teman-teman yang lain.Angga manggut-manggut sambil tertawa lebar. Niat hati ingin mengejek Sam, malah kena batunya.“Iya sih, Ga. Lu kemana waktu itu. Pada heboh tau nggak, nggak pernah-pernah lu bolos, tiba-tiba aja.”“Gue lagi bosan aja, sih.” Jawaban Angga langsung disambut gelengan kepala dari teman-temannya. Hanya Dinda dan Sam yang menatap serius padanya, dan merasa ada yang disembunyikan oleh Angga.Sam dan Dinda tetap diam tak bertanya lebih lanjut. Mereka merasa Angga punya masalah, dan ia sedang menyembunyikan itu. Wajar saja, itu ranah privasi Angga. Teman-temannya pun tak memaks
Bab 11.Hari Minggu, Bima membawa keluarganya jalan-jalan ke salah satu mall di Jakarta. Mereka ingin membelikan perlengkapan untuk pesta ulang tahun Inaya yang baru genap delapan tahun, yang akan dirayakan Minggu depan.Hari ini mereka mencari perlengkapan, sekalian menikmati waktu bersama keluarga, agar semakin sempurna permainan Bima.Angga tak ikut, karena ia tak suka jalan bersama Bima. Sejak ia tahu kecurangan papanya, Angga terus menerus menghindari lelaki itu. Saat makan, Angga cepat-cepat menyudahi makannya dan masuk ke kamar. Saat monoton TV dan tiba-tiba Bima pulang dari kantor, Angga langsung naik ke atas. Ia membiarkan adik-adiknya bergelayut manja di lengan papanya, di pangkuannya. Sementara ia sendiri begitu benci melihat lelaki itu.Lebih baik menghindar daripada memicu amarah yang lebih besar. Nindita merasakan kerenggangan itu. Ia sempat bertanya pada Angga, kenapa ia berjarak dengan Bima.“Angga nggak ngerasa gitu, Ma.” Angga membantah apa yang dituduhkan oleh Nind