Share

Road to the Pageant

“Lo denger, nggak?”

Vika meletakkan beauty blender yang sedang dia pakai. “Jangan mengada-ada, Man. Mending lo bantuin gue biar cepat kelar.”

“Ngapain?”

Makeup-in lah.” Dagunya ditoleh sebagai gestur untuk menunjukkan siapa yang harus dirias oleh Arman.

Laki-laki itu mengikuti arah yang dimaksud oleh Vika. Seketika itu, bahu laki-laki itu bergidik. Cewek gendut itu memintanya merias jenazah. “Hei, wanita. Itu orang meninggal,” tolaknya.

“Ya, terus kenapa?” tanya Vika. Keduanya memang sedang bersama-sama di ruang jenazah. Ada dua pelanggan yang harus dirias Vika saat itu. Keduanya adalah kakak-beradik kembar yang meninggal karena kecelakaan. Satu bagian hatinya teriris. Apalagi ibu mereka yang tadi sempat mampir menemui Vika, namun akhirnya pergi sambil terisak-isak.

Creepy,” kata Arman. “Gue nggak pernah paham kenapa lo kerja begini.”

“Kenapa nggak? Kerjaan ini yang menghasilkan duit. Tahu sendiri lamaran kerja gue kan ditolak melulu,” jawabnya seraya mengambil kuas untuk pemulas mata. Ibu korban tadi membocorkan kalau kembar sulungnya itu pendiam dan anggun bak anggota kerajaan. Jadi, warna yang dia pilih adalah hijau laksana zamrud yang senada dengan gaun yang membungkus jenazah tersebut.

“Maksud gue, buat seleb atau ikut produksi film kan bisa. Gue udah lihat kemampuan prosthetic makeup lo.”

Sahabatnya itu tidak salah. Vika sudah mulai belajar melukis wajah sejak masih umur 3 tahun. Imajinasi anak kecil membuatnya menciptakan kupu-kupu sampai unicorn pada wajah orang-orang terdekatnya. Belum genap sepuluh tahun, dia sudah punya kesempatan melihat proses kerja makeup artist ternama. Minatnya terus berkembang dengan selalu mencoba teknik rias wajah terbaru. Tak heran kalau teknik merias karakter seperti yang diucapkan Arman tadi dapat dia kuasai.

Menyaksikan keajaiban makeup yang dapat menyembunyikan wajah asli sebenarnya, begitu memukau bagi Vika. Tapi, berada di lingkungan penuh bintang yang semuanya super kurus dan selalu menjalankan diet, selalu mengintimidasi dan menjadikan Vika tidak berarti. “Dunia itu terlalu glamor,” begitu akhirnya Vika beralasan.

“Belum coba sudah bilang begitu.”

“Karena memang begitu,” Vika memulas pipi jenazah dengan blush on oranye. Lalu, memilihkan berwarna peach untuk melengkapi riasan wajah.

“Ingat nggak waktu kita ngantri sale Mirah Delima?”

Bagaimana mungkin Vika lupa? Pada hari itu, Arman yang kabur entah ke mana membuatnya terdampar menjadi peserta ajang Puteri Nusantara. Vika tahu pertanyaan sahabatnya itu tidak perlu dibalas. Oleh sebab itu, dia diam saja sambil menggeser rak yang berisi koleksi makeup-nya. Masih ada satu pelanggan yang harus dia rias.

“Gue ketemu Kak Bubah.”

Yang dimaksud oleh Arman pasti Bubah Alfian, seorang makeup artis ternama. Vika mengenal Arman juga karena sama-sama mengikuti sebuah seminar yang diadakan oleh Kak Bubah empat tahun lalu.

“Dia bakal pegang proyek film kolosal. Yang main Reza Ramadian, Jefri Lingkol, sama Divya Pratistha.”

Tanpa Vika sadari, keningnya berkerut tatkala mendengar nama terakhir itu.

“Gue minta ikut. Lo juga ya? Harus ikut tes dulu, sih.”

Alih-alih mengiyakan atau menidakkan, Vika memejamkan mata dan mengucapkan, “Kakak cantik, hari ini saya datang untuk menjadikan Kakak makin cantik untuk terakhir kalinya. Mohon diizinkan Kakak dan Saya janji akan bersikap lembut dan hati-hati.”

Begitu membuka penglihatannya, perias jenazah itu terlonjak kaget karena Arman berdiri begitu dekat dengannya sampai-sampai melanggar batas privasi.

