Share

06 | Tuduhan Palsu

Kasih sayang orang tua adalah anugerah terindah

"Mikirin apa?" Rizal menolehkan kepala menyamping, meneliti ekspresi bimbang yang terpampang jelas menghiasi wajah cantik kekasihnya.

Sedari awal memasuki mobil, Flora memang terlihat sibuk memikirkan sesuatu. Entah hal apa yang berhasil memenuhi otak gadisnya, tetapi Rizal belum memutuskan menanyakan secara langsung atas rasa penasaran dalam dirinya. Menunggu beberapa menit kemudian berharap Flora segera membuka mulut, sekadar mencairkan suasana seperti biasa. Namun, sampai perempatan— jalanan hampir memasuki komplek perumahan, cewek itu terus-menerus bungkam.

Maka, Rizal menceletuk bertepatan lampu merah menyala terang. Mengalihkan seluruh pusat perhatian dari jalanan ke pahatan tanpa celah milik sang dambaan hati. Walau sudah melambungkan suara, nyatanya kesadaran Flora belum juga kembali. Menghela napas panjang, tangan Rizal pun terulur menggenggam jemari cewe itu, mengelusnya lembut.

"Ah, sudah sampai?" Flora spontan melepas tautan, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keningnya berkerut menyadari posisi masih di tengah jalan raya.

Dia menggerakkan kepala, melayangkan tatapan kebingungan. Mempertanyakan keadaan pada si supir seolah mengabaikan pertanyaan yang sempat tertuju padanya. Mendapat respon senyum tipis dari lawan bicara membuat pikiran Flora semakin dibuat penuh tanya. Menduga-duga kalau Rizal sedang kesal tanpa tahu apa penyebabnya.

Kondisi jalanan yang lengang melancarkan mobil melaju hingga tujuan. Gerbang tinggi menjulang keemasan terlihat memukau, kontras akan senyum yang diterbitkan Flora sebelum berpamitan keluar dari kendaraan milik sang kekasih.

"Tunggu." Rizal mencengkeram pergelangan tangan Flora, menahan kepergian cewek itu.

"Ada apa?" Flora kembali memposisikan duduk seperti sedia kala, tetapi menghadap ke arah pengemudi. Melayangkan sorot penuh tanya sekaligus harap-harap cemas menunggu kelanjutan kalimat lawan bicara.

"Aku besok nggak bisa jemput kamu."

Sebenarnya Flora tidak ingin cepat-cepat menyimpulkan sesuatu. Namun, perubahan sikap Rizal yang begitu jelas menambah beban pikirannya yang dari awal sudah tidak karuan. Upaya sekeras apa pun, jika sekarang Rizal enggan menerbitkan senyum cerah andalannya, tentu kemungkinan buruk semakin besar menuntut untuk dibenarkan.

Cewek itu menganggukkan kepala pelan sembari menipiskan bibir. Tidak mau mengungkap kekecewaan secara terang-terangan. Mungkin hubungan mereka perlu jeda sejenak. Terhitung tiga bulan terus menempel layaknya surat dan perangko, rasa bosan pasti muncul walau sedikit. Biarlah waktu berjalan semestinya sampai mereka kembali bersikap wajar ala pasangan normal.

Flora sempat mengusap pipi Rizal seraya menarik sudut bibir lebih tinggi sebelum bersiap hendak keluar, tetapi tubuh mendadak terguncang hebat manakala melihat sosok Fiona dari kejauhan sedang berjalan tertatih. Bekas lebam pun tercetak hampir memenuhi daerah kaki dan pergelangan tangan. Meneguk ludah susah payah, dia berniat menghampiri. Namun, kegiatannya gagal dilakukan ketika Prisha lebih dulu keluar dari rumah, berlari tergopoh menyambut kedatangan anak kesayangan yang serupa telah dihabisi oleh penjahat.

Diam-diam Rizal memperhatikan reaksi Flora. Turut dirundung perasaan berkecamuk manakala mendapatkan sosok Fiona terluka di depan sana. Kekasihnya itu masih mendekam, enggan bergerak cepat atau mengungkapkan keprihatinan. Wajah cantiknya tetap menunjukkan tanpa ekspresi, hanya sedikit terkejut terlihat melalui mata melebar, tak lebih. Entah mengapa, dia merasa kecewa mengetahui kepribadian Flora yang menyangkut kakaknya sendiri.

"Aku pergi. Kamu langsung pulang, ya."

