Share

6. Sesama Anak Broken Home

Bab 6

*

Angga keluar dari apartemen itu. Masuk ke dalam lift dan turun ke lantai utama. Di lantai utama terlihat sepi, karena hampir semua orang di bangunan apartemen ini sudah memenuhi lantai empat. Menonton sebuah pertunjukan yang baru saja diselesaikan oleh Angga.

Sebelum turun ke bawah, ia sempat melihat raut wajah kesal dari pemilik ponsel yang ia lempar. Wanita itu melotot tajam padanya sambil menahan geram, karena melihat ponselnya teronggok di lantai.

Siapa juga yang menyuruh mereka terlalu bersemangat mengambil video orang lain tanpa izin. Ah, mereka berkonten di atas penderitaan Angga. Lalu, akan memposting atas dasar simpati dan perbuatan yang tak patut di contohi? Come on!

Angga tentu tak main-main dengan ancamannya, ia akan memberi perhitungan jika ada yang mengupload video itu di sosial media. Bisa saja ia melempar semua ponsel yang kemeranya sedang hidup tadi, tapi Angga melempar salah satu, ia berharap lemparan itu bisa jadi pertimbangan untuk mereka.

Angga berjalan lurus ke parkiran. Di tengah paving ia tersandung sebuah botol plastik bekas air mineral. Ia menendang botol itu dengan kesal. Amarahnya masih membakar jiwanya. Saat ini, sepertinya Angga membutuhkan samsak untuk melampiaskan amarahnya.

Angga tiba di parkiran, ia memutar kunci motornya dan menyalakan mesin setelah memakai helmnya. Saat ia ingin memutar motornya, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil yang membuatnya menoleh.

Angga melihat Ellia berjalan cepat ke arahnya. Sedikit tertatih karena ia memakai hak setinggi lima centimeter.

Angga menutup helmnya dan ingin menarik gas, tapi akhirnya ia memilih berhenti karena tak tega melihat Ellia yang kini berlari padanya.

“Angga, tunggu!” teriak Ellia.

“Gue lagi nggak mood,” ucap Angga pada gadis di depannya.

“Gue nggak lagi nanya mood lu. Gue ngerti posisi lu, Ga.” Cara Ellia berbicara sungguh berbeda dengan saat ia bertemu Angga di meja resepsionis. Ellia tak lagi menggunakan aku kamu sebagai panggilan formal.

“Ini,” Ellia menyodorkan sebotol kecil minuman dingin untuk Angga.

Angga menatap botol minuman yang disodorkan Ellia, masih belum berniat mengambil minuman itu.

Akhirnya Angga mengalah. Ia mengambil botol minuman itu, dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum datar.

“Lu enggak sendiri yang mengalami hal seperti itu,” ucap Ellia lagi.

“Terserah deh. Gue lagi sakit hati setengah mampus.” Angga masih kesal.

“Btw, maaf tadi gue bohong.” Angga menghela napas panjang. Ia ingin jujur pada Ellia.

“Gue tau,” ucapnya yang membuat Angga mengernyitkan dahi.

“Masa iya sih, lu udah nggak dikasih masuk, bukannya langsung telepon orangnya dan konfirmasi, malah godain gue.” Ellia terkekeh pelan.

“Terus kenapa lu biarin gue masuk?” tanya Angga tak mengerti.

“Biar formal aja diliatin satpam, kalau ada apa-apa gue nggak kena.”

“Shit!” ucap Angga mengumpat, dan Ellia sedikit tertawa. Hingga Angga merasa yang ia katakan di meja resepsionis bukanlah gombalan, tapi memang kenyataan bahwa Ellia secantik itu saat tertawa.

“Karena gue ngerasa memang ada yang penting. Selama ini gue nggak pernah liat ada tamu di unit Selly. Akhir-akhir ini gue lihat ada om-om yang sering keluar masuk ke sana. Gue liat lu mirip banget sama dia. Jadi, gue ngerasa kalau lu itu anaknya, atau adiknya.”