“Lo ngomong begitu, emang dia bisa dengar, Vik?” bisik pria itu sembari menoleh kanan kiri dengan pupil yang membesar ketakutan.

“Bisa,” jawab Vika sekenanya agar laki-laki itu menghentikan kecerewetannya. Vika tidak tahu apakah jenazah yang dia rias dapat mendengarnya atau tidak. Akan tetapi, perempuan berpostur tinggi besar itu selalu menghormati pelanggannya, baik hidup maupun mati. Jika semasa hidup saja kita tidak rela disentuh orang asing sembarangan, begitu pula halnya dengan yang sudah tiada.

Jawaban Vika rupanya berhasil membuat nyali sahabatnya itu kecut. Arman menjauhinya dengan memilih duduk di dekat pintu masuk.

“Vik, lo dengar sesuatu, nggak?” bisik Arman.

Agak muak Vika mendapatkan pertanyaan itu, “Hmm,” saja komentarnya.

“Vik, ada yang nyanyi….” Bisikan Arman kali ini bertambah keras.

Orang yang sudah menanamkan sesuatu dalam pikirannya cenderung menganggap pikirannya itu nyata. Itu yang terjadi pada Arman. “Jangan halu.”

“Hei, wanita horor. Ini beneran.”

Vika meletakkan botol foundation kembali ke rak beroda. Dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena sahabatnya itu tidak akan berhenti apabila dia tidak melakukan apa-apa. Dia tajamkan telinga mencari-cari apakah dia mendapati gema yang sama yang didengarkan oleh Arman. Vika menghela napas. “Nggak ada apa-apa.”

Arman tidak membantah. Oleh karena itu, Vika menekuni pekerjaannya lagi. Dia mengetes warna alas bedak yang cocok untuk pelanggan kedua.

“Tuh, ada lagi, Vik.”

Perempuan itu jadi senewen. Dia mengembalikan alat makeup-nya lagi, kemudian beranjak mendekati Arman. Pertama tidak kedengaran, tapi sayup-sayup memang ada yang melantunkan nada. Bergidik Vika dibuatnya. Tapi, jangan sampai Arman tahu.

“Makin kencang lagi, Vik.”

Vika mengangguk pelan. Dia harus memposisikan sebagai seseorang yang berani antara mereka berdua. Vika berputar-putar mencari sumber suara. Meskipun timbul tenggelam, ada yang familiar dari alunannya. “Ah,” dia ingat. “Handphone gue, tuh. Di tas, Man,” kata Vika melambaikan tangannya yang terbungkus sarung tangan.

Berbekal komando dari Vika, Arman merogoh telepon genggam yang dimaksud, menekan ikon hijau, serta menempelkannya di telinga gadis itu.

“Ya, saya sendiri,” begitu Vika menjawab. Setelah itu ada gumaman beberapa kali, lalu ungkapan tidak percaya, “Yang benar?” yang menambah rasa penasaran Arman.

Sebaik pembicaraan lewat telepon itu berakhir, langsung saja Arman memborbardirnya dengan pertanyaan utama, “Siapa, Vik?”

Vika malah mencubit lengan Arman. Gadis itu ingin memastikan bahwa kabar yang baru saja dia terima bukanlah mimpi di siang bolong.

“Hei, wanita!” teriak Arman lantang.

“Itu panitia Puteri Nusantara. Gue…” agak bergetar nada suaranya sewaktu menambahkan, “lolos ke audisi terakhir.”

***

Rumah Teh Euis yang hanya sepetak ramai dengan kehadiran Arman yang memang gemar berceloteh. Cocok dengan kepribadian tetangga Vika yang baik dan ramah ke semua orang. Menu andalan Teh Euis yaitu nasi liwet dan ikan asin sudah tandas oleh mereka bertiga.

“Dedek masih belum selera makan, Teh?” tanya Vika yang duduk di samping Teh Euis sambil menonton televisi.

“Maunya bubur doang, Vik.”

“Tapi udah ke dokter, kan?”

Teh Euis mengangguk, “Tinggal nunggu hasil lab.”

Suara air keran telah terhenti. Arman sudah menyelesaikan kewajiban cuci piring dan bergabung dengan mereka. Pria itu mengeluarkan beberapa kepingan video. Berhubung Vika tidak memiliki gawai pemutarnya, mereka meminjam punya Teh Euis.

“Jadi kalau audisi terakhir lolos, Vika bakal jadi Puteri Nusantara?” tanya Teh Euis. Sebaik mampir tadi, tetangga Vika itu sudah mendapat cerita mengenai keikutsertaannya pada ajang kecantikan.

