Share

3. Topeng yang Terbuka

Tanpa kusadari, aku tertidur.

Namun saat aku bangun, keadaan sudah gelap.

Kepalaku berdenyut nyeri dan seluruh tubuhku terasa sakit. Paman George memukulku dengan membabi buta.

Perutku sangat lapar dan kerongkonganku terasa kering.

Aku terpaksa keluar dari kamar untuk membeli makanan. Bagaimanapun aku harus punya tenaga untuk menghadapi drama mereka. Ketidak adilan ini harus kulawan. Walaupun aku menumpang, aku mengeluarkan tenagaku untuk membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah setelah pulang kuliah.

Kupelankan langkahku saat kudengar suara Lily. Kenapa dia tidak pulang ke rumah David? Bukankah David ingin bersama Lily setelah mendepakku ke rumah ini?

"Kenapa masih menampungnya? Aku ingin menggunakan kamarnya sebagai tempat penyimpanan koleksi gaun mahalku." Suara Lily terdengar jelas karena pintu kamarnya tidak tertutup sepenuhnya.

"Sabar, Sayang. Kita masih membutuhkannya." Bibi Amanda berusaha menenangkan Lily.

Membutuhkannya? Maksud mereka, membutuhkanku? Tapi untuk apa?

"Apalagi sih alasannya, aku sangat jijik dengannya. Aku tidak punya muka jika teman-temanku mengetahui jika gembel itu adalah sepupuku." Lily menghinaku.

Aku mencoba tersenyum saat teman-temannya Lily menghinaku. Dia pikir, aku suka berada di tengah-tengah mereka saat aku diperkenalkan sebagai pembantu.

"Kau pikir, Mama tidak jijik. Setiap makan bersama, dia memakan apa pun yang terhidang di meja hingga bersih. Tak sebutir pun nasi yang tersisa." ucapan Bibi Amanda semakin membuat hatiku ngilu.

Nenek mengajarkanku untuk tidak menyisakan makanan yang berada di piringku. Karena di luar sana banyak orang yang kelaparan.

"Mama tidak melihat saat aku memberikannya baju-baju mahalku padanya. Wajahnya seperti orang gila yang mendapatkan kejutan. Sungguh sangat muak aku melihat senyum anehnya." ucap Lily.

Potongan model baju bekasnya Lily yang vulgar membuatku tidak nyaman. Aku menerimanya agar Lily merasa senang karena aku menghargai niat baiknya. Dia pikir, aku suka memakai pakaian seperti seorang jalang?

"Sudah-sudah, kalian jangan ribut. Kita masih membutuhkan dia. Sebelum dia tanda tangan." ucapan Paman George membuatku terkejut

Tanda tanganku? Apa maksudnya ini? Rasa penasaranku semakin menjadi setelah mereka tidak lagi membahas masalah tanda tangan. Hatiku tidak tenang, dan membuat kakiku bergerak mendekati kamarnya Lily. Dengan tangan yang bergetar, aku membuka pintu kamar sepupuku itu.

Brak!

"Tanda tangan apa? Kenapa kalian menginginkan tanda tanganku. Tidak cukupkah kalian mempermainkan hidupku? Menumbalkanku menikah dengan David lalu memfitnahku. Sekarang kalian masih merencanakan hal buruk padaku?"

Mereka bertiga terkejut, mungkin mengira diriku akan pingsan sampai esok hari.

Bibi Amanda mendekatiku dengan senyum palsunya. "Ana sayang, kau sudah sadar? Apakah lukamu sudah baikan, bagaimana kalau kita ke rumah sakit untuk memeriksa keadaanmu?"

Jika dulu hatiku akan tersentuh dengan kata-kata lembut Bibi Amanda. Tapi sekarang berbeda, aku muak, aku benci dengan topeng kepalsuan yang ia tunjukkan padaku.

Melihat aku tidak bereaksi, Lily menyipitkan matanya. "Ma, cukup, Mama tidak usah berakting lagi. Aku tebak gembel itu sudah mendengar percakapan kita tadi."

"Gembel?" Aku berdecih. "Gembel menjijikkan yang kalian butuhkan tanda tangannya? Hahaha," aku tertawa hingga air mataku mengalir. Kutatap mereka satu-persatu hingga mereka kebingungan.

"Apa yang kau tertawakan?" Bibi Amanda bertanya.

"Orang yang kalian sebut gembel ini tidak akan menandatangani apa pun."

Ketiganya jelas terkejut. Bibi Amanda bahkan hendak memukulku lagi.

Namun, Lily tiba-tiba memberi kode kepada kedua orang tuanya agar meninggalkan kami berdua. "Ma, Pa, keluar sebentar. Biar aku saja yang bicara dengan Ana," ucapnya.

Dengan lembut, sepupuku itu berkata, "Ana, maafkan aku. Sebenarnya aku tidak terlibat dengan semua ini. Aku dan David saling mencintai. Mana mungkin aku mangkir dari pernikahan impianku. Ini semua adalah usul Papa dan Mama. Aku pun tidak bisa menolak untuk mematuhi rencana mereka." Lily memegang kedua tanganku dengan tatapan sedih.

Hanya saja, aku tidak akan tertipu untuk kesekian kalinya.

