Bab 2
*
Angga turun dari tangga setelah siap memakai seragamnya. Sebuah rutinitas di keluarga itu untuk sarapan pagi bersama. Tak hanya sarapan, tapi makan siang, dan makan malam selalu bersama. Tak ada yang kurang di meja makan, kecuali Bima yang saat ini berada di luar kota.
Angga memperhatikan mamanya menghidangkan makanan untuk mereka, anak-anaknya. Bahkan Inaya yang umurnya hampir genap delapan tahun, masih disuapi olehnya. Angga menatap wanita itu diam-diam. Memperhatikan bagaimana mamanya begitu lembut dengan anak-anaknya, dengan keluarganya. Tiba-tiba ada yang merasa teriris dalam hati Angga, membayangkan jika seandainya papanya benar berbuat curang. Jika itu terjadi, Angga tak akan bisa memaafkan papanya.
“Dimakan, Ga. Jangan diliatin doang. Nggak enak ya?” tanya sang mama membuyarkan lamunan Angga. Ia sedikit terperanjat saat mendengar suara mamanya.
“Iya, nih. Dari tadi Kak Angga melamun terus,” ucap Khanza, adik pertama Angga yang berumur tiga belas tahun.
“Kapan sih masakan mama nggak enak?” kata Angga menutupi keresahan hatinya. Lalu, mulai menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.
“Terus kenapa melamun gitu? Nggak baik lho melamun di depan makanan.” Nindita bertanya pada anak sulungnya.
“Ini, Ma, Angga tuh lagi mikirin Sam, udah dua hari nggak sekolah.” Angga berbohong. Tak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, karena itu belum pasti benar. Takutnya mama akan overthinking dan malah mengganggu kesehatannya.
“Lho, kenapa?” tanya Nindita lagi.
“Nggak ada kabar, Ma.”
Memang benar, Sam temannya Angga sudah tak masuk sekolah dua hari, tapi Angga bukan memikirkan masalah itu. Palingan Sam lagi malas sekolah, atau ribut lagi sama orangtuanya. Bisa juga ia sedang berada di rumah papanya, yang jaraknya lumayan jauh dari sekolah, itu sangat mendukung kebiasaan Sam yang memang malas sekolah.
“Yaudah, nanti ke rumahnya aja. Liat langsung keadaannya.”
“Iya, Ma.” Angga mengiyakan agar obrolan kebohongan itu segera berakhir. Lalu, ia melanjutkan sarapan nasi goreng yang masih tersisa.
Khanza dan Inaya juga terlihat begitu lahap menyuap nasi goreng ke mulutnya. Setelah semuanya selesai, Angga pamit untuk pergi ke sekolah duluan. Ia mencium pipi lembut mamanya dan memberi salam. Angga menghidupkan mesin motornya, lalu mulai meluncur ke jalan raya.
Sementara Khanza dan Inaya diantar oleh Nindita dengan mobilnya. Rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada Bima di rumah. Jika suaminya di rumah, Inaya dan Khanza akan diantar papanya. Nindita hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dulu ia sempat bekerja sebagai karyawan di kantor yang berbeda dengan Bima. Namun, saat ia mengandung Angga, ia memilih resign dan fokus pada rumah tangganya.
Nindita bahkan menolak untuk memakai jasa pembantu rumah tangga, dan sopir pribadi. Ia hanya memakai jasa tukang cuci gosok, sementara yang lainnya masih bisa dilakukan sendiri.
“Kamu nanti bakalan capek, Sayang.” Bima menanggapi saat Nindita bilang tak mau disewakan tenaga ART.
“Terus aku ngapain di rumah aja?” tanya Nindita pada suaminya.
“Nggak mungkin ongkang kaki kayak ratu, kan?” Nindita tertawa saat mengatakan itu. Ia sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah sejak ia remaja. Nindita tidak terlahir dari keluarga yang kaya, tapi tidak juga dari keluarga yang miskin, sebab itu ia tak manja.
