Share

Mata Yang Kehilangan Cahaya

Air mata yang merembes itu jatuh tepat di atas wajahnya, mengalir dengan deras melewati sela pipi yang indah hingga akhirnya jatuh membasahi kasur. Kalian hanya bisa terpaku menatap wajah pucat itu yang kian melayu. Kalis nan indah wajahnya dulu, silih berganti dengan kusam dan kesedihan.

Seandainya dia bisa kembali terbangun, kamu rela menukarkan nyawa demi melihatnya bahagia. Nyawa pemberian Sang Ilahi, akan jauh lebih bermakna jika membantu orang lain untuk terus berjalan. Sesaat sebelum pergi, kamu membisikan sesuatu di telinganya, berharap agar ia bisa mendengar dan kembali terbangun untuk memulai semuanya kembali.

“Bu, Yah, aku permisi dulu. Aku masih harus bekerja lagi, maaf karena selalu merepotkan kalian. Jaga diri baik-baik, ya,” ujarmu lirih dan pergi lagi dari rumah sakit.

Tidak lama setelah meninggalkan rumah sakit, kamu sadar jika ada yang mengikuti di belakang. Terus berpura-pura tidak tahu, dan ketika tiba waktu yang tepat kamu langsung bersembunyi dan menyergapnya dari belakang. “Siapa kau? Kenapa kau mengikutiku?” tanyamu seraya mengunci pergerakannya dan menekannya ke dinding.

Hanya suara kendaraan lalu-lalang saja yang terdengar, sedangkan mulutnya masih saja bungkam. Kamu hanya tersenyum melihat tingkahnya, dan perlahan semakin mengeratkan dan membuatnya sedikit merasakan apa itu perasaan sakit yang sebenarnya. Pergelangan tangannya kian kamu angkat perlahan hendak memutari tubuhnya, hingga membuat suara teriakan bergema di lorong.

Bukannya berhenti, kamu malah semakin jadi setelah mendengar suara yang begitu indah di telinga. “Hahaha ... nikmat bukan? Teruslah bungkam dan biarkan aku menikmati semua ini,” gelakmu bahagia.

Suara teriakan semakin lantang, dan di saat yang bersamaan suara retakan terdengar dengan lirih. “Hoo ... apa itu tadi? Apakah tulangmu ada yang patah? Hahaha ... apa kau masih ingin terus bungkam, sialan?” tanyamu tergelak hebat.

Bahkan setelah lengannya hampir patah, pria itu masih saja bungkam. Kesabaran kian memudar, membuatmu memberikan siksaan lebih. Singkat nan cepat tetapi sangat menyakitkan.

Kamu langsung mematahkan salah satu lengannya, membuat pria itu merengek di lantai seraya menggenggam tangan yang patah. Melihatnya menggeliat di lorong, semakin membuatmu merasa sangat bahagia. Air matanya mengalir dengan deras dan kedua netra menatap tajam.

Dia ambil sebilah pisau di dalam celana, dan langsung berdiri seraya mencoba menusukmu dengan cepat. Seraya tertawa, kamu menghindari serangannya dengan mudah. Pergerakannya yang sempoyongan, membuatmu bisa menebak alur permainan dengan tepat.

Saat ini kamu terlihat seperti tengah menari di atas kematian, menghindari setiap serangan membabi buta yang dia lancarkan. Namun, lama-kelamaan kamu merasakan kebosanan hingga akhirnya berniat untuk mengakhiri segalanya. Kamu sapu kakinya, membuatnya tersungkur dan wajahnya menghantam dinding perumahan hingga membuat hidungnya mengeluarkan darah.

Belum sempat ia beranjak, kamu langsung menginjak kepalanya sekuat tenaga. Setelah puas, langsung kamu patahkan kedua kaki dan tangan yang tersisa, hingga membuatnya kembali berteriak. “Bu-bunuh aku, dasar Iblis sialan!” tegasnya seraya terisak.

“Hahaha ... tanpa perlu diminta pun akan tetap kulakukan. Namun, jangan pernah berharap bahwa kematianmu akan terasa singkat,” jelasmu lirih seraya mengambil sebilah pisau yang ia jatuhkan.

Pertama-tama kamu balikan badannya terlebih dahulu, membiarkan manik hitamnya menatap pisau dengan tajam. Setelah itu, perlahan kamu goreskan pisau itu di kedua tangannya hingga membuatnya kembali berteriak dan mengalirkan jus merah segar. Teriakannya bergema sepanjang lorong, lamun aneh tidak ada satu pun orang yang muncul untuk membantu.

Padahal saat itu jalanan tengah ramai-ramainya, dan hal yang mustahil jika tidak ada yang mendengarnya. Namun, hal itu justru menjadi kesenangan tersendiri bagimu. Mungkin karena takut, sekarang kamu bungkam mulutnya dengan kain yang dipotong dari pakaiannya.

“Jangan mati terlalu cepat, ya. Masih banyak macam siksaan yang ingin kulakukan. Jangan dendam denganku, ini salahmu sendiri karena menolak untuk memberitahu alasanmu,” ujarmu seraya terus menyiksanya.

Terus saja ujung pisau lancip itu mengores dan mengoyak tubuhnya, membuat air mata jatuh dengan deras. Wajahnya mengekspresikan rasa sakit yang tidak ter bayangkan, dan mulutnya serta tubuhnya terus saja meronta dengan hebatnya. Kamu terus tergelak seraya menyiksanya, hingga pada akhirnya membiarkan dia mati secara perlahan setelah puas menyiksa.