Sifat Lily ini sudah sangat kuhapal. Apalagi setelah mendengar alasan dari mereka untuk masuk dalam drama pernikahanku dengan David.

Melihat ekspresiku yang tetap datar, wajah Lily sontak berubah masam setelah beberapa menit aku tidak bereaksi. Ia lalu nenghempaskan kedua tanganku. "Ana, jangan mulai kurang ajar kau!"

Aku pun tersenyum tipis, Lily tidak sabar membujukku dan langsung terlihat sifat aslinya.

"Kau lupa jika selama ini kami yang menghidupimu? Kau seperti anjing kumuh yang kami tolong. Setelah kami rawat, kau malah menggigit kami?! Sudah seharusnya kau balas budi."

"Aku tinggal di sini tidaklah gratis. Aku bekerja di luar dan mengerjakan pekerjaan rumah layaknya pembantu. Jadi aku tidak berhutang kepada kalian," balasku.

Lily salah jika aku akan diam saja kali ini.

"Baiklah, tak mengapa kau tidak mau menandatangani kertas ini. Karena nilai harta atas tandatanganmu tak sebanyak harta dari keluarga Walles."

Deg!

Rupanya aku tidak salah dengar! Mereka menampungku karena mengincar warisan bagian ayahku dari nenek. Tanda tanganku untuk membuat mereka berhak mengambil bagian ayahku dengan persetujuanku.

Melihat wajah licik Lily, aku merubah keputusanku tentang pernikahanku dengan David. Mulanya aku ingin bercerai setelah perlakuan kasar David padaku pagi ini. Tapi sekarang, aku ingin bermain-main dengan Lily sebelum aku bercerai dengan David.

"Oh ya, kau lupa siapa yang sudah resmi menjadi Nyonya Walles?"

Lily langsung melotot, melihatku dengan tatapan tajam. "Hai gembel, jangan bermain-main denganku. David hanya mencintaiku!"

"Hahaha," aku tertawa. Aku tidak tahu alasan Lily dengan membuatku menikah dengan David, padahal Lily menginginkan David menjadi miliknya. Tapi sekarang, aku tertarik untuk menjadi istri sementara David.

"Kau lupa, di sertifikat pernikahan, akulah istri sah David menurut hukum dan agama? Kau hanyalah seorang kekasih yang tidak bisa memiliki David secara hukum. Itu artinya kau hanyalah seorang wanita simpanan dan aku adalah istri sah."

"Kau menandatangani sertifikat pernikahan itu?" Lily bertanya setengah membentak.

"Tentu saja, aku akan rugi kehilangan kesucianku jika aku tidak menikah resmi dengan David."

"Kau …" Lily ingin menamparku. Tapi aku dengan sigap menghindar darinya. Cukup sudah penderitaanku karena kelicikan Lily dan kedua orang tuanya. Kini saatnya aku mengambil langkah melawan mereka.

"Dasar gembel, anjing jalanan! Hidupmu akan sengsara karena telah melawan kami." Lily mengumpat setelah aku keluar dari kamarnya lalu meninggalkan rumah yang sudah menampungku beberapa tahun ini.

Aku berjalan tak tentu arah sambil memikirkan alasan apa agar David tidak langsung menceraikanku.

Lelah berjalan, aku menghubungi Mary, teman baikku saat di sekolah. Namun berkali-kali aku menekan kontak namanya di ponselku, tidak ada jawaban di sebrang sana. Mungkin karena Mary sedang sibuk dan dia tidak tahu jika aku telah menikah kemarin.

"Sial!" Aku memutuskan masuk ke sebuah bar yang berada di hadapanku. Suasana yang ramai tidak bisa memberikan ketenangan yang aku inginkan. Hatiku sakit dan syok atas kenyataan yang baru saja menimpaku. Aku dijebak untuk menikah dengan laki-laki yang tidak mencintaiku.

Aku pun langsung duduk di meja bartender. Aku akan minum untuk melupakan kerumitan hidupku.

"Martini," ucapku sengaja mengorder minuman beralkohol dengan kadar tinggi.

Bartender itu mengernyit sambil menatapku dari atas ke bawah.

Sepertinya, ia pikir aku tak bisa membayarnya.

Kuletakkan lembaran uang di meja bartender. "Aku punya uang untuk bayar," ucapku.

"Baik, Nona." Bartender itu tersenyum lalu menyodorkan segelas cairan yang berwarna cokelat keemasan.

Hanya saja, tidak berapa lama, kepalaku langsung pusing setelah menghabiskan satu gelas martini. Semuanya terlihat kabur dan wajah bartender di hadapanku berubah menjadi dua.

"Nona, Nona, Anda baik-baik saja?" Suara bartender itu seperti suara lebah yang berdengung di telingaku.

"Adakah nomor yang bisa saya hubungi untuk menjemput Nona?"

Aku mengeluarkan ponselku lalu memberikannya kepada bartender itu--membiarkannya menelpon siapa saja di kontakku.

"Halo, Tuan Walles. Nona yang mempunyai ponsel ini sedang mabuk di bar kami. Dia tidak bisa pulang karena keadaannya sangat mabuk."

Hah!

Aku tak mengira jika bartender itu akan menghubungi nomornya David!

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status