Share

003 - Kenapa?

Dia mengumpulkan semuanya dan membawa keluar. Dan di sana dia menemukan seorang wanita tua dari rumah sebelah, yang baru saja membuka pintu dan menyambutnya dengan sapaan hangat.

  

“Apakah kamu baik-baik saja, Victor?” dia bertanya.

  

“Ah, maaf, Bu Greta. Aku pasti mengganggu tidurmu selarut ini,” jawab Victor.

  

“Tidak apa-apa. Terkadang di situlah enaknya hidup bertetangga. Apakah semua baik-baik saja?”

  

“Itu, si Emma! Kami sedang mengadakan pesta ulang tahun pernikahan, dan dia mabuk karena terlalu banyak minum anggur. Tidak ada yang serius sama sekali.”

  

Wanita tua itu hanya mengangguk lembut dan tersenyum. Sebenarnya, dia telah mendengar segalanya dan tahu bahwa Victor hanya berusaha menyembunyikannya.

  

Setelah membuang semuanya ke tempat sampah, Victor kembali menyapa wanita tua itu dan mengucapkan selamat malam. Tapi wanita itu menghentikannya sejenak.

  

“Victor!”

  

“Iya, Bu?”

  

“Wajar jika sebuah keluarga bertengkar sesekali. Tidak ada keluarga tanpa pertengkaran. Kamu hanya perlu mundur satu langkah saat bertengkar dengan seorang wanita. Hanya dengan cara itulah kamu bisa memenangkannya,” kata wanita tua itu.

  

Victor tersenyum, menerima kata-kata wanita tua itu ke dalam hatinya. Dia tahu bahwa wanita tua sepertinya pasti tahu banyak tentang wanita dan memiliki pengetahuan soal membina keluarga yang jauh lebih baik dari dirinya.

  

Dia kembali ke rumah dan tidur di sofa, mundur selangkah seperti yang dikatakan wanita tua itu, berharap semuanya akan baik-baik saja keesokan paginya.

  

Tapi di pagi hari, dia terbangun dengan Emma melempar tas padanya. Victor masih belum tahu jam berapa sekarang. Dia tidak peduli untuk bangun pagi karena dia tidak perlu lagi kembali ke toko pizza itu.

  

“Apa ini? Apakah kamu masih mabuk?” dia bertanya.

  

“Pikiranku jernih dan segar, dan aku sudah muak hidup dengan pria menyedihkan sepertimu. Itu adalah dokumen yang perlu kau tandatangani. Aku ingin cerai.”

  

Wajah Victor terlihat begitu putus asa. Dia mengira Emma hanya mabuk kemarin dan semuanya akan baik-baik saja. Namun kini di tangannya ada surat cerai yang sepertinya sudah dipersiapkan Emma sebelumnya.

  

Victor menyadari Emma telah mempersiapkan segalanya yang berarti bahwa ini bukanlah keputusan yang diambil berdasarkan luapan emosi sesaat.

  

“Kamu serius tentang ini?”

  

“Ya, aku sangat serius. Aku tak perlu meminjam otak Einstein untuk mengambil keputusan seperti ini. Tidak mungkin aku bisa bertahan lebih lama lagi hidup bersama pecundang menyedihkan sepertimu,” kata Emma.

  

Ia terlihat begitu tegas dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Salah satu kakinya menghentak-hentak lantai dengan gerakan kaku, tampak tak sabar menunggu Victor mengambil keputusan atas tuntutannya.

  

“Kenapa?” Victor bergumam pelan pada dirinya sendiri.

  

“Hah?”

  

“Kenapa?”

  

“Heh, kau masih belum mengerti? Seberapa rendahnya kau masih saja tidak menyadari situasimu saat ini?”

  

Namun Victor masih belum bisa memahami semuanya. Berbicara tentang menjalani kehidupan sederhana, dia telah hidup sebagai orang sederhana sejak kehidupan kuliahnya. Dan Emma tidak pernah mengeluh soal itu.

  

Itu pula yang menjadi alasan Victor tidak pernah merasa perlu menjelaskan segala hal tentang statusnya sebagai anak dari keluarga kaya kepadanya.