Apalagi saat pertama menikah, karir Bima belum seperti sekarang ini. Jadi, saat karir Bima sedang baik seperti saat ini, ia sudah terbiasa dengan keadaan sebelumnya.
“Nggak apa-apa, kan, diratukan oleh suami sendiri?” gombal Bima untuk istrinya. Lelaki berusia empat puluh lima tahun itu memang romantis dan manis. Ia selalu saja bisa mencairkan suasana dan membuat hati Nindita meleleh dengan ucapan dan perlakuannya.
“Bisa mundur dikit, Mas?” ucap Nindita.
“Kenapa?” tanya Bima bingung. Ia sedikit menggeser tubuhnya yang sedang tidur di samping istrinya itu. Ia berpikir bahwa Nindita memang menyuruhnya untuk mundur sedikit.
“Gombalnya kelewatan,” ucap Nindita tertawa. Bima juga ikut tertawa melihat istrinya. Ia menatap wajah cantik itu dan memeluknya erat.
“Serius, Mas. Nggak usah sewa ART. Mending uangnya buat tabungan anak-anak kuliah. Aku pengen banget mereka sekolah di luar negeri, impianku dulu. Atau minimal di universitas terbaik di Indonesia.”
“Tapi kalau kamu capek bilang ya,” ucap Bima.
Nindita mengangguk. “Aku mungkin akan capek, tapi untuk cuci gosok kan masih ada Mbak Wati. Pas kamu libur juga selalu bantuin aku, kan?”
Bima mengangguk, tersenyum pada istrinya. Nindita dan Bima sudah menjalani kehidupan rumah tangga sembilan belas tahun lamanya. Keduanya saling mengerti dan mencintai, hingga rumah tangga itu terasa begitu harmonis.
Bahkan teman-teman Nindita sering memuji mereka dengan segala keharmonisannya. Diantara teman-teman kuliahnya, Nindita lah yang paling terlihat bahagia dengan rumah tangganya. Berbeda dengan teman-teman yang lain, yang sering mengeluh ekonomi, kesetiaan suami yang diuji dan ragam masalah lainnya.
Nindita hanya diam dan sesekali menanggapi saat teman-temannya curhat.
*
Angga pulang dari sekolah saat senja mulai menampakkan jingganya. Selesai belajar di sekolah, ia tak langsung pulang ke rumah, karena ada latihan basket di sekolah. Mamanya tahu itu, karena setiap jadwal Angga, selalu diberitahu pada mama kesayangannya, agar perempuan itu tak panik jika Angga tak pulang siang hari.
Tim basket sekolah Angga akan mengikuti perlombaan di sebuah gedung olahraga yang ada di Jakarta. Mereka akan tanding antar sekolah, sebab itu Angga dan teman-temannya berlatih begitu keras untuk memenangkan pertandingan itu.
“Ga, masukkan ke ring. Woy, Ga!” teriak salah satu teman tim Angga. Ia melihat Angga hanya melamun dengan bola di tangan yang dipantulkan di lantai terus menerus, padahal kesempatan untuk memasukkan bola ke ring basket sangat besar, dan Angga malah diam dan tersentak saat bola sudah diambil oleh teman mainnya.
“Lu kenapa sih, Ga?” tanya salah satu temannya.
“Gua nggak apa-apa.” Angga menjawab singkat.
“Fokus, Angga!” teriak pelatih sekaligus guru olahraga memperingatkan. Tanggal tanding sudah dekat, apa jadinya kalau timnya tidak fokus dalam bermain.
Angga langsung ke kamar mandi karena merasa gerah setelah seharian bermandikan keringat. Setelah mandi, ia mengambil ponselnya. Rasa penasaran akan video itu belum juga berujung. Ia kembali membuka akun tiktok bernama Selly Anggraini itu. Masih ada video yang dilihatnya semalam. Ia membuka kembali dan mendownload di ponselnya.