“Belum, Teh. Nanti akan ada karantina terus preliminary buat menjaring siapa-siapa yang masuk 10 besar. Nanti diumumkan di panggung. Selebihnya unplaced, deh.”

Unplaced?” Vika tidak benar-benar bertanya, tetapi ingin memastikan saja. Pasalnya, jika diartikan secara harafiah, kata itu berarti tidak ada tempatnya.

“Ya, artinya mereka nggak kepilih. Cuma tepuk tangan doang di belakang.”

Nah, berarti artinya sesuai yang seperti Vika pikirkan.

“Kalau mau menang, harus apa atuh?”

“Sepuluh besar harus speech,” ada jeda sejenak sebelum melanjutkan, “pidato seputar advokasinya atau isu terkini yang dia dalami. Nah, dari situ kepilih lima besar, deh. Dan, ada sesi tanya jawab untuk menentukan pemenang.”

Vika cukup kagum dengan pengetahuan laki-laki itu. Entah kapan laki-laki itu mempelajari semuanya. Vika semakin salut dengannya karena itu berarti Arman berharap mereka menang. Tapi, apakah dia bisa? Dari penuturan Arman saja, ada banyak tahap yang harus Vika lewati dan wajib disiapkan.

Layar televisi sudah berganti dengan film dokumenter seputar ajang kecantikan. Sesekali, Arman menjelaskan lebih detail mengenai adegan yang tertera. Kemudian, pada satu titik tertentu, pria itu menekan pause.

“Lihat, Vik. Kontestan yang ini bakatnya melempar pisau. Lo bisa niru.”

Cepat-cepat gadis bertubuh gempal itu menggeleng-gelengkan kepala. Bisa-bisa pisau yang dia lempar melayang ke sembarang orang.

Film berlanjut dan berganti adegan diiringi komentar Arman, “Wow, fire eater. Keren banget. Yang jelas, ini lebih gampang. Cuma minum bahan bakar –

“Nggak!”

Seterusnya berturut-turut; cheerleader, tap dance, roller skating, menembak dengan mata tertutup, lompat tali, dan ventriloquism ditolak mentah-mentah oleh Vika. Sahabatnya sudah mulai kehabisan akal dan mereka berdua mulai bersahut-sahutan satu sama lain. Vika dengan kata “Nggak” yang konsisten, sedangkan Arman yang lelah karena sarannya ditolak melulu, mulai mengeluhkan sikap Vika yang tidak pernah mau mencoba apapun.

“Eh eh, jangan berantem. Ini bagus,” celetuk Teh Euis menengahi.

Serentak Arman dan Vika menyaksikan televisi. Di sana, seorang gadis cantik, kurus, tinggi, dan mengenakan riasan wajah medok melenggak-lenggokkan tubuh yang terbungkus leotard dan rok tutu.

Vika sudah hendak menyuarakan penolakan sewaktu Teh Euis menambahkan, “Kamu teh pernah cerita ikut balet kan pas kecil?”

“Ya, tapi itu bertahun-tahun yang lalu.”

This works,” kata Arman. “Kayak naik sepeda aja. Bakal ingat kalau nyemplung lagi.”

“Lo nggak pernah lihat ballerina itu seperti apa? Kurus, luwes –

“Vika… Vika! Menurut lo, mana yang click bait; beauty vlogger jerawatan yang jadi super kinclong sehabis makeup atau yang mulus tanpa pori-pori? Sama aja. Balerina kurus meliuk-liuk itu biasa. Tapi bayangkan kalau lo yang ada di panggung dan nggak kalah jago dari mereka.”

Poin Arman ada benarnya. Walaupun itu hanya berlaku apabila orang-orang dengan kekurangan seperti dia yang punya kemampuan dua kali lipat dibandingkan kaum-kaum berpenampilan menarik tadi. Pengetahuannya tentang balet sama minimnya dengan orang yang beranggapan laki-laki tidak bisa menjadi penarinya.

“Kita perlu menang, Man,” kata Vika yang sekejap menimbulkan binar di mata Arman. “Nggak bisa hanya coba-coba,” tambahnya yang menghilangkan kilauan semangat sahabatnya itu.

“Oke, kalau begitu kita harus ke studio.” Arman berdiri dari duduk demi memeriksa kalender dinding di samping televisi. “Kita punya waktu sepuluh hari buat latihan.”

“Heh?” Keinginan Vika adalah Arman menyerah dan mendiskusikan piihan lain. Mendengar respons Arman membuat harapannya hancur berkeping-keping.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status