Share

Where Reasons End

Kondisi rumah kosnya sepi ketika Vika pulang malam itu. Satu rumah petak di lantai bawah sedang kosong, sehingga sumber penerangan di sana berasal dari teras Teh Euis. Di lantai atas, dari lima kamar yang tersedia, hanya empat kamar yang ada penyewanya. Dari empat kamar itu, dua kamar saja yang sedang ditempati karena dua penghuni lain sedang pulang kampung.

Langkahnya gontai dan terseret. Untungnya, lorong lantai atas tidak diterangi cahaya lampu sudah berbulan-bulan ini, sehingga kesedihannya tersembunyi dalam gelap. Saat membuka pintu, Vika disambut bau apek yang menguar tajam karena tidak ada ventilasi memadai di kamar itu. Baju-baju berantakan di sana-sini karena tidak segera dia bereskan sebelum pergi tadi. Dia ingin segera berbaring tetapi kasurnya masih dalam posisi berdiri.

Tidak sengaja dia menampak dirinya sendiri pada cermin di lemari baju. Bajunya basah dan kotor berlumpur. Maskaranya sudah luntur oleh tangis. Salah satu bulu mata palsu sudah terlepas dan menempel di pipi. Lipstik yang dia pakai sudah coreng-moreng. Badannya yang disebut-sebut sebagai balon udara jelas-jelas tidak muat untuk tampak keseluruhannya pada cermin.

Tanpa pikir panjang, Vika melempar tas sandangnya ke arah cermin. Lemparannya yang lemah sedikitpun tidak mengguratkan retak. Dia kesal luar biasa dan merosot ke lantai. Tangisnya sesenggukan. Bahunya pun naik turun seirama dengan napasnya yang berlompatan. Sekuat tenaga dia menahan untuk tidak berteriak karena takut suara itu akan membangunkan semua orang.

Berlutut karena tidak punya tenaga untuk berdiri, dia menutup pintu kamar. Vika merangkak ke dalam kamar mandi dan susah-payah menyalakan kran shower. Terduduk dia menerima curahan pancuran air yang kemudian menyatu dengan tangisannya.

***

Di depan meja belajar mungilnya yang dipenuhi majalah dan brosur makeup workshop, tatapan Vika tertuju pada deretan kosmetik. Sehari-hari, dia akan mengenakan krim mata dan pelembab sebagai persiapan sebelum tidur. Tapi, malam itu tidak demikian. Tidak ada gunanya merawat diri. Wajahnya tidak berubah menjadi cantik seperti klaim iklan produk-produk tersebut. Hari ini adalah bukti nyata bahwa dia tetap si itik buruk rupa yang tidak mungkin bermetamorfosa menjadi angsa yang indah.

Sekonyong-konyong, Vika menampar pipinya. Dua kali. “Nggak berguna!” repetnya. Dia berpindah ke bagian bawah lengan dan mencubit-cubit gelambir itu. Belum puas Vika menyalahkan gumpalan lemak tangannya, gadis itu menjambak-jambak rambutnya dan menumbuk-numbuk perutnya.

“Kenapa harus jelek seperti ini, sih?” ungkapnya marah di sela-sela tangisnya. “Kalau harus jelek, bikin dong lebih beruntung. Biar bisa survive. Atau memang niatnya nggak, ya? Biar mati aja, gitu?”

Di meja belajar itu ada botol yang berisi alat tulis dan menyembul bagian belakang sebuah gunting. Matanya berkedip-kedip. Vika menimbang-nimbang dengan menghela napas dalam-dalam. Pada helaan napas terakhir, gadis itu mencomot gunting dari tempatnya dan memandangi permukaan tajam alat itu. Tangan kanannya memutar-mutar gunting. Kemudian, tanpa aba-aba, satu sisi bagian tajam gunting tersebut menggores pergelangan tangan kiri.

“Ooouch,” celetuknya seiring gunting jatuh dari tangannya. Titik darah terciprat. Detak jantungnya semakin bertalu-talu. Meskipun perih, namun ada sebersit kelegaan di sudut hatinya yang lain. Dia dapat mengakhiri penderitaannya. Dia bisa memutuskan untuk tidak ikut permainan nasib yang bernama kehidupan. Matanya yang masih terbalut air mata berkilat-kilat. Vika berdiri bermaksud mengambil gunting yang jatuh itu.

Tiba-tiba, ada ketukan tiga kali di pintu. Vika terheran-heran siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini? Dia sempat menduga kalau dia salah dengar. Vika tajamkan lagi pendengarannya. Hening. Vika menghela napas panjang dan memungut gunting kembali.