Angga juga membaca komentar-komentar di video itu. Rata-rata memberikan ucapan selamat untuk gadis cantik itu.
[Akhirnya. Penantian yang indah.]
[Cocok!]
[Selamat ya, Kak. Langgeng terus.]
[Spill wajah aslinya dong.]
Komentar yang dibaca terakhir itu semakin membuat Angga penasaran. Ia ingin melihat wajah asli dari lelaki itu, akhirnya Angga membuka satu persatu video di akun itu. Banyak sekali video yang diduga Angga adalah lelaki yang sama, karena jam tangan yang digunakan lelaki itu masih sama dengan di video lainnya. Sama persis seperti jam tangan papanya.
Video mereka berdua sedang makan di sebuah restoran mewah, hanya makanan dan wajah Selly dan terlihat. Wajah pemilik jam tangan itu dan sekali tak terlihat. Video saat mereka sedang jalan-jalan, masih tak terlihat wajah lelaki yang membuat Angga penasaran setengah mati. Video saat mereka berada dalam satu mobil dengan kedua tangan saling menggenggam.
Semua video hanya berdurasi beberapa detik dan semuanya tampak telah diedit.
Jam tangan itu, semakin membuat hati Angga terasa panas.
Selly Anggraini, seorang perempuan cantik seleb tik tok. Videonya sering muncul di beranda, dengan like dan komentar yang banyak, dan malam itu Angga baru melihatnya. Angga melihat banyak video endorse dari berbagai produk kecantikan dan make up. Selain itu, Angga juga melihat ia endorse baju-baju tidur berbahan mini yang Angga tahu itu dipakai seorang istri untuk memuaskan suaminya.
Umur Angga sudah tujuh belas tahun, ia sudah cukup tahu tentang hal semacam itu. Ia memang tak pernah menonton video-video terlarang, tapi diam-diam ia sering mendengar pengalaman teman-temannya yang menonton video seperti itu. Angga tak tertarik, karena ia tahu persis dampak buruknya. Pun, Nindita berulang kali mengingatkannya tentang dampak itu, bahkan ia sering mengecek ponsel dan laptop milik Angga.
Bab 3*“Hore! Papa pulang!” teriak si bungsu dari arah depan pintu. Ia sedari tadi menunggu kepulangan Bima, karena mamanya bilang papa akan pulang sore ini. “Hai, putri kecil papa!” ucap Bima memberi sambutan untuk putri kecilnya. Ia mengangkat tubuh itu ke udara. “Udah berat, pasti makannya rutin ya?” tebak papanya menggoda Inaya sambil menurunkannya. Gadis kecil hampir berusia delapan tahun itu tertawa karena tebakan papanya benar. Pasalnya ia sering tak mau makan nasi, hanya bermodalkan jajanan di luar, atau paling mentok makan nasi cuma sedikit. Namun, akhir-akhir ini ia sudah rajin makan nasi. Nindita pun, tak kehabisan akal untuk mengolah makanan di dapur menjadi menu yang disukai suami dan anak-anaknya. “Kemarin Inaya malah minta nambah, Mas.” Nindita berkata. Itu artinya ada perkembangan pola makan Inaya. “Wah, hebat!” puji sang papa. Bima mencium pipi Inaya, setelah itu mencium kening Nindita sebagai kecupan rindu karena sudah seminggu tak bertemu.Angga dan Khanza turu
