“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
Surabaya, 2016“Apa yang kamu inginkan sekarang?”Gadis cantik yang tengah memandang ke luar jendela kafe itu menoleh ke samping. Dia menatap kekasih yang sudah menemaninya selama 10 bulan itu dengan sorot sedih. Dia mencengkeram ujung meja dengan erat sampai membuat jari-jarinya memutih. Rahangnya mengerat menahan sesak yang seakan-akan siap meledak kapan saja.“Aku ingin hubungan kita selesai sampai di sini.”Bian melebarkan matanya. Hanya sebentar saja sebelum kemudian dia kembali memasang wajah dingin dan tidak terbaca. Pemuda itu mengambil gelas es kopi susu di depannya dan memilih meminumnya dengan pelan dan terlihat begitu santai di mata Fio.“Apa kamu mendengarku?” Fio menatap Bian dengan tajam.“Ya,” Bian mengangguk. “Mau bagaimana lagi kalau itu yang kamu inginkan?” pemuda itu mengambil tasnya.“Maksud kamu?” mata gadis i
“Ada apa dengan matamu?”Fio terus berjalan tanpa mau menoleh ke sampingnya. Rey yang sejak tadi sudah seperti penguntit karena mengikuti Fio kemanapun gadis itu pergi hanya mampu menghela nafasnya lagi dan lagi.“Fi?” Rey menarik tangan Fio.Gadis itu akhirnya mau menatap wajah Rey meskipun hanya dengan tatapan datar. “Apa kamu tidak dengar apa yang aku katakan ketika di rumah tadi? Aku ingin sendiri, kenapa kamu tidak mengerti juga?” Fio menatap Rey dengan tajam.“Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu,” Rey melepaskan tangan Fio.“Setelah ini kita bicara, tapi tolong biarkan aku memilih buku terlebih dahulu, kalau kamu bosan mengikutiku, kamu bisa menunggu di bangku dekat kasir sana,” kata Fio sambil menunjuk bangku yang berada di depan kasir dengan jari telunjuknya.“Oke,” Rey mengangguk.Pemuda itu memutar tubuhnya dan berjalan menuju bangku yang tadi ditunjuk
Fio meletakkan ponselnya ke atas meja belajarnya dengan asal. “Bodoh! Rasa penasaranmu hanya akan membuatmu banyak berharap dan sakit di waktu yang sama, Fi!” dia berbicara sendiri.Jarinya membolak-balik halaman novel yang sedang di bacanya. Bahkan dia tidak bisa mencerna semua kalimat yang sudah John Green sajikan dengan baik di novel itu. Fio mendorong tubuhnya ke belakang sehingga punggungnya bisa bersandar dengan nyaman. Helaan napas terdengar lolos begitu saja dari mulutnya.Tangannya mengusap wajahnya yang terasa lengket karena efek belum mandi. Fio menggigit bibirnya dengan tangan yang sudah hampir meraih kembali ponselnya. Sebelum tangannya berhasil menyentuh layar ponselnya, Fio kembali menariknya dengan cepat sambil menggelengkan kepalanya. Dia berdiri dan berkacak pinggang. Gadis itu berjalan kesana-kemari sambil menimbang-nimbang apa yang akan dia lakukan selanjutnya.“Masa bodoh! Aku harus mencobanya, kan?”Fio kemudi
“Fio?”Gadis cantik yang sedang berdiri dengan satu tangan memegang tali tas selempangnya itu menatap Rey dengan tatapan penuh harapannya. “Apa kamu tahu kemana Bian? Tolong bantu aku, Rey!” tanpa berbasa-basi Fio bertanya dan memohon.Rey berjalan mendekat dan meraih pergelangan tangan Fio. Dia membawa Fio pergi dari lapangan basket sekolahnya.“Lepaskan aku, Rey!” Fio menarik tangannya.Gagal. Rey lebih kuat dari dirinya. Fio menghela nafasnya dalam dan berjalan dengan malas mengikuti kemana Rey pergi.“Kita bicara di tempat lain,” kata Rey tegas.“Sudah! Lepaskan aku! Aku hanya minta bantuanmu, kalau kamu tidak bisa bilang saja!” Fio setengah berteriak.“Di lapangan banyak orang, apa kamu tidak bisa lihat?” Rey melepaskan tangan Fio begitu mereka sampai di koridor kelas yang sepi.Fio menatap Rey dengan wajah memerah. “Aku tidak peduli! Aku kesini
Fio menatap bangunan rumah sederhana di depannya dengan wajah tenang. Gadis itu melangkah menuju gerbang rumah yang tidak terlalu tinggi. Matanya kemudian mencari-cari bel yang mungkin bisa dirinya gunakan untuk membuat di empunya rumah tahu bahwa ada tamu di luar. “Cari siapa dek?” Fio terlonjak kaget. Dia kemudian memutar tubuhnya dan menatap seorang ibu yang membawa tas belanja berisi banyak sayuran. Fio tersenyum kaku dan menganggukkan kepalanya sebagai bentuk kesopanan. “Maaf, apa benar ini rumahnya Fabian, bu?” Fio bertanya dengan senyuman yang sudah terpasang lebar di bibirnya. “Benar, ini rumahnya Fabian, adek siapa ya?” ibu itu berjalan pelan dan membuka pagar rumah. “Ibunya Bian?” batin Fio. “Saya Fio bu, temannya Bian,” jawab Fio sopan. “Oh saya Ningsih, ibunya Bian.” “Benar kan!” Fio bersorak dalam hati. “Ayo masuk dulu dek,” ajak Ningsih sambil berjalan lebih dulu masuk ke ha
Surabaya, 2015“Kita mampir ke Yellow Burger dulu, yuk?” Nola terlihat memandang ke arah teman-temannya satu per satu yang tergabung dengan nama grup tari Dream Machine.“Pasti ada promo kalau ratu Nola sudah bersabda,” sahut Alvin cepat.“Iya, ada promo,” Nola tertawa.Fio baru saja selesai latihan menari dengan teman-temannya. Dia memutuskan untuk ikut karena kebetulan letak restoran tersebut se arah dengan jalan pulang ke rumahnya. Fio datang lebih dulu dari teman-temannya yang lain.“Mereka belum kelihatan juga,” Fio bergumam dengan kepala yang sudah celingukan ke arah parkiran.Tidak lama berselang, nafas lega lolos begitu saja dari mulutnya begitu melihat teman-temannya. Nola dan Nessa menghampirinya sedangkan Alvin dan Rafa berjalan menuju meja kosong yang terletak di pojok belakang, tepat di samping jendela.Fio tersenyum lebar k