Angga manggut-manggut. Pantas saja Ellia tak memeriksa nomor W******p yang memanggil di ponsel Angga. Gadis itu sungguh tak terduga.

“Ga, langsung pulang ya!” ucap Ellia memperingatkan seolah mereka sudah saling mengenal begitu lama.

“Kok lu ngatur-ngatur sih?” tanya Angga sedikit kesal.

“Nggak,” Ellia menggeleng. Ia juga merasa terlalu ingin masuk dalam pikiran Angga dan menenangkannya.

“Yaudah, pokoknya gue harap lu baik-baik aja.”

Angga hanya diam. Ia menenggak air dalam botol yang diberikan Ellia. Ia menenggak hingga airnya tandas.

Setelah itu, Angga kembali menghidupkan mesin motornya dan melaju dengan kencang. Meninggalkan Ellia dengan hati yang tak karuan. Ia takut Angga khilaf dan melakukan hal yang berbahaya. Anak remaja seperti itu masih banyak yang labil pikirannya, Ellia hanya takut.

Entah kenapa tiba-tiba ia peduli pada lelaki itu, padahal baru hari ini ia mengenalnya.

Melihat wajah Angga, mengingatkan Ellia pada adiknya. Rasa perhatian yang ia berikan untuk Angga, seolah sedang diberikan untuk adiknya.

“Semua ini gara-gara kamu!” teriak wanita yang telah melahirkan Ellia itu tepat di depan wajahnya.

Ellia hanya bisa menangis tergugu. Mama yang harusnya menguatkan, malah menyalahkannya atas kejadian yang menimpa adik satu-satunya itu.

Ray, adik Ellia saat itu baru pulang sekolah. Ia mendapati kakaknya sedang menangis di kamar. Ellia menceritakan segalanya, bahwa mamanya selingkuh dengan lelaki lain.

Ray marah besar, ia keluar rumah dan tak pulang semalaman. Esoknya Ray pulang, tapi hanya raganya yang pulang tanpa nyawa.

Setelah kejadian itu, hingga detik ini mama Ellia masih menyalahkannya atas kejadian itu. Padahal semua bersumber dari dirinya sendiri.

“Kamu harusnya bisa menjaga rahasia ini!”

Ellia masih terbayang kata-kata yang diucapkan oleh mamanya. Ia tak habis pikir kenapa mamanya bisa berpikiran seperti itu, padahal ia yang memicu apinya. Sejak saat itu Ellia tak pernah pulang ke rumah. Ia mencari pekerjaan setelah tamat kuliah, dan menyewa sebuah kos. Hingga ia bisa membeli sepetak rumah, dan tinggal di sana dengan nyaman.

Angga terus mengendarai motornya tak tahu arah. Ia tak tahu harus ke mana, karena jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Kembali ke sekolah sangat tak mungkin. Kembali ke rumah juga apalagi, mama pasti curiga jika ia bolos sekolah. Pulang dan berpura-pura sakit, itu juga mustahil karena Nindita tahu persis anak-anaknya.

Angga menepikan motornya, ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana dan menghubungi Sam.

“Lu di mana, rumah bokap apa nyokap?” tanya Angga begitu panggilan tersambung.

“Di sekolah,” jawab Sam di seberang sana.

“Sekolah nyokap lu ya?” tebak Angga, karena ia mendengar suara musik sebuah game. Mana ada sekolah yang mengizinkan main game.

“Sekolah bokap gue,” ucap Sam terkekeh.

“Kenapa emangnya?” tanya Sam lagi penasaran, karena ini masih jam sekolah, Angga tak pernah menghubunginya di jam sekolah.

“Gue ke rumah bokap lu sekarang ya!” ucap Angga.

Hampir saja Sam tersedak pop mie yang sedang dinikmatinya. Ia terkejut bukan kepalang mendengar Angga akan ke rumahnya, karena ia tahu Angga pasti sedang sekolah. Sam berpikir keras untuk apa Angga ke rumahnya. Lalu, ia menggeleng sendiri, jika Angga di sekolah tak mungkin ia bisa mendapatkan izin untuk keluar.