Bab 4 * “Ma, berangkat ya.” Angga mencium tangan Nindita seraya memberi salam untuknya. Inaya dan Khanza sudah berada di dalam mobil Bima. Lelaki itu yang akan mengantarkan dua anak gadisnya ke sekolah, karena arah kantornya pun sama. Lokasi sekolah Inaya lebih dulu dibandingkan dengan lokasi sekolah Khanza. Setelah itu Bima akan berjalan lurus hingga sampai di gedung perkantoran. Setelah semuanya pamit pada Nindita, mobil meluncur menjauh dari pekarangan rumah hingga hilang dari pandangan Nindita saat mobil memasuki jalan raya. Motor Angga iring-iringan dengan mobil sang papa. Dari semua lokasi sekolah, SMA Angga yang paling dekat. Pemuda itu mencoba memulai harinya kembali setelah semua keresahan yang melanda hatinya. Motor besar Angga sudah memasuki area sekolah, ia membunyikan klakson pada papanya, pertanda bahwa ia sudah sampai di sekolah dan siap untuk belajar. Dari spion terlihat Bima tersenyum dan adik-adiknya yang melambai pada Angga. Angga diizinkan membawa motor karen
Bab 5*“It's a fucking scandal, Pa!” Angga menelan ludah dengan susah payah saat mendapati Bima berdiri di depan pintu kamar dengan tatapan melongo.Bima Pramudya, lelaki yang selama ini terlihat begitu setia. Lelaki yang terlihat sangat harmonis, hingga dengan pesonanya bisa membangun kepercayaan dari anak-anak dan istrinya, bahkan orang lain di luar sana.Tangan itu memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana. Angga menatap tajam pada papanya, tapi perlahan air di sudut matanya luruh seketika.Bibirnya bahkan bergetar tak mampu berkata apa-apa. Ia seolah kehilangan kata untuk kejadian dan suasana yang saat ini ia hadapi.Angga mendekat pada Bima. Kini keduanya berdiri berhadapan. Angga menyeka sudut matanya, sedangkan Bima menatap anak sulungnya dengan wajah pias, malu, juga sulit dijelaskan.Sementara Selly hanya berdiri di belakang Angga, tak berani mendekat pada Bima. Ia takut Angga mendorongnya lagi, bahkan dorongan tadi berhasil membuat punggungnya terasa sakit, juga kepala
Bab 6*Angga keluar dari apartemen itu. Masuk ke dalam lift dan turun ke lantai utama. Di lantai utama terlihat sepi, karena hampir semua orang di bangunan apartemen ini sudah memenuhi lantai empat. Menonton sebuah pertunjukan yang baru saja diselesaikan oleh Angga.Sebelum turun ke bawah, ia sempat melihat raut wajah kesal dari pemilik ponsel yang ia lempar. Wanita itu melotot tajam padanya sambil menahan geram, karena melihat ponselnya teronggok di lantai.Siapa juga yang menyuruh mereka terlalu bersemangat mengambil video orang lain tanpa izin. Ah, mereka berkonten di atas penderitaan Angga. Lalu, akan memposting atas dasar simpati dan perbuatan yang tak patut di contohi? Come on!Angga tentu tak main-main dengan ancamannya, ia akan memberi perhitungan jika ada yang mengupload video itu di sosial media. Bisa saja ia melempar semua ponsel yang kemeranya sedang hidup tadi, tapi Angga melempar salah satu, ia berharap lemparan itu bisa jadi pertimbangan untuk mereka.Angga berjalan lu
Bab 7.Setelah kepergian Angga, Bima mendekat pada Selly yang terlihat ketakutan dengan amukan Angga. Bima meminta semua kerumunan itu untuk melerai dan pergi dari depan pintunya. Termasuk satpam yang bertanya apa yang terjadi.“Ini hanya masalah keluarga,” ucap Bima dan para satpam itu mengangguk mengerti. Menjaga privasi orang-orang yang tinggal di sini.Ancaman Angga untuk tak memperheboh berita di sosial media, ada gunanya juga untuk Bima. Paling tidak, namanya tidak tercemar karena menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda dan seksi. Meskipun sebenarnya orang-orang tak berhak menghakimi hidupnya, tapi tetap saja ia yang akan disudutkan nantinya.Bima menutup pintu, ia butuh privasi dan menenangkan diri juga Selly.“Ini akan sulit,” ucap Selly pada Bima. Ia tak pernah melihat orang mengamuk seperti itu, bahkan mantan suaminya jarang mengamuk meskipun ia memakai obat-obatan terlarang.Bima menggeleng. Ia tak bisa membiarkan istrinya bersedih dengan kelakuan Angga. Ia memeluk S
