Share

3. Keluarga Bima

Bab 3

*

“Hore! Papa pulang!” teriak si bungsu dari arah depan pintu. Ia sedari tadi menunggu kepulangan Bima, karena mamanya bilang papa akan pulang sore ini.

“Hai, putri kecil papa!” ucap Bima memberi sambutan untuk putri kecilnya. Ia mengangkat tubuh itu ke udara. 

“Udah berat, pasti makannya rutin ya?” tebak papanya menggoda Inaya sambil menurunkannya. Gadis kecil hampir berusia delapan tahun itu tertawa karena tebakan papanya benar. Pasalnya ia sering tak mau makan nasi, hanya bermodalkan jajanan di luar, atau paling mentok makan nasi cuma sedikit. Namun, akhir-akhir ini ia sudah rajin makan nasi. Nindita pun, tak kehabisan akal untuk mengolah makanan di dapur menjadi menu yang disukai suami dan anak-anaknya.

“Kemarin Inaya malah minta nambah, Mas.” Nindita berkata. Itu artinya ada perkembangan pola makan Inaya.

“Wah, hebat!” puji sang papa. Bima mencium pipi Inaya, setelah itu mencium kening Nindita sebagai kecupan rindu karena sudah seminggu tak bertemu.

Angga dan Khanza turun dari kamarnya. Mereka berdua menyalami tangan papanya.

“Gimana sekolahnya, Ga?” tanya sang papa pada anak pertamanya.

“Baik, Pa, lancar.” Angga menjawab dengan tersenyum.

“Khanza gimana?” tanya papa lagi, kini pada anak ke duanya. Khanza sudah berumur tiga belas tahun, saat ini ia masih bersekolah di salah satu SMP di Jakarta. Khanza masih duduk di kelas satu SMP.

“Baik sih, Pa. Tapi, kemarin Khanza cuma dapat nilai sembilan di ulangan Matematika.” Gadis itu merengut, menampakkan wajah sedihnya mengingat ia yang tak bisa mendapatkan nilai sempurna dalam ulangan.

Bima dan Nindita saling menatap, lalu sama-sama tersenyum.

“Gak apa-apa, Sayang. Asal kamu punya niat jadi lebih baik.” Bima sedikit menunduk, karena tinggi Khanza bahkan belum mencapai dadanya.

“Iya, Pa.” Khanza ikut tersenyum.

Bima mengelus puncak kepala Khanza, lalu beralih ke Angga. Saat itu Angga melihat tangan papanya terulur di kepalanya, ia melihat jam tangan itu lagi. Diam-diam ia mengamati, dan dalam pikirannya menyamakan dengan arloji yang ia lihat di video itu.

“Pa, donat gulanya mana?” celutuk Inaya di tengah keluarga yang sedang lepas rindu itu.

Nindita tertawa mendengarnya. Inaya selalu menunggu sang papa membawakannya donat gula, karena ia sangat menyukainya.

“Ah, iya. Papa hampir lupa.” Bima menepuk jidatnya. Ia tadi langsung meletakkan oleh-oleh itu di atas meja di ruang tamu, karena Inaya spontan berlari ke arahnya.

“Ini buat Inaya,” ucap papanya mengulurkan satu kotak donat gula untuk putri sulungnya.

Inaya tersenyum bahagia, langsung berlari menuju sofa dan menikmati donatnya. Selain Inaya, di rumah itu tak ada yang menyukai donat. Sebab itu, sedikit susah jika Bima membelikan camilan untuk anak-anaknya. Tiga anak itu, tiga rasa dan selera, tapi mereka bersatu dalam masakan mamanya. Mereka suka semua yang dihidangkan oleh Nindita.

“Ini buat Kak Angga,” Bima memberikan sekotak pizza untuk Angga.

“Ini buat Khanza,” Bima memberikan sekotak burger untuk anak gadisnya yang sudah memasuki usia remaja itu.

Setelah mendapatkan hadiah masing-masing, anak-anak makan di depan televisi. Sementara Nindita hanya diam menatap suaminya sambil memanyunkan bibirnya.

Bima yang ditatap seperti itu, kembali menatap istrinya dengan tatapan menggoda.

“Buatku mana, Mas?” tanya Nindita. Hanya ia yang tak mendapat oleh-oleh.

Sejenak Bima mengawasi anak-anak, memastikan mereka tak ada yang ke situ lagi. Lalu, Bima mendekat dan menatap genit pada istrinya. Sejurus kemudian sebuah kecupan hangat mendarat di bibir ranum Nindita.

“Ayo kita mandi lebih awal, dan menyambut malam yang hangat.”

Bima menatap genit pada Nindita seraya menyerahkan sebuah paper bag untuk istrinya.

“Apa ini?” tanya Nindita.

“Buka saja!”

Nindita membulatkan matanya, ia segara memasukkan kembali barang itu ke paper bag setelah ia melihatnya. Ia melihat ke kiri ke kanan, takut anak-anak tiba-tiba datang. Sebuah lingerie merah menggoda sebagai hadiah untuk Nindita, bahkan perempuan itu bersemu dibuatnya.