  

“Mengapa kamu dulu menerimaku? Kupikir kau mencintaiku apa adanya?” gumam Victor dengan suara pelan dan wajah putus asa.

  

Emma terkekeh mendengar kata-kata seperti itu datang darinya.

  

“Apa adanya, katamu? Halooo? Kau sedang tinggal di dunia apa, hah? Ini bukan Disney. Aku menerimamu karena kau adalah siswa cerdas dengan masa depan cerah menantimu. Meskipun aku tahu kau bekerja sebagai pengantar pizza selama kuliah, aku pikir kau akan menjadi orang sukses berdasarkan prestasimu di perguruan tinggi. Tapi tidak! Kau malah menyia-nyiakan ijazahmu dan memilih tetap bekerja untuk si pria Italia gendut itu!” Emma menutup dengan wajah berkerut jijik.

  

Bahkan setelah dipermalukan seperti itu, Victor masih berusaha berunding dengannya, berusaha melindungi pernikahan yang baru berusia dua tahun itu.

  

“Kalau itu alasannya, aku sudah mengundurkan diri dari toko itu kemarin. Aku masih bisa melakukan banyak hal untuk kita berdua. Percayalah, aku bisa memberimu…”

  

“Cukup sudah dengan semua omong kosong ini. Apa kau belum juga menyadarinya? Aku telah selingkuh. Kenyataan aku meminta cerai karena aku telah menemukan seseorang yang dapat memenuhi keinginanku. Tidak ada yang namanya cinta tanpa syarat di dunia ini. Jika kau masih belum mengerti, itu semua soal uang. Itulah alasanku menerimamu sebelumnya, karena mengira kau akan menjadi orang kaya. Dan itulah alasanku meninggalkanmu sekarang, karena aku telah menemukan seseorang yang jauh lebih baik darimu.”

  

Wajah Victor menjadi sangat dingin. Rasa putus asa itu sudah tidak ada lagi. Tentu saja hatinya masih sakit. Namun dia sadar, tidak ada lagi alasan baginya untuk mempertahankan hubungan itu.

  

Selama ini ia rela memperjuangkan Emma karena ia merasa Emma adalah wanita yang mempunyai perasaan tulus padanya. Demi Emma yang seperti itu, dia rela melakukan apa saja.

  

Tapi sepertinya dia telah salah paham selama ini. Ternyata istrinya hanyalah seorang wanita mata duitan. Sekalipun sekarang dia menceritakan identitasnya sebagai anak dari keluarga kaya, tidak ada jaminan Emma akan selalu berada di sisinya jika suatu saat dia mendapat masalah.

  

“Sekarang aku sudah mempermudahmu. Kau hanya perlu menandatangani dokumen ini, lalu kau bisa kembali menemui pria Italia gendut yang sangat kau cintai itu,” kata Emma.

  

Victor membaca semua dokumen tersebut. Dia tidak lagi memiliki niat untuk mempertahankan pernikahan mereka. Namun, semakin jauh dia membaca dokumen tersebut, wajahnya semakin berkerut.

  

“Apa-apaan ini? Kau menuntut setengah dari kekayaanku termasuk rumah ini?” tanya Victor dengan ekspresi tidak percaya di wajahnya.

  

“Tentu saja. Kita telah hidup bersama sejauh ini. Jadi wajar kalau aku minta setengahnya. Kau harus menjual rumah ini dan membagi uangnya denganku,” kata Emma.

  

“Apa-apaan itu? Aku sudah membeli rumah ini bahkan sebelum aku menikahimu,” Victor membantah.

  

“Membeli pantatmu. Kau hanya mencicilnya, dan sebagian besar cicilan itu baru terlunasi saat kita tinggal bersama. Kita berdua bersusah payah hidup bersama sebelum rumah ini terlunasi. Jadi rumah ini tetap merupakan aset kita berdua untuk pernikahan ini. Dengan kita bercerai, kau harus membagi kekayaan dan uang dari penjualan rumah ini. 50 : 50, kau mengerti?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status