Share

Tragedi Cinta Bunga
Tragedi Cinta Bunga
Penulis: David Khanz

1. Prahara Di Awal Masa

TRAGEDI CINTA BUNGA

Penulis : David Khanz

Bagian : 1

Episode : Prahara Di Awal Masa

Titik-titik air sisa hujan masih menetes dari ujung dedaunan pohon bakau, terjatuh lembut menimbulkan irama isak alam yang baru saja terhenti dari tangis. Desah bayu pun turut mendinginkan suasana di tengah temaram hutan payau, laksana sedang menyambut dekap waktu di pengujung senja.

Di bawah tatap sendu bias langit yang kelabu, gemercik beberapa pasang kaki menapaki landai tanah basah dengan penuh berhati-hati. Menjejak satu per satu langkah terarah disertai sorot mata tajam menuju suatu tempat. Empat orang laki-laki mengendap-endap di antara lebat pancang pepohonan dengan batang obor tergenggam erat di tangan masing-masing.

"Kalian yakin kalau mereka berdua berada di sekitar tempat ini?" tanya salah seorang dari keempat sosok tersebut, tersaruk-saruk berjalan di barisan paling depan. Sesekali dia harus menyipitkan mata tuanya, guna memperjelas pandangan di bawah nyala obor yang meliuk-liuk diterpa angin.

Satu orang dari sisa ketiganya menjawab setelah saling melirik di belakang sosok tadi, "Sumuhun, Juragan. Tadi sore, kami lihat dengan mata kepala sendiri, Nèng Bunga dengan pemuda itu, sedang bersama-sama di tepian pantai sana."

"Benar sekali, Juragan," timpal yang lainnya menegaskan. "Tadinya, kami bermaksud memergoki mereka dan mengajak putri Juragan itu untuk segera pulang, tapi … kami teringat akan pesan dari Juragan sebelumnya."

Tidak ingin ketinggalan untuk ikut berbicara, sosok ketiga turut membenarkan. "Iya, Juragan Mahmud. Apa yang disampaikan oleh kedua kawan saya baru saja, memang betul begitu adanya."

Laki-laki tua yang dipanggil sebagai Juragan Mahmud itu menoleh sejenak ke belakang disertai tatapan mata dingin. Lantas kembali fokus menyeruak di antara rimbunan daun-daun basah menghadang di depan.

Salah seorang temannya yang berucap awal tadi, seketika menyikut perut sosok terakhir hingga meringis kesakitan.

"Sudah saya bilang, jangan memanggil Juragan disertai nama, Dillah! Itu tidak sopan! Bodoh sekali kamu ini!" umpatnya dengan suara berbisik.

Balas Dillah seraya mengusap-usap sakit perutnya, "I-iya … maaf, Kang Amrul. S-saya lupa. M-maaf."

Sosok laki-laki tua yang berjalan di depan tadi, Juragan Mahmud, mendengkus keras. Bahkan sesekali terdengar menggeram seperti tengah menahan dera amarah di balik dada. Bibirnya yang nyaris tertutup rimbunan kumis memutih, tampak bergerak-gerak disertai raut wajah mengasam.

Di sepanjang langkah menjejaki tanah berlumpur, benak orang tua tersebut sibuk berpikir dan berkata-kata.

'Sudah kuduga sejak tadi, Bunga pasti pergi bersama laki-laki jahanam itu!' rutuknya kemudian diiringi gemuruh murka mengentak jiwa. 'Sudah kuperingatkan juga berkali-kali, tapi rupanya laki-laki itu menganggap ancamanku hanya gertak sambal belaka. Huh, mengapa tidak sedari awal aku lenyapkan saja dia? Sekarang makin menjadi-jadi ulahnya itu! Bedebah!'

Lebatnya pohon bakau ditambah pula dengan cahaya langit mendung, membuat suasana hutan payau lebih gelap ketimbang keadaan sewaktu mereka mencari-cari dua sosok yang dimaksud di lepas pantai tadi. Untunglah perbekalan alat penerangan berupa obor-obor berbahan bambu sudah dipersiapkan sebelumnya, sesaat setelah guyuran hujan mereda.

"Amrul! Dillah! Syahrul! Siapkan obor masing-masing dan sisakan satu untuk saya!" titah Juragan Mahmud setelah ketiganya datang melapor kabar di kediamannya beberapa saat setelah hujan mereda. 

Dillah, Amrul, dan Syahrul saling berpandangan heran. Sejenak malah sibuk bertanya-tanya, untuk apa seterang hari tersebut harus membawa-bawa alat penerangan? Bukankah hanya hendak menjemput anak perawan juragan mereka di lepas pantai? Namun sekarang, salah satu jawabannya sudah didapatkan. Tidak disangka sama sekali, jika perjalanan mencari-cari sosok yang dimaksud, ternyata harus masuk ke dalam lebatnya hutan bakau seperti itu. Tentu saja setelah mengitari sekitar pantai, tidak ditemukan keberadaan Bunga dan Syaiful di sana.