Ketukan terdengar lagi diikuti panggilan, “Kak Vikaaa!”

Vika menyembunyikan gunting di belakang punggungnya, lalu membuka pintu. “Dedek?” tanyanya keheranan karena anak Teh Euis berdiri di depan pintu. Penasarannya semakin bertambah karena anak kecil berusia delapan tahun itu naik ke atas sendirian. Tanpa ditemani oleh sang ibu.

“Lihat Mamah, nggak?”

Kening Vika berkerut. Tadinya dia pikir, anak kecil itu mendatanginya untuk meminjam barang karena disuruh ibunya di lantai bawah. Cuma, menyimak kata-kata Dedek berarti di rumah mereka sendiri pun, Teh Euis tidak kelihatan.

“Nggak tahu, Dek. Bapak di rumah?” tanya Vika karena tidak mungkin Teh Euis meninggalkan anak satu-satunya itu sendiri saja.

Dedek menggelengkan kepalanya lemah. Vika memejamkan mata beberapa detik lalu membukanya kembali. Dia hilang akal karena penjelasan Dedek hanya berarti satu hal, yaitu kedua orangtua Dedek menghilang.

Anak laki-laki Teh Euis cemberut. Punggung tangannya digosok-gosokkan ke mata. Isakan tertahan sudah terdengar dari mulut Dedek. Vika harus berpikir dengan cepat.

“Tunggu sebentar,” Vika menutup pintu kamar kos. Meletakkan gunting di meja belajar. Membersihkan tangannya dengan tisu. Mencari-cari plester penutup luka… dan dapat! Dia menyambar jaket berlengan panjang dan memanjangkan sampai menutupi pergelangan tangannya. Terakhir, dia mengambil HP dan bantal.

“Ayo, Kakak temani.” Sambil menggandeng tangan Dedek, Vika menuntun anak kecil itu ke lantai bawah di mana rumah Teh Euis akan menjadi tempatnya menginap malam itu.

***

Dentingan barang-barang membangunkan Vika pagi itu. Jaket yang dia pakai tersingkap dan menunjukkan perban di pergelangan tangan. Cepat-cepat dia duduk dan merapikan jaketnya.

“Teteh bikinin kopi, ya?”

Teh Euis. Rambut perempuan itu acak-acakan. Lingkaran bawah matanya gelap laksana panda. Meskipun tetangganya itu berusaha menyembunyikan, tapi Vika tahu kalau ada kegelisahan tercermin dari matanya. Dia melirik ke bagian paling belakang rumah petak dan menemukan berbagai alat perkakas berserakan di lantai tepat di sebelah kardus kosong yang terguling. Tahulah dia, Mas Ucok, - suami Teh Euis -, tidak pamit bekerja sebagaimana cerita Teh Euis kemarin.

Mata Vika dan Teh Euis saling berpandangan satu sama lain. Kemudian, tetangga Vika itu mengedikkan bahu. “Semua bajunya dibawa, Vik.”

Vika tidak menangkap emosi dari kalimat yang diucapkan oleh Teh Euis alias datar saja. Dia tidak tahu harus berkomentar apa. Jangan salah, dia sangat mengerti artinya kehilangan karena dia sendiri pernah mengalaminya. Hanya saja, ketidakberuntungannya tentu berbeda dengan yang dirasakan oleh Teh Euis. Diam-diam, Vika mengelus-elus pergelangan tangan kirinya.

Sunyi senyap yang melanda dipecahkan oleh panggilan, “Maaah?” dari Dedek yang baru keluar dari kamar mandi.

“Kenapa, Dek?” Teh Euis memeluk dan mengusap-usap kepala anaknya. “Ayo kamu makan dulu. Dari kemarin, selalu bilangnya nggak selera terus.

“Maaah,” kata Dedek seraya melirik Vika dan menarik-narik ujung rok ibunya.

Tahulah Vika bahwa kehadirannya membuat Dedek malu untuk mengatakan yang ada di pikiran anak kecil itu. Oleh sebab itu Vika pamit, “Ke atas ya, Teh.”

Tindakan penyelamatan yang dimaksudkan Dedek berakhir sia-sia karena belum lagi Vika menutup pintu rumah Teh Euis dengan sempurna, dia mendengar tetangganya itu berteriak, “Pipis darah?”

Mata Vika bersirobok dengan Dedek yang mukanya memerah seperti kepiting rebus.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status