Tubuh yang penuh luka dan dengan banyaknya kulit yang terkelupas serta darah segar menggenang, membuat kondisinya sangat mengenaskan. Dalam kondisi seperti itu, jika pun hidup dia sudah tidak akan bisa melakukan apa pun selain tidur di atas ranjang. Masih saja tawa tersisa di wajah, walaupun kini kamu sudah pergi meninggalkannya.

Bercak dan aroma darah masih melekat dengan kuat pada kemeja hitam yang kamu kenakan dan beberapa bagian tubuh lainnya. Usai membersihkan diri hanya dengan sehelai kain, kamu pergi ke sebuah restoran menggunakan uang yang kamu ambil dari pria sebelumnya. Memesan sebuah steak, dan memakannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Kamu memesan anggur merah, dan dengan sengaja menumpahkannya pada kemeja yang masih tersisa bercak merah. Bersikap seolah-olah tidak sengaja, dan langsung membersihkan diri agar bercak itu bersih atau setidaknya menyatu dengan bau anggur. Sedikit kesal, tetapi semua itu dilakukan agar tidak ketahuan.

Saat ini, sifat dan tatapanmu sangat berbeda jauh dengan dirimu yang biasanya. Mata yang sebelumnya dipenuhi kesedihan, kini dipenuhi kebencian dan hasrat membunuh yang kuat. Bahkan pisau yang ada di meja makan, dengan sengaja kamu gunakan untuk mengeset sedikit kulit agar darah mengalir untuk dicampurkan dengan segelas anggur.

Pelayan datang dan bertanya tentang apa yang terjadi sebenarnya, dan di saat yang bersamaan dia meminta maaf jika pelayanannya kurang. Kamu hanya tersenyum seraya menjawab bahwasanya tidak terjadi apa-apa, dan perihal pelayanan semuanya sangat memuaskan. Pelayan itu tersenyum dan menepuk tangannya, menghidangkan makanan lain yang sebelumnya tidak dipesan.

Kamu bertanya, dan dia menjawab bahwa itu disiapkan untuk pelanggan khusus. Dia menawarkan sebuah penawaran bagus, tetapi sedikit pun kamu tidak tertarik untuk menjadi pelanggan VIP di sana. “Kenapa kamu menawarkan hal itu padaku? Bukankah di sini ada lebih banyak orang yang jauh lebih kaya dariku?” tanyamu lirih seraya memakan steak.

“Hmm ... tidak ada alasan khusus, karena saya secara pribadi ingin melakukannya. Selain itu, Tuan adalah pelanggan baru,” jawabnya santai.

Kalian saling bertukar kata, berbicara banyak hal yang sulit untuk dimengerti. Hingga pada akhirnya kalian berdua tergelak hingga membuat seisi restoran terkejut. Ternyata setelah berbicara cukup lama kalian berdua sudah saling mengenal sejak lama, tetapi dengan nama yang berbeda. “Bagaimana kamu bisa mengenaliku, Ex?” tanyamu memintanya untuk duduk.

“Hahaha ... sudahlah, jangan panggil aku dengan nama itu. Aku sudah lama pensiun. Nama asliku Yuno, Tuan Two Side,” jawabnya sembari duduk di hadapanmu.

“Hmm ... panggil saja aku Lucia,” pintamu lirih sedikit kesal mendengar nama itu.

Pria itu memanggil seorang pelayan untuk membawakan semua hidangan terbaik yang ada di sana. “Hei, aku tidak punya uang untuk membayar semua ini,” ujarmu.

“Hahaha ... tenang saja, semuanya gratis. Restoran sederhana ini adalah milikku, jadi jangan sungkan. Ngomong-ngomong, apa sekarang kamu sudah menikah dengan wanita itu? Sebentar ... siapa ya namanya? Oh iya, Nona Rin,” balas Yuno, “hahaha ... kuyakin kalian pasti sudah menikah dan punya anak. Siapa nama anakmu? Apakah dia pria, ataukah wanita? Ahh ... aku harap juga bisa seperti kalian.”

“Dan aku pun juga berharap demikian. Bisa menikah dan memiliki seorang putra dan putri seperti yang kamu katakan tadi. Namun sayang, takdir berkata lain. Dia menghilang karena kesalahanku,” tanggapmu mengikuti alur ceritanya.

Seketika dia terdiam dan raut wajahnya berubah dengan kepala kian tertunduk. “Maaf.” Sebuah kata yang sama sekali tidak bermakna di telingamu, tetapi dengan senyuman ramah hanya membalas tidak mengapa. Wajahmu tersenyum, tetapi hati menangis dengan hebat.

Suasana kembali menjadi tegang, dan kalian seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal. Dia berdiri dan berpamitan untuk segera pergi, karena masih ada banyak pekerjaan. Sedangkan kamu hanya tersenyum tanpa menjawab ucapannya.

Selesai menyantap seluruh hidangan yang ada, kamu pergi dari sana tanpa peduli dengan hal lain. Namun, pisau makan itu berhasil kamu dapatkan untuk mencari sebuah tujuan. Senyum dan netra itu mengisyaratkan sesuatu yang mengerikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status