Tak berpikir panjang, Sam melanjutkan makan pop mie yang baru saja ia seduh.

Beberapa lama kemudian, bel di depan rumah Sam berbunyi. Tak ada orang lain di rumah itu, selain Sam dan pembantu rumah tangga yang umurnya hampir sama dengan umur nenek Sam. Setelah bercerai, papa Sam belum menikah lagi. Berbeda dengan mamanya, yang langsung menikah lagi setelah bercerai dari papanya. Sebab itu, Sam lebih suka tinggal bersama papanya. Seminggu ini, Surya Adicipta, papa Sam sedang ada urusan bisnis di luar negeri, karena itu Sam merasa bebas dengan tidak bersekolah. Masalah nanti akan dipanggil orangtua, Sam tak terlalu pikirkan.

Konflik rumah tangga Surya Adicipta bermula dari desas desus perselingkuhan istrinya, Gina Septiani. Mereka bertengkar hebat, dan bercerai saat usia Sam masih empat belas tahun.

Sam bangun dari sofa untuk membukakan pintu. Saat pintu terbuka, ia melihat seorang Angga Pratama berdiri di depannya dengan raut wajah dan penampilan yang tak biasa.

Sam bahkan menggelengkan kepala melihat pipi Angga yang sedikit membiru. Juga baju sekolah yang keluar dari celana, tak seperti biasanya rapi dimasukkan ke dalam celana.

“Ini bukan Angga,” ucap Sam pada diri sendiri, tapi masih bisa didengar oleh Angga hingga membuat temannya itu tersenyum sinis.

“Gue nggak bisa lagi bilang ciee anak IPA ...,” kata Sam masih menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Ck! Lu ngoceh mulu, nggak ada niat nyuruh gue masuk apa?” ucap Angga pada temannya itu.

Sam mengangguk cepat. Lalu, sedikit minggir agar Angga bisa masuk ke dalam. Sam terlihat heran dengan apa yang terjadi pada Angga. Ia selama ini seringkali mengejek Angga karena anak itu rajin belajar, rapi dan dipuji guru-guru. Tak hanya guru, tapi banyak juga siswi yang diam-diam menaruh rasa padanya.

‘Ciee ... anak IPA,'

Begitu kalimat ejekan Sam untuk Angga. Sam sendiri duduk di kelas IPS Bayangkan saja bagaimana citra anak IPA di mata anak IPS seperti Sam. Meskipun sebenarnya tergantung pribadi masing-masing. Di sekolah-sekolah ada banyak anak-anak IPS yang berprestasi di bidangnya. Jadi, kalau ada statement nakal untuk anak-anak IPS, itu tidak sepenuhnya benar.

Melihat Angga sekarang, seperti bukan Angga yang Sam kenal.

Keduanya berjalan lurus ke sofa, saat mendekat Angga mencium aroma pop mie yang tengah dinikmati oleh Sam.

“Gue mau dong, laper habis berantem.”

Sam yang mendengar itu langsung menumpahkan minuman yang sedang ia minum. Lalu, menatap temannya yang semakin terlihat aneh.

“Lu berantem di sekolah, terus di suruh pulang?” tanya Sam penasaran.

Angga menggeleng.

“So?”

Angga mengendikkan bahu. “ Ceritanya panjang.”

“Dahlah gue laper, mana pop mie nya?” tanya Angga sambil memegang perutnya.

“Sono ke dapur, ada di situ! Seduh sendiri, bayarnya ke gue!”

Angga berhenti dan menatap tajam temannya itu. “Udah kayak kantin seolah aja,”

Angga lanjut berjalan ke dapur. Tak peduli dengan ocehan Sam yang memang becanda. Ia dan Sam sudah saling kenal sejak masuk SMP, mereka masih dekat hingga sekarang meski karakter keduanya sangat berbeda. Angga manis dan penurut sama orangtua, sementara Sam sebaliknya. Namun, Sam tak pernah mempengaruhi Angga untuk menjadi seperti dirinya. Entah Sam tak mempengaruhi, atau Angga yang tak terpengaruh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status