Nada bicaranya datar. Bergerak santai keluar dari kendaraan, Flora masih sempat berdiri menunggu Rizal benar-benar menghilang dari pandangan. Sebenarnya, cowok itu ingin mempertanyakan lebih dalam guna mengetahui seluk beluk kisah kekasihnya. Namun, keberanian tampak belum berpihak sehingga keputusan menunda pun terlaksana. Tak butuh waktu lama, Rizal akhirnya pergi, menyisakan Flora yang langsung mengubah ekspresi menjadi sangat khawatir. Buru-buru memasuki rumah untuk mengetahui kondisi sang kakak.

***

Tubuh Fiona terasa remuk redam. Sekadar dipergunakan berjalan sedikit saja seperti diinjak-injak oleh sekumpulan orang dengan penuh tenaga. Luka kebiruan menghias sempurna dari bagian atas tubuh hingga bawah kontras akan kulit putih susunya. Dia tidak mengerti mengapa orang-orang gemar menyakiti, padahal masih sama-sama menyandang status manusia berakal. 

Fiona sulit menjabarkan bagaimana aksi ketiga cewek yang sempat mencari gara-gara akan tindakan ketidaksengajaan kembali menuntut pembalasan. Oknum yang kata Flora bernama Fay beserta dua pengikut setia kembali beraksi dengan membahas insiden siang tadi. Sungguh, rasanya Fiona muak manakala diingatkan bekali-kali seperti telah melakukan kesalahan fatal saja. Dia betulan tidak sengaja, atau mungkin ada motif lain yang menguatkan mereka antusias mengajak bertikai.

"Mau lo apa sebenarnya?" Fiona jengah sendiri terus-terusan bersikap sopan. Menghargai mereka sebagai sesama makhluk Tuhan ternyata berbuah pahit. Tidak ada balasan serupa tercipta, melainkan menimbulkan perasaanrasa dongkol.

"Lo nggak pura-pura bego, kan, buat ingat-ingat ucapan gue tadi?" Fay melipat tangan di dada, mempertontonkan wajah judes andalan. "Gimana?"

"Apanya?"

Fiona sengaja memperumit obrolan, berharap seseorang sengaja membantu. Namun, menyadari area gang kecil samping sekolah terlampau sepi sempat membuatnya putus asa.

Fay mengeluarkan decak, merasa tidak sabaran meladeni basa-basi lawan bicara. Dia mengode dua lainnya melalui lirikan, kemudian sebuah tamparan mendarat seketika diikuti pukulan, tinjuan, tendangan, hingga badan sempoyongan jatuh. Mereka pun menuntaskan keinginan dengan memaksa tubuh luka Fiona berlutut. Kemudian, ketiganya memilih pergi tanpa mau susah-susah memikirkan nasib cewek malang itu selanjutnya.

"Argh! Pelan-pelan, Ma."

Kini, bekas perlakuan kejam mereka ditangani oleh Prisha. Wanita itu amat terkejut saat memergoki Fiona berjalan tertatih. Butuh perjuangan ekstra bagi dirinya sampai rumah. Beruntung, Prisha segera menolong dengan mengeluarkan tenaga membopong badan berbalut luka sang anak memasuki rumah.

"Siapa yang berani ngelakuin ini? Mama bakal bilang ke kepala sekolah kamu besok," cerocos Prisha menyemburkan amarah. Terlihat jelas ekspresi cemas tergambar di wajah yang tak lagi muda.

Fiona tersenyum. Merasa lega masih ada Prisha yang begitu peduli padanya. Andai saja semua orang sebaik sang mama, tentu kejadian seperti ini takkan terjadi atau menimpa dirinya. Ketika dua manusia saling beradu cakap sembari memberi kasih sayang, Flora diam mematung di tengah ruangan. Memperhatikan lamat-lamat aksi cekatan Prisha mengobati setiap luka sang kakak.

Dia tiba-tiba merindukan perhatian serupa dari wanita itu. Selama hidup, Flora bahkan tidak pernah merasakan bermanja-manja dengan orang yang telah melahirkannya. Sangat beruntung sekali menjadi Fiona dapat merasakan sentuhan penuh cinta dari Prisha. Badan mematung dengan pandangan kosong yang lurus memperhatikan dua manusia itu akhirnya kepergok juga.

Prisha lantas segera bangkit dari tempat duduk, berjalan tergesa menghampiri gadis berpenampilan sedikit mirip preman. Tak segan melayangkan tamparan amat keras pada pipi sang anak. Hal itu memunculkan keterkejutan serentak, tak terkecuali Flora. Dia malahan tersadar secara sempurna manakala rasa panas menjalar ke seluruh tubuh.

"Karena kamu Fiona jadi seperti itu!"

Baik Fiona maupun Flora, keduanya memilih diam. Sementara Prisha mulai menunjukkan ketidaksukaan terhadap anak keduanya itu.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status