'Laki-laki jahanam itu pasti telah membawa anakku ke dalam hutan sana,' kata Juragan Mahmud membatin. Dia berpikir seperti itu, bukan tanpa alasan. Sebab di saat hujan turun tadi, Bunga dan Syaiful pastinya akan mencari tempat perlindungan sementara di sekitar tempat tersebut. Kemana lagi, kalau bukan ke arah hutan terdekat.

"Syahrul, Dillah, dan kamu Amrul … ikuti saya!" seru orang tua itu memberi perintah susulan, lantas bergegas menuju sebuah tempat.

Ketiga laki-laki tadi serentak mengikuti langkah Juragan Mahmud, disertai kepala berisi pertanyaan serupa; mengapa harus masuk ke dalam hutan? Namun tidak ada satu pun yang berani mengajukan tanya, terkecuali menurut dan patuh pada titah sang majikan.

Beberapa puluh langkah setelah memasuki gerbang belantara, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Juragan Mahmud memberi pertanda agar sosok-sosok di belakangnya tersebut—diam—tidak mengeluarkan suara. Kemudian menunjuk-nunjuk ke depan, pada sebuah gubuk kecil di antara pancang pohon-pohon bakau serta rimbunan dedaunan.

Perlahan-lahan orang tua itu melanjutkan langkah dengan tatap mata yang nyaris tanpa berkedip sekalipun, diikuti Amrul, Dillah, dan Syahrul sambil menahan napas. 'Di dalam sanakah Nèng Bunga dan Syaiful berada?' Begitu pertanyaan yang tebersit di hati ketiganya masing-masing.

Masih berpacu dalam detak jantung bertalu-talu, tiba-tiba terdengar seru mengejutkan dari sosok tua di depan mereka. "Kalian yang berada di dalam gubuk, keluar sekarang juga!"

Seketika Amrul, Dillah, dan Syahrul saling berpandangan satu dengan lainnya. Memperhatikan antara sosok Juragan Mahmud dan gubuk kecil di depan mereka.

'Benarkah Neng Bunga ada di dalam sana? Ah, tidak mungkin. Ini sungguh tidak mungkin,' ujar Dillah di dalam hati seraya menggelengkan kepala berulang-ulang. 'Bagaimana bisa seorang anak perempuan Juragan Mahmud berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahramnya di tempat sepi seperti ini?'

Usai berseru tadi, beberapa saat lamanya Juragan Mahmud menunggu-nunggu. Tatap mata lelaki tua tersebut tertuju lekat ke arah gubuk tadi dengan raut wajah mengasam murka.

"Bunga! Keluarlah!" teriak Juragan Mahmud untuk kali kedua, "kalau tidak … atau Ayah sendiri yang akan menarikmu keluar dengan laki-laki jahanam itu dari dalam sana! K-e-l-u-a-r!"

Tidak berapa lama, kali ini terlihat ada pergerakkan samar-samar dari celah bagian dalam gubuk tersebut. Dua sosok laki-laki dan perempuan muncul, mengendap-endap ketakutan di balik ambang pintu masuk bangunan. 

Sesaat mata tua Juragan Mahmud menyipit untuk memperjelas penglihatan di bawah keremangan suasana alam. Dia ingin meyakinkan terlebih dahulu bahwa kedua sosok yang ada di depan sana itu adalah benar putri semata wayangnya.

"A-ayah …." Terdengar satu suara memanggil.

Orang tua berusia 50 tahun tersebut langsung mengenali. Spontan dia menggeram seram disertai gemeretak gigi menahan amarah. Ternyata benar adanya bahwa mereka berdua adalah sejoli bernama Bunga dan Syaiful. Gadis itu berdiri di belakang, dihalang-halangi oleh badan sang kekasih, dalam kondisi sama-sama basah kuyup.

  

"Bunga! Lekas ke sini kamu sekarang juga! Jauhi laki-laki sialan itu!" bentak Juragan Mahmud seraya menunjuk-nunjuk geram.

Laki-laki yang bernama Syaiful tampak bingung. Di satu sisi merasa ketakutan, tapi di sisi lain ingin melindungi sang kekasih dari amukan ayahnya. Maka dengan sangat terpaksa, dia mencoba untuk meredam suasana semampu mungkin.

"J-juragan ….," ujar Syaiful terbata-bata, "s-saya bisa jelaskan semuanya, J-juragan. I-ini sama sekali tidak seperti yang Juragan lihat. K-kami … k-kami berdua hanya—"

Juragan Mahmud langsung menghardik keras hingga menggetarkan dada. "Apalagi yang mau kamu jelaskan, hei … Manusia Jahanam?! Sudah nyata sekali kalau kalian berdua sudah melakukan perbuatan tidak senonoh di tempat ini!" Orang tua itu memperhatikan kondisi badan dari pihak lelaki yang bertelanjang dada, sementara anak perempuannya sendiri tampak kuyup dibalut pakaian yang bukan milik sendiri.

Mendengar ucapan ayahnya, Bunga ikut bersuara di balik tubuh sang kekasih. Ucapnya lirih penuh ketakutan, "Tidak, Ayah. Kami sama sekali tidak melakukan hal apa pun. Demi Allah, Bunga dan Kang Iful hanya numpang berteduh di gubuk ini, Ayah."