Bab 8*Siang hari Angga pulang ke rumah. Ia memperkirakan pulang saat jam pulang sekolah agar mamanya tak curiga. Ia sengaja menunduk saat berjalan masuk ke rumah, agar Nindita tak melihatnya. Sedikit lega hati Angga saat ia menginjakkan kaki di dalam rumah, sepi. Mungkin mamanya sedang membereskan dapur setelah tadi memasak. Aman. Angga menghela napas lega. Namun, harapan Angga sia-sia, karena saat ia baru saja menapaki tangga pertama, ia dipanggil oleh Nindita.“Ga, makan dulu ya.” Nindita berkata.“Iya, Ma.” Angga menoleh ke kanan di mana mamanya berada, ia masih sedikit bisa menyembunyikan wajah lebamnya karena mama berdiri menyamping.Angga lekas naik ke kamar ingin mandi, karena terlalu gerah. Bukan hanya tubuhnya yang gerah, tapi juga hatinya masih terasa sangat panas.Angga melempar tas di atas kasur, kamarnya terlihat sangat rapi, karena Nindita selalu mengajarkan anak-anaknya untuk membersihkan kamar sendiri, tak peduli cewek ataupun cowok, katanya kebersihan tidak hanya di
Bab 9*Angga baru saja memarkirkan motornya di teras rumah saat Inaya berteriak dari dalam memanggil namanya.“Kak Angga!” teriak Inaya bersemangat.Angga berdiri di depan pintu menatap adik bungsunya yang ceria itu.“Kenapa?” tanya Angga pada adiknya.Bukan menjawab, Inaya malah masuk ke dalam dan membawa seorang bocah perempuan yang sebaya dengannya. Anak itu terlihat pemalu atau mungkin pendiam, Angga hanya melihat ia tak seceria adiknya, tapi tetap tersenyum lebar saat melihat Angga.“Kak, kenalin ini teman Inaya.” Inaya antusias mengenalkan temannya pada sang kakak.Angga sampai tersenyum dibuatnya. Apa sepenting itu adiknya mengenalkan temannya padanya. Lucu aja sih! Tapi, tak heran, tingkah Inaya memang menggemaskan seperti itu.“Hai, teman Inaya!” ucap Angga menunduk sambil membelai rambut bocah itu.“Kok memanggilnya teman Inaya sih, Kak?” protes Inaya seolah temannya tak memiliki nama.“Kan kamu nggak kasih tau namanya,” gurau Angga.“Enzy, Kak. Enzy namanya!” ucap Inaya se
Bab 10*Bel tanda istirahat baru saja berbunyi, anak-anak berhamburan keluar dari kelas dan menuju kantin. Termasuk Angga dan beberapa teman-temannya. Ada Edi, Dinda, dan Raka. Hingga saat tiba di kantin, Angga bertemu dengan Sam yang baru keluar dari kelas IPS.“Sekolah lu hari ini?” ejek Angga pada Sam yang sudah duduk di meja.“Iyalah. Emangnya lu yang suka bolos,” balas Sam yang disambut tawa teman-teman yang lain.Angga manggut-manggut sambil tertawa lebar. Niat hati ingin mengejek Sam, malah kena batunya.“Iya sih, Ga. Lu kemana waktu itu. Pada heboh tau nggak, nggak pernah-pernah lu bolos, tiba-tiba aja.”“Gue lagi bosan aja, sih.” Jawaban Angga langsung disambut gelengan kepala dari teman-temannya. Hanya Dinda dan Sam yang menatap serius padanya, dan merasa ada yang disembunyikan oleh Angga.Sam dan Dinda tetap diam tak bertanya lebih lanjut. Mereka merasa Angga punya masalah, dan ia sedang menyembunyikan itu. Wajar saja, itu ranah privasi Angga. Teman-temannya pun tak memaks