“Kamu udah tua masih genit ya, Mas.” Nindita tersenyum malu pada suaminya.

“Genit sama istri sendiri, apa salah?”

Nindita menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah suaminya.

“Aku sangat merindukanmu, Sayang.” Kembali sebuah kecupan mendarat di pipinya.

“Aku juga.” Diakui, Nindita juga begitu merindukan kehangatan itu, meskipun ia malu untuk mengungkapkannya.

Umur Nindita hanya terpaut lima tahun dari umur Bima. Bima kelihatan lebih muda dari usianya, begitu juga Nindita, keduanya tampak awet muda. Mungkin sebab itu gairah untuk kehangatan masih menggelora, seolah selalu muda.

*

Minggu pagi. Nindita dan anak-anak pergi berbelanja, hanya tinggal Bima dan Angga di rumah. Angga berpikir, ini kesempatan terbaik untuk menanyakan semuanya ke papanya.

Angga sudah menyiapkan diri dengan apa pun jawaban papa. Ia kerap kali memperhatikan papanya, entah di meja makan, atau saat akan berangkat ke kantor. Semalam papa juga lembur, dan pulang pukul dua belas malam. Angga masih belum tertidur, ia mendengar saat pintu depan terbuka dan mama menyambut kepulangannya.

Saat Angga berhadapan dengan Bima, mata itu tak terlepas dari jam tangannya. Tak hanya jam tangan, tapi jarinya juga persis seperti dalam video itu.

Angga menghampiri Bima yang pagi itu sedang membaca koran dengan secangkir kopi di hadapannya. Lelaki dewasa itu duduk di belakang rumah, dekat taman belakang dan kolam renang. Di situ terdapat sebuah meja bundar dan beberapa kursi kayu berukir mewah. Semua itu Nindita yang memilihnya, ia yang sepenuhnya andil dalam pembelian perabot rumah, bahkan warna cat rumah. Seleranya membuat Bima bertepuk tangan, perpaduan ornamennya elegan seperti Nindita.

“Pa ...,” sapa Angga, dan langsung duduk di hadapan papanya.

“Hei, Angga. Nggak keluar sama teman?” Bima menurunkan sedikit halaman koran yang ia baca, ia tak menyadari kedatangan anak sulungnya jika Angga tak bicara.

“Nggak, Pa. Lagi males.” Angga berkata.

Bima hanya mengangguk-anggukan kepala. Ia melipat koran yang tadi ia baca, lalu menyesap kopi buatan istrinya. Masih hangat, karena baru beberapa menit lalu diseduh. Rasa manis dan pahit seketika mengalir di kerongkongannya, nikmat. Bagi Bima, tak ada kopi yang lebih nikmat daripada buatan Nindita.

“Aku mau nanya sesuatu, Pa,” ucap Angga hati-hati.

“Apa itu? Katakan, Ga.” Bima mempersilakan anaknya untuk bertanya. Lelaki itu memang tak pernah mengekang atau membatasi anak-anak untuk bertanya.

Angga mengeluarkan ponsel dalam saku celana pendeknya. Ia membuka video hasil d******d beberapa malam yang lalu. Kemudian, ponsel itu ia berikan untuk Bima, membuat laki-laki itu terlihat bingung dengan anak sulungnya.

“Apa yang ada di video ini adalah papa?” tanya Angga berani.

Sejenak wajah Bima terlihat pias. Ia terkejut saat menonton video beberapa detik itu. Video pernikahan yang telah diedit dan diunggah oleh seseorang di sosial media. Jantung Bima bergetar tak seirama menunjukkan sinyal bahaya dan ketakutan yang mendera.

Lalu, Bima memicingkan mata, dan bertingkah normal untuk menutupi gugupnya.

“Mana yang kamu maksud papa?” Bima malah balik bertanya pada Angga.

“Lelaki yang memakai jam tangan itu. Persis milik papa, kan?” jelas Angga lagi.

“Papa pernah bilang itu jam tangan limited edition. Apa itu papa?” tanya Angga lagi.

Angga seolah tak memberi ruang untuk papanya berpikir. Namun, bukan Bima namanya jika tak bisa mengelak dari itu semua.

“Iya, jamnya persis punya papa. Tapi bukan hanya papa yang memiliki jam tangan seperti itu. Barang kw juga merebak di pasar, Ga.”

Bima berusaha tetap tenang. Ia menepuk pundak Angga dan memberi penjelasan.

“Itu bukan papa, Ga. Di tengah kesibukan seperti ini, mana sempat papa main tiktok.”

“Wanita itu?” tanya Angga lagi. Bahkan kini ia menatap tajam papanya.

“Lebih-lebih wanita itu. Papa nggak tau,” Bima menggeleng meyakinkan.

Angga diam, tapi pikirannya tetap tak tenang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
inaya putri bungsu thor...anak sulung itu anak peetama
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status