Namun Juragan Mahmud tetap tidak ingin memercayai begitu saja. Merasa anak perempuannya tidak mau menuruti perintah sejak awal, lelaki tua itu pun segera memberi titah pada Dillah dan Amrul agar menarik Bunga dari dekat Syaiful.

Lekas kedua anak buah Juragan Mahmud yang bertubuh kekar itu mematuhi. Mereka memburu Bunga agar cepat menghampiri ayahnya, tapi mendapat perlawanan sengit dari sosok kekasih perempuan tersebut.

Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba terdengar derak sesuatu beradu dengan keras. Disusul lenguh kesakitan membuncah di seantero hutan bakau.

"Aaahhh!" jerit Syaiful berpadu bersama lengking memekakkan telinga dari Bunga. "Aawww! Akaannggg!"

Sebuah hantaman keras mendarat telak di bahu Syaiful dihiasi percikan nyala api yang berterbangan di sekitar badannya. Saat menoleh, itu adalah batang obor di tangan Juragan Mahmud yang dipergunakan untuk memukul baru saja.

"Ayah!?" pekik Bunga sambil melotot kaget pada Juragan Mahmud. Seakan-akan tidak memercayai apa yang dilakukan oleh ayahnya terhadap sang kekasih. "Apa yang Ayah lakukan pada Kang Iful, Ayah?!"

Orang tua berkumis putih lebat itu tidak menjawab. Dia bergeming di tempatnya berdiri sambil menatap tajam sosok Syaiful yang tengah meringis kesakitan, mengusap-usap bahu. Lantas kembali memberi perintah pada Dillah dan Amrul agar menyeret Bunga agar menjauh.

Namun gadis itu tidak ingin menyerah begitu saja. Dia khawatir ayahnya akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakan Syaiful. Sekuat tenaga meronta-ronta dan menghambur peluk pada kedua kaki Juragan Mahmud.

"Jangan sakiti Kang Iful, Ayah! Ini semua kesalahan Bunga! Kalau Ayah mau—" Belum tuntas bunga berucap disertai tangis lirih, serta merta Juragan Mahmud menggerakkan kaki dengan kasar guna melepaskan diri dari pelukan tangan anaknya.

"Menjauh dari Ayah, Bunga!" bentak orang tua itu garang. "Biar Ayah beri pelajaran laki-laki jahanam yang telah menodai kamu ini!"

Bunga bersikukuh untuk mempertahankan pelukannya pada kaki Juragan Mahmud. Namun dengan sekali entakkan keras, tubuh gadis itu pun terpental hingga terjerembab menghantam lumpur landai bakau.

"Bungaaa!" teriak Syaiful terkejut. Tidak menyangka jika sosok tua itu mampu berbuat sekasar itu pada anak perempuannya sendiri.

Niat hati hendak membantu Bunga, tapi sebuah hantaman susulan—tanpa diduga—hinggap di pelipis laki-laki muda tersebut hingga menimbulkan bunyi kertak. Percik api kembali berhamburan dari ujung batang obor yang nyaris padam dan kini hanya menyisakan nyala di setengah sumbunya.

Lagi-lagi, raung kesakitan Syaiful pun membahana di tengah suasana sepi hutan bakau yang kian mendingin. Wajah pemuda bertubuh tegap itu seketika melebam merah bercampur coreng hitam bekas sapuan arang ujung obor milik Juragan Mahmud.

Bunga yang tadi tersungkur dan lepas dari pegangan Dillah dan Amrul, langsung bangkit lagi. Kemudian balik memburu kaki ayahnya sambil memohon dalam pekik memilukan.

"Jangan sakiti Kang Iful, Ayah! Bunga mohon!" teriak gadis itu menyayat hati.

Juragan Mahmud yang semula hendak memberi hantaman ketiga pada sosok lelaki muda tadi, sejenak menghentikan langkah dan menoleh ke belakang pada Bunga. Lagi-lagi tanpa berbekas kasih, dia melepaskan cekalan anaknya sepenuh daya, lantas mendorong sekuat tenaga sampai gadis itu harus mencium lumpur untuk kali kedua.

Melihat sang kekasih diperlakukan tidak semena-mena oleh ayahnya sendiri, Syaiful berusaha bangkit di antara dera rasa perih di wajah. Maksud hati ingin menolong, tapi apa daya, dia pun harus menerima ganjaran tidak terelakkan. Kali ini sebuah pukulan telak terayun kuat menghantam bagian depan muka.

"Aaahhh!" Syaiful kembali meraung kesakitan bersamaan dengan suara derak pada tulang batang hidungnya. Soal rasa sakit, jangan lagi ditanya. Seketika merasakan panas luar biasa pada saluran pernapasan, disertai percik hangat memerahi tanah lumpur di tempat dia tersungkur.

Lelaki muda itu lekas tersadar bahwa dirinya sudah terluka parah. Namun tidak lantas menyerah begitu saja begitu melihat sosok Bunga masih tergeletak di kejauhan sana.

BERSAMBUNG

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Heri Haryadi
Good. I